Kamis, 25 Januari 2018

Logika "Abu-Abu" Impor Beras

Logika "Abu-Abu" Impor Beras
Ronny P Sasmita  ;  Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia (EconAct)
                                                   KOMPAS.COM, 25 Januari 2018



                                                           
JUMLAH penduduk Indonesia menurut data Kementerian Dalam Negeri per 30 Juni 2016 mencapai 257.912.349 jiwa. Jadi jumlah mulut yang harus tercukupi memang sangat besar.

Artinya, jumlah penduduk yang perlu makan juga sebesar itu. Sementara jumlah produsen pangan, yakni petani, ternyata terus menurun.

Data BPS sampai Februari 2017 menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian hanya 39,68 juta orang atau 31,86 persen dari jumlah penduduk bekerja Indonesia. Celakanya, dari jumlah tersebut ternyata sebagian besar tercatat berusia tua.

Itu berarti bahwa hanya ada 15,38 persen petani yang produktif untuk memenuhi seluruh kebutuhan pangan nasional. Persoalannya ternyata tak sampai di situ, menurut catatan Kementerian Pertanian (Kementan), terjadi penurunan lahan pertanian 100.000 hektar per tahun, dengan 80 persen terjadi di sentra produksi pangan.

Di tengah jumlah petani dan lahan garapan yang menurun, kemudian Kementan mengklaim jumlah produksi pangan, terutama beras, terus meningkat bahkan surplus.

Terdengar sedikit kontradiktif memang. Tetapi taruhlah produksi memang meningkat seiring besarnya jumlah subsidi pertanian, intensifikasi, dan industrialisasi pangan. Dengan kata lain, anggap saja Kementan benar bahwa stok sejatinya tak bermasalah, sekalipun ada cerita soal gagal panen di beberapa daerah.

Yang justru menjadi pertanyaan kemudian adalah kenapa dengan klaim surplus pangan, harga di pasar masih tinggi bahkan cenderung mengalami kenaikan yang cukup signifikan?

Bahkan kenaikan harga beras sudah melambung hampir 10 persen. Oleh karena itu, diwajari pula mengapa pemerintah diharuskan untuk segera bertindak sebelum harga makin menggila.

Data menunjukkan, beras untuk jenis IR atau medium di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) posisi 11 Januari 2018 sebesar Rp 11.115 per kilogram (kg). Harga tersebut sudah ‎meningkat 8,9 persen dibandingkan bulan Desember 2017.

Sehari sebelumnya, tanggal 10 Januari 2017, harga beras jenis medium maupun premium bahkan bergerak lebih tinngi. Di Pasar yang sama, harga beras medium tembus Rp 12.000/kg alias melesat di atas harga eceran tertinggi (HET) Rp 9.450/Kg. Adapun beras premium sempat dibanderol Rp 13.000/kg, naik dari HET Rp 12.800/kg.

Namun, jika persediaan cukup dan harga malah naik, maka salah satu aspek yang bisa disalahkan adalah tata niaga pangan. Boleh jadi kenaikan produksi tidak diiringi tata niaga pangan yang baik.

Menurut aturan yang ada, produksi pangan diurusi oleh Kementan, sementara urusan tata niaga pangan menjadi tanggung jawab Kementerian Perdagangan. Secara bisnis, tata niaga adalah faktor penting untuk menyeimbangkan arus stok dan harga pangan antar daerah.

Selain tata niaga, kenaikan harga pangan juga bisa terjadi karena ulah oknum yang ingin mendapatkan keuntungan besar.

Jika di sektor perberasan penimbunan menjadi masalah utama, pembedaan pada gula kristal rafinasi dan gula kristal putih menjadi isu sentral. Disparitas harga yang tinggi antara gula rafinasi dan gula konsumsi membuat oknum yang bermain dalam bisnis pergulaan mendapatkan keuntungan tinggi.

Nah, masalah akurasi data perberasan tak pelak melahirkan klaim kontradiktif antara Kementan dan Kemendag yang tentu akan sangat membingungkan publik. Jika amanat konstitusi mengharusnya stok beras nasional setidaknya 10 persen dari total kebutuhan, maka secara kuantitatif minimal harus ada stok sekira 4 juta ton.

Artinya, jika kita memaksakan diri untuk percaya pada klaim sepihak Kementan, maka di lapangan akan ada pasokan 4 jutaan ton lebih karena sebelumnya dinyatakan cukup bahkan surplus.

Namun sepanjang pengamatan saya, bahkan Serikat Petani Indonesia (SPI) pun tak percaya dengan klaim Menteri Pertanian Amran Sulaiman. Menurut SPI, stok nasional hanya tersisa di kisaran 2 juta ton saja. Sehingga terima atau tidak, kelangkaan adalah hasilnya dan kenaikan harga adalah risikonya.

Logika tersebut cukup bisa diterima. Pertama, jika stok beras cukup, bahkan surplus, lantas apa penyebab kenaikan harga beras yang offside dari HET beras tersebut?

Sebut saja, misalnya, stok memang cukup dan bahkan berlimpah, kenaikan harga otomatis menjadi buah dari permainan distributor. Ada penimbunan atau ada kongkalikong tingkat dewa di ranah tata niaga beras nasional.

Baik soal kekurangan pasokan atau soal tata niaga yang buruk, telunjuk tetap saja akan diarahkan ke hidung Menteri Pertanian sebagai tersangka utama dan Menteri Perdagangan sebagai calon tersangka selanjutnya.


Kedua, jika stok terbilang cukup bahkan berlebih, lantas mengapa Menteri Perdagangan berani memutuskan untuk mengimpor beras?

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita tentu punya basis data tersendiri yang akan diaku lebih akurat dibanding klaim Amran. Dalam logika lain, kebijakan impor akan mengonfrontasi klaim Amran.

Saya pun cukup yakin bahwa publik akan terbawa untuk menilai klaim tersebut sebagai sesuatu yang hanya berguna untuk menyenangkan presiden dan menghibur diri sang menteri sendiri.

Keberanian Enggar untuk menaikkan kuota impor beras sudah barang tentu disebabkan oleh kegentingan yang mesti disegerakan penyelesaiannya. Dengan kata lain, Enggar percaya bahwa stok tak sesuai dengan kebutuhan alias kurang. Oleh karena itu, dibutuhkan pasokan tambahan dari kran impor.

Pun secara politik, Enggar terlihat ingin mengamankan posisinya. Keputusan impor beras adalah keputusan yang lahir dari kesimpulan bahwa stok beras memang berada di bawah ambang batas bawah sehingga akhirnya menyebabkan harga beras menjulang.

Jika Enggar ikut mengatakan bahwa kenaikan harga beras adalah akibat dari tata niaga beras yang buruk, maka serta-merta muka Enggar lah yang akan kena tunjuk sebagai penanggungjawabnya. Ini karena tata niaga beras adalah domain utama Kementerian Perdagangan.

Jadi dengan segera mengimpor beras, tanpa mencari secara detail apa penyebab kelangkaan dan tanpa grasak-grusuk ikut membantah klaim Amran, maka Enggar dapat exit gate yang cantik.

Jika impor beras telah dijadikan kebijakan dan dipercaya sebagai obat mujarab untuk meredakan harga yang menjulang, maka publik akan tergiring untuk percaya bahwa stok memang kurang dan menjadi penyebab satu-satunya kenaikan harga beras. Hasilnya secara logis adalah bahwa persoalannya akan dicandra berada di Kementan, bukan di Kemendag.

Dengan kata lain, persoalan fundamental yang ingin disampaikan oleh Enggar adalah tentang persoalan stok, bukan tentang tata niaga.

Dengan logika itulah, Enggar akhirnya membalut kebijakan impor beras khusus dengan memberikan izin kepada PT Perusahaan Perdagangan Indonesia atau Bulog untuk mengimpor 500.000 ton beras.

Apakah urusan beres? Nampaknya tidak. Toh akhirnya masalah kenaikan harga beras dan impor beras khusus tersebut justru membingungkan publik saat Mentan keukeuh  mengatakan bahwa impor tak berarti tak swasembada.

Jadi kebijakan impor beras dianggap sesuatu yang tak terkait dengan swasembada. Kemudian Enggar juga keukeuh  berpendapat bahwa impor adalah bagian dari jaga-jaga menjelang panen raya. Jika berjaga-jaga alias tak mau ambil risiko kekurangan persediaan, sebagaimana ocehan Enggar ke media, berarti memang ada ancaman kekurangan stok.

Enggar mengungkapkan, beras tersebut akan dipasok dari dua negara, yaitu Thailand dan Vietnam. Anehnya, beras ‎tersebut adalah komoditas beras yang tidak ditanam di Indonesia.

Menurut Enggar, impor beras dilakukan guna mengisi pasokan beras di dalam negeri sambil menunggu masa panen pada Februari-Maret 2018. Dengan adanya tambahan beras impor tersebut diharapkan tidak ada kekhawatiran soal kelangkaan dan kenaikan harga beras.

Menurut hemat saya, kondisinya menjadi sangat lucu. Pertama, Mentan keukeuh mengatakan impor tak berarti tak swasembada, yang berarti ingin menang sendiri. Impor OK, swasembada pun OK.

Artinya, jangan katakan tak ada swasembada, sekalipun ada ancaman kekurangan pasokan yang harus dikawal dengan tindakan siaga, yakni impor beras.

Kedua, Enggar pun tak kalah lucunya. Yang akan diimpor adalah beras yang tak ditanam di Indonesia. Padahal dikatakan bahwa Enggar tak mau ambil risiko kekurangan pasokan. Yang dimaksud pasokan adalah persediaan yang sudah biasa ada.

Lantas mengapa Mendag malah ingin mengadakan beras yang memang sebelumnya tak ada dan tak ditanam di Indonesia? Varian beras yang berbeda dari harga yang nyaris sama memang akan berpeluang untuk menurunkan harga, tapi di sisi lain membuka peluang untuk justifikasi yang kurang etis bagi Bulog untuk tidak menampung beras domestik.

Terlebih lagi, kesannya seperti ingin berjualan alias memperkenalkan produk beras varian baru, bukan untuk melengkapi stok yang terancam kurang.

Lantas pertanyaannya, ini tentang impor beras untuk melengkapi persediaan dan stabilisasi harga atau tentang bisnis impor beras? Ini tentu menjadi salah satu kontradiksi baru yang terletak di pihak Kemendag. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar