Senin, 29 Januari 2018

Kalibrasi Demokrasi

Kalibrasi Demokrasi
Wawan Sobari  ;  Dosen Ilmu Politik ;
Ketua Program Studi Magister Ilmu Sosial   FISIP Universitas Brawijaya
                                                      KOMPAS, 29 Januari 2018



                                                           
Tingkat kompetisi dalam pemilu merupakan salah satu ukuran kualitas demokrasi yang disepakati di banyak wilayah. Terkait hal itu, tiga periode penyelenggaraan pilkada serentak menunjukkan perbaikan tingkat kompetisi.

Merujuk data Komisi Pemilihan Umum, meskipun terdapat lonjakan jumlah pemilihan kepala daerah (pilkada) dengan satu pasangan calon, rata-rata jumlah pasangan kandidat per pilkada meningkat dari 3,1 persen (2015) menjadi 3,3 persen (2017) dan naik hingga 3,4 persen (2018).

Selain itu, jumlah pilkada yang hanya diikuti dua pasangan calon mengalami penurunan dari 33 persen (2015) menjadi 19 persen (2018). Berikutnya, walaupun merupakan partai pemimpin koalisi pemerintahan dengan perolehan suara terbanyak dalam Pemilu Legislatif 2014, PDI Perjuangan (PDI-P) tidak menonjol dalam mendukung pencalonan. Pada 2018, Gerindra justru merupakan parpol dengan kenaikan terbanyak mendukung calon dalam pilkada daripada Golkar dan PDI-P. Gerindra naik 29 angka dari Pilkada 2017 ketimbang PDI-P dan Golkar yang meningkat 17 dan 14 angka.

Perbaikan kompetisi sejatinya sinyal positif bagi kemajuan demokrasi. Meski demikian, tingkat kompetisi belum sepenuhnya menunjukkan situasi riil bekerjanya demokrasi. Karena itu, demokrasi sebagai instrumen penilaian kemajuan dan perencanaan pembangunan politik harus selalu ditera secara berkala.

Zona toleransi

Berbeda dengan kualitas demokrasi, konsep kalibrasi demokrasi belum begitu banyak digunakan. Ukuran kualitas demokrasi biasanya terangkum dalam penggolongan indikator kompetisi dan hak politik, akuntabilitas, kualitas rezim, dan kebebasan sipil. Secara operasional, ukuran tersebut beragam di tiap wilayah.

Gagasan dasar kalibrasi bertumpu pada filosofi evaluasi fungsi ukur instrumen pengukuran: apakah alat ukur masih bekerja baik sesuai standar atau menyimpang dari ukuran terstandar. Dalam konteks pengukuran demokrasi, konsep kalibrasi bisa diadopsi dalam menentukan zona toleransi perubahan, baik menuju peningkatan maupun kemunduran demokrasi.

Secara sederhana, kalibrasi demokrasi menunjukkan area kewajaran perubahan. Pertama, berupa revisi atas kondisi demokrasi. Kedua, perubahan yang menunjukkan situasi degradasi demokrasi.

Sedikit berbeda dengan tiga kategori tingkat demokrasi (buruk, sedang, baik) yang selama ini digunakan di Indonesia, zona toleransi menunjukkan indikasi perubahan yang lebih dinamis. Hasil pengukuran tidak selalu bertumpu pada indikasi perkembangan demokrasi, tetapi situasi riil demokrasi pada tahun tertentu. Hasil tersebut menunjukkan apakah perubahan kondisi demokrasi masih dalam area perbaikan atau kemunduran yang wajar.

Dengan mengetahui area kewajaran perubahan, perubahan positif yang ke luar dari zona toleransi bisa dihindari karena berpotensi menimbulkan ekspektasi berlebihan terhadap demokrasi. Sebaliknya, apabila terdeteksi penurunan keluar dari zona toleransi, potensi menurunnya kepercayaan terhadap demokrasi bisa dihindari.

Perbandingan hasil jajak pendapat tentang persepsi terhadap demokrasi (institusional dan operasional) dan hasil pengukuran indikator komposit perkembangan demokrasi Indonesia merupakan salah satu cara untuk mempersempit ruang kalibrasi demokrasi.

Fokus kalibrasi

Data Badan Pusat Statistik terkait perkembangan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) menunjukkan tren perbaikan sejak 2009. Pada awal tahun pengukuran (2009), capaian IDI sebesar 67,30 poin indeks. Meskipun mengalami pasang surut, skor IDI terbaru (2016) mencapai 70,09 poin indeks. Dalam kategori perkembangan demokrasi, angka itu menunjukkan bahwa sepanjang 2009 hingga 2016 perkembangan demokrasi masuk dalam kategori ”sedang”.

Selaras dengan capaian IDI, perubahan persepsi terhadap demokrasi menunjukkan grafik perbaikan. Mengacu data riset opini Saiful Mujani Research and Consulting, tingkat kepuasan demokrasi pada Februari 2009 mencapai 62 persen. Pada September 2017, angka kepuasan meningkat hingga mencapai 71 persen. Begitu pula preferensi terhadap demokrasi sebagai sistem pemerintahan terbaik melonjak dalam lima tahun terakhir dari 56 persen (Juni 2012) menjadi 72 persen (September 2017).

Hanya saja, konsistensi tren peningkatan kemajuan demokrasi tersebut tidak didukung perbaikan akuntabilitas demokratik lembaga demokrasi (DPRD, parpol, birokrasi). Indikasinya tampak dari segregasi capaian indeks tiap indikator. Dari tujuh indikator yang terkategori ”buruk” capaian skornya (60 ke bawah), empat di antaranya termasuk aspek lembaga demokrasi.

Tiga capaian indikator terkategori buruk tersebut (sejak 2009) merepresentasikan kinerja DPRD dan partai politik, dan sisanya terkait keterbukaan informasi APBD (sejak 2015). Sementara itu, tiga indikator lainnya yang cenderung menurun capaian indeksnya hingga terkategori buruk terkait meningkatnya risiko ancaman/penggunaan kekerasan oleh masyarakat yang menghambat kebebasan berpendapat (50,74 poin), demonstrasi/mogok yang bersifat kekerasan (43,06 poin), dan stagnasi persentase perempuan terpilih terhadap total anggota DPRD provinsi (54,29 poin).

Buruknya indeks komposit lembaga demokrasi terkonfirmasi pula dalam survei Poltracking Indonesia pada November 2017. Meskipun berbeda tingkat penilaian, hasil jajak pendapat membantu memberikan data persepsi publik. DPR (50 persen) dan parpol (48 persen) merupakan dua institusi demokrasi dengan tingkat kepercayaan terendah dari publik. Setali tiga uang, publik memersepsikan kepuasan terhadap kinerja DPR (34 persen) dan parpol (34 persen) pada posisi paling rendah.

Pilkada serentak tahun ini dan Pemilu 2019 merupakan momentum tepat melakukan kalibrasi demokrasi. Tantangannya, apakah kedua pemilu serentak mampu berkontribusi mempertahankan atau meningkatkan level zona toleransi perubahan?  Seberapa jauh kedua hajatan pemilu bisa menyeleksi pemimpin dan wakil rakyat terpilih yang kontributif dalam menjaga situasi kemajuan demokrasi yang wajar?

Untuk itu, kapasitas kepemimpinan dan representasi publik pejabat terpilih tidak boleh absen dalam situasi demokratis. Ke depan, inisiatif dan kebijakan untuk mengetahui area kewajaran perubahan politik (demokrasi) sangat dibutuhkan demi menjaga momentum perubahan agar tidak memunculkan harapan berlebihan atau mendegradasi kepercayaan publik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar