Rabu, 24 Januari 2018

Membangun Generasi Micin yang Percaya Diri

Membangun Generasi Micin yang Percaya Diri
Iqbal Aji Daryono  ;  Esais; Bapak dua anak, tinggal di Bantul
                                                   DETIKNEWS, 23 Januari 2018



                                                           
Segenap kericuhan dunia maya pasca-2014 semakin memperkaya khazanah linguistik kita. Mulai pergeseran makna pada kata 'cebong' dan 'kampret', munculnya idiom baru semacam Bani Serbet dan Bani Taplak, hingga yang paling mutakhir adalah 'generasi micin'.

Awalnya, saya menanggapi istilah-istilah itu sebagai hiburan semata. Namun ceritanya jadi berubah pada dua pekan terakhir. Tiba-tiba, saya sungguh sakit hati. Bukan karena 'cebong', melainkan karena 'generasi micin'!

Selama ini, orang-orang memakai ungkapan 'generasi micin' sebagai ejekan, hinaan, untuk merendahkan pihak lawan yang mereka anggap bodoh dan seterusnya. Dalam konstruksi persepsi yang mereka bangun, kebodohan itu terjadi karena lawan mereka kebanyakan mengonsumsi micin!

Ya Allah, ini tak dapat dibiarkan. Saya terpanggil untuk mengembalikan martabat micin ke posisi yang semestinya.

                                                         ***

Hanya dalam hitungan satu-dua hari selepas kami meninggalkan Perth untuk seterusnya dan mendarat di Yogyakarta, anak saya yang sulung sudah mulai mengeluh. Wajahnya cemberut parah. "In Indonesia everything is dirty. The only place yang nggak dirty cuma di tempat Bulik Uus."

Bulik Uus, alias adik saya, seorang dokter gigi. Dia buka klinik di depan rumah. Bagi Hayun, anak sulung saya itu, cuma klinik gigi itulah satu-satunya tempat bersih yang dia lihat di tanah tumpah darahnya. Selebihnya kotor di mana-mana. Jalanan yang bertaburan papan baliho yang menonjol-nonjol semrawut, sungai yang berair coklat diselingi sampah dan beda jauh dengan Swan River yang jernih membiru, juga lalu lintas yang tampak horor di matanya.

Mendengar keluhan itu, sontak harga diri kebangsaan saya bergejolak. "Heh apa kau bilang? Ini negara dengan penduduk seperempat miliar, mau kau bandingkan dengan benua yang cuma ngurus 25 juta orang? Negara ini pun jadi begini juga tak lepas dari hasil kelakuan kolonial selama ratusan tahun! Lha Australi itu jadi begitu karena mereka sendiri yang kolonial! Camkan itu baek-baek!"

Untunglah saya ingat bahwa Hayun masih kanak-kanak berumur 8 tahun, dan dia juga anak saya sendiri. Maka saya cuma mengelus rambutnya, dan memintanya bersabar. "Nanti pelan-pelan kamu akan terbiasa, Nak. Ada banyak hal lain yang akan kamu sukai di sini."

Waktu kami boyongan pertama kali ke Perth pada 2013, umur anak itu masih 4 tahun. Dia cuma sempat menjalani kehidupan sosial di sekolah Indonesia sebentar saja sebelumnya, yakni di PAUD dan TK separuh jalan.

Selanjutnya, sepanjang 4 tahun kemudian, segenap proses penataan fondasi awal pendidikan dan pergaulannya dia dapatkan di Perth. Dia belajar nilai-nilai dasar ya di Perth. Dia belajar bahasa sebagai alat komunikasi yang lebih kompleks juga di Perth. Dia belajar konsep kebersihan dan keselamatan juga yang ala Perth. Dia membangun persahabatan mula-mula di Perth, bahkan seleranya atas makanan pun sangat dipengaruhi bahan-bahan pangan di Perth.

Dari situ sejak awal kami harus memahami bahwa dalam masa transisi selepas kami pulang ke Bantul, Hayun-lah yang bakalan paling berat menjalaninya di antara kami berempat. Bapak dan ibunya tentu nggak butuh adaptasi. Adiknya yang baru berumur 4 bulan jelas cuma terima jadi, sebab bahkan seumur hidupnya belum pernah menghirup udara Indonesia, dan belum paham pula bagaimana Australia.

Maka, di sinilah kemampuan parenting kami ditantang, bagaimana agar bisa membimbing anak sulung kami, membantunya menyeberangi masa berat ini dengan hati-hati.

                                                       ***

"Hwaaaaa!! I miss Calistaaaaa! I miss Zahra and Almaaaaa! I hate Indonesiaaaa! I wanna stay forever in Australiaaaaa....!"

Dalam pelukan ibunya, tangis itu pecah lagi. Pedih sekali mendengarnya. Kali ini bukan soal kebersihan yang dia keluhkan. Bukan juga soal makhluk aneh bernama cecak yang tiba-tiba nongol di dinding, dan membuat dia berteriak, "Goooosh, that's lizard! Lizard! Gimana kalo itu jatuh kena kepalaku??"

Bukan, bukan itu. Sekarang dia menangis sambil mengabsen nama-nama teman terdekatnya. Satu anak Indonesia, dua lagi anak Irak. Sebenarnya Hayun masih lancar berbahasa Indonesia bahkan Jawa (inilah untungnya punya bapak yang skor kemampuan bahasa Inggrisnya terlalu mengharukan). Namun ketika emosinya menuju puncak, bahasa Inggrislah yang keluar. Maka kami langsung paham bahwa kerinduan hatinya kepada para sahabatnya benar-benar sedang membuka lukanya.

Yang lebih berat, kerinduan kepada teman itu dibarengi juga dengan tumpukan kenangan saat mereka bermain bersama di berbagai playground. Ini sudah perkara lain lagi. Taman-taman bermain di Perth memang tersedia di mana-mana, semuanya outdoor. Lengkap, gratis, bersih, aman, dan variatif. Hampir semua wahana permainan dibuat dari bahan fiberglass yang antikarat, dan memberikan kemerdekaan kepada anak-anak untuk melakukan olah fisik dengan gembira. Energi anak tersalurkan, otot-otot selalu terlatih, kegesitan badan juga terus meningkat.

Untuk kerinduan kepada temannya, solusinya relatif mudah. Video call! Untunglah zaman ini sudah melahirkan produk peradaban yang satu itu, sehingga Hayun bisa bercakap heboh berjam-jam dengan Calista. Tapi bagaimana dengan playground?

"Wow! That's so boring!" ucapnya sinis saat kami membawanya ke sebelah Lapangan Parasamya Bantul, sembari memintanya menikmati ayunan dari besi yang mejeng di sana. Dia memang tetap mencobanya, tapi lalu sambil bersungut-sungut meninggalkannya.

Dalam kondisi bete melihatnya, ingin sekali saya kembali menceramahinya, "Ndhuk, kamu tahu nggak, banyak playground bagus di Perth itu dibikin dengan dana sumbangan dari Lotteriwest! Itu uang dari bisnis perjudian! Haram! Kamu mungkin senang bermain di sana, tapi kesenanganmu tidak akan membawa barokah!"

Untunglah saya masih waras dan mampu mengontrol diri, meski kemudian tak tahu harus mencari cara apa lagi. Anak saya pada hari-hari pertama itu masih terus mengusik rasa nasionalisme bapaknya, mengejek Indonesia Tanah Air Beta, seolah-olah tak ada satu pun hal menyenangkan di dalamnya.

Hingga kemudian, ada satu peristiwa yang membuka pintu harapan….

                                                         ***

Sudah lama sekali saya tidak melihatnya makan selahap itu. Semangkok penuh, dan dia menyantapnya tanpa jeda, hingga cuma sedikit meninggalkan sisa. Saya dan istri memandang berbinar-binar ke wajah anak kami yang tampak diliputi rasa bahagia. Oh, pertolongan Tuhan telah tiba.

Warung Mie Ayam Tumini, sebelah Terminal Giwangan. Semangkok Rp 10.000, dengan bumbu pekat dan rasa micin yang lumayan liat. Micin! Nyaris saja saya melompat sambil berteriak "Eureka!"

Micin datang sebagai solusi, jauh lebih konkret ketimbang Khilafah. Selama di Australia, kami memang jauh dari micin. Kerinduan kami pada rasa micin jarang terobati. Entah kenapa, barangkali karena standar kesehatan ala Australia yang terlalu menyiksa diri, maka kadar micin pada berbagai makanan amat dibatasi.

Benar, banyak swalayan juga menjual Indomie (maaf sebut merek). Namun Indomie yang dijual resmi untuk pasar Australia dihidangkan dengan micin seiprit, sehingga sensasi makan intel goreng jauh dari suasana hati saat nongkrong tengah malam di warung-warung Putra Sunda.

Maka, Mie Ayam Tumini pun menjadi gerbang megah yang memulihkan stabilitas spiritual anak saya. Mulutnya mengecap-ngecap, sulur-sulur mie panjang itu dia sedot dengan nikmat, kuahnya berleleran di janggut bahkan di bajunya yang kena ciprat.

Ini surga.

Tak berhenti di mie ayam. Dia juga menemukan keindahan duniawi satu lagi, karena ibunya menyambarkan sebungkus snack saat berbelanja.

"Wowww it's so yummmyyyyy…!"ucapnya sambil ngemil krauk-krauk tanpa henti. Karo, bukan nama sebenarnya, sejak itu menjadi menu jajan yang selalu ia tunggu-tunggu. Rasa segurih keping-keping keripik Karo tidak pernah ia dapatkan di Perth. Puncaknya, Hayun sekarang sudah mau mengakui bahwa snack Indonesia jauh lebih enak ketimbang snack Australia! Ini tentu perkembangan kesadaran kebangsaan yang amat membanggakan.

"Jadi kamu sudah tahu to, kalau Indonesia is much more beautiful than Australia?" tanya saya, dengan ekspresi ala Najwa Shihab saat memojokkan narasumbernya.

"Noooooooo!" Hayun masih gengsi mengakuinya. Tapi saya tahu, emosi dan perasaan sentimentilnya sudah jauh berkurang, dan dia mulai stabil dan percaya diri untuk memulai proses kehidupan selanjutnya.

                                                          ***

Apa pesan moral dari cerita ini? Tidak ada. Ini bukan perkara moral-moralan. Ini lebih kepada kisah tentang realitas hidup para orangtua yang gagap dan putus asa, yang kadangkala harus berkompromi dengan banyak hal, serta satu-dua kali terpaksa meninggalkan idealisme muluk-muluk dalam mendidik anak-anaknya.

Kesehatan badan itu penting. Tapi kesehatan batin pada saat-saat genting acapkali jauh lebih penting.

Lagi pula, hei, kata siapa micin berbahaya? Dr. John W. Olney dari Washington University memang menyebut efek-efek berbahaya dari MSG. Tapi riset dari The Federation of American Societies for Experimental Biology malah menemukan sebaliknya.

Entahlah, saya juga nggak tahu versi mana yang lebih mendekati kebenaran hakiki. Tapi dari situ akhirnya muncul satu pelajaran, yakni para orangtua mesti berani mengambil sikap dalam menghadapi informasi kesehatan yang sering berganti-ganti. Hari ini ada pakar bilang minum air putih banyak-banyak itu sehat, besoknya ada pakar lain lagi mengatakan air dari sayur mayur dan buah sudah cukup. Hari Senin ada ahli menulis bahwa wortel sangat bagus untuk kesehatan mata, tapi di hari Jumat ada profesor menyatakan kebanyakan wortel justru berbahaya.

Hoahm. Kita orang awam jadi terombang-ambing dalam iman yang rapuh. Maka dalam situasi banjir bandang informasi seperti ini, saya kira hanya ada satu rumus ilmiah yang paling layak dipegang teguh: "Makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." Al-Quran Surah Al-A'raf ayat 31. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar