Rabu, 31 Januari 2018

Netralitas Perguruan Tinggi

Netralitas Perguruan Tinggi
Fauzan  ;  Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM); Anggota Wantim FRI
                                                 KORAN SINDO, 30 Januari 2018



                                                           
Pengurus Dewan Pertimbangan Forum Rektor Indonesia (Wantim FRI) bersama dengan pimpinan Forum Rektor Indonesia (FRI) baru saja mengadakan pertemuan pada 25 Januari 2018 di Universitas Hasanudin Makassar.

Pertemuan tersebut lebih banyak membicarakan persiapan konvensi FRI yang rencananya diselenggarakan pertengahan bulan Februari ini dan akan dibuka Presiden Republik Indonesia, Jokowi. Ada hal menarik yang perlu dicermati di tengahtengah pembicaraan itu, yakni ada kegelisahan kolektif yang berkaitan dengan persoalan bagaimana menjaga netralitas posisi perguruan tinggi (PT) di tengah-tengah hiruk-pikuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2018.

Persoalan itu mencuat karena dua hal penting yang menjadi dasar pertimbangannya. Pertama , secara normatif ada komitmen yang tinggi dari para pengurus FRI untuk menjaga fungsi PT. Fungsi PT adalah sebagai pusat pengembangan dan pergumulan ilmu pengetahuan dan teknologi. PT harus mengambil peran sebagai problem solver atas dinamika persoalan kehidupan yang terjadi saat ini dan mendatang. Dalam konteks ini secara institusional PT memiliki tanggung jawab sosial yang tidak ringan. Kedua , secara pragmatis banyak pihak internal ataupun eksternal yang menaruh kepentingan atas eksistensi PT di mana pun berada.

Artinya dalam situasi politik tertentu sangat mungkin PT akan dijadikan bargaining untuk memuluskan salah satu calon. Pada tataran inilah kadang-kadang syahwat politik pimpinan PT juga muncul dengan berbagai macam argumentasinya. Kalau yang demikian itu muncul, tidak menutup kemungkinan akan terjadi persoalan baru dalam perjalanan PT-nya. Dunia PT memang tidak dapat melepaskan diri dari dinamika sosial dan politik. PT yang pada hakikatnya merupakan kumpulan masyarakat intelek diharapkan lebih banyak mengambil peran-peran konstruktif dalam membangun iklim demokrasi di Indonesia.

PT sudah seharusnya berperan sebagai mesin penjernih dan pencerah atas terjadinya kekotoran praktik-praktik politik yang semakin jauh dari norma-norma sosial keagamaan masyarakat. Namun pada kenyataannya makin jauh panggang dari api. Masih banyak PT yang malah terlibat dalam hegemoni politik praktis baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam banyak kasus PT dengan sengaja dikonstruksi menjadi bagian dari instrumen atau bahkan konstituen partai atau golongan tertentu. Bahkan sudah banyak diketahui bahwa untuk menjadi calon pimpinan PT tidak hanya cukup memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan, tetapi yang menarik dan unik adalah juga adu kuat adanya rekomendasi dari pihak-pihak lain (partai atau golongan) yang mestinya tidak menjadi parameter esensial dalam demokrasi kampus).

Karena itu tidak aneh jika proses pemilihan rektor pun mirip (kalau tidak dapat dikatakan sama persis) dengan praktik pilkada. Oleh karena itu harap maklum jika dalam pemilihan rektor ditengarai ada politik sebagaimana yang diberitakan media beberapa bulan belakangan ini. Problem besar lain yang selalu muncul adalah terjadinya ketegangan sosial yang tak kunjung lerai dan bahkan cenderung menggumpal yang pada gilirannya dapat mengganggu iklim akademik.

Pada akhirnya PT sibuk dan banyak energi internalnya habis terbuang untuk mengurus urusan-urusan nonakademis. Anehnya hingga saat ini tampaknya belum ada upaya sadar dari pemerintah maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan untuk merehabilitasi peran kampus yang kurang merdeka dalam menjalankan proses demokrasinya. Perdebatan di seputar aturan menteri terkait pemilihan rektor (untuk PTN) tak pernah berujung menyejukkan.

Suara menteri 35% dalam pemilihan rektor sering menjadi pemicu munculnya polarisasi warga kampus, khususnya para anggota senat. Ditambah lagi adanya turut campur pihak eksternal (golongan organisasi masyarakat dan partai politik) yang tidak memiliki hubungan langsung dengan PT yang bersangkutan. Hal senada juga terjadi pula dalam lingkungan PTN berbasis keagamaan. Merujuk pada Peraturan Menteri Agama RI No 68 Tahun 2015, meskipun menteri tidak memiliki otoritas suara secara persentase, tahapan pengangkatan rektor/ketua sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 dan 5 memiliki potensi besar untuk dicurigai derajat keobjektifannya.

Pada kenyataannya melalui tahapan yang telah ditetapkan itulah penumpang gelap turut terlibat dengan membawa kepentingan baik personal maupun organisasional sehingga tidak mengherankan bila dalam kasus tertentu para calon rektor sama-sama perang rekomendasi dari organisasi/partai/pihak lain. Kita patut prihatin atas kondisi yang demikian dan itu salah satu fenomena yang hingga saat ini masih tercium bahu amisnya. Oleh karena itu, dalam menyongsong Pilkada Serentak 2018 ini PT seharusnya memerankan diri sebagai lokus terjadinya perubahan iklim politik yang lebih kondusif dan tidak bermain politik murahan sendiri.

Riilnya PT lebih memainkan peran sebagai fasilitator untuk mendorong terjadinya tatanan dan praktik-praktik politik yang menggembirakan. Atas dasar itu, pilihan-pilihan cerdas terhadap strategi yang akan dimainkan dalam rangka memberi warna politik (praktis) sekalipun harus dibingkai sebagai proses edukasi politik masyarakat. Hal itu lebih merupakan tanggung jawab moral yang menjadi tuntutan masyarakat kepada PT. Pilkada serentak yang rencananya akan digelar pada 27 Juni 2018 perlu direspons oleh PT secara proporsional dengan tetap menggunakan paradigma akademik dalam kapasitasnya sebagai lembaga pendidikan tinggi.

PT tidak boleh alergi dengan politik. Dinamika politik yang belum kunjung membaik seharusnya menjadi salah satu tugas dan tanggung jawab PT. PT harus mencari jalan tengah untuk turut mengurai keruwetan yang terjadi di seputar pelaksanaan pilkada serentak ini. Itu semua diniatkan sebagai upaya untuk memperbaiki sistem kepemimpinan dalam pemerintahan yang pada gilirannya akan melahirkan pemimpin yang mampu membawa perubahan hidup ke arah yang lebih baik dan kompetitif. Keterlibatan PT dalam pilkada serentak tentu bukan pada wilayah teknis, tetapi harus dijadikan sebagai bagian dari variabel dalam mengatur rencana strategi makro yang ingin dicapai.

PT diharapkan memiliki proyeksi masa depan dalam turut serta bertanggung jawab atas persoalan-persoalan kenegaraan. Persoalan menghadapi bonus demografi misalnya, yang sebentar lagi akan tiba, harus menjadi tanggung jawab bersama. Para calon pemimpin daerah hasil Pilkada Serentak 2018 berada dalam masa kepemimpinan yang sangat strategis dan menentukan kualitas angkatan tenaga produktif. Untuk mewujudkan itu diperlukan kesamaan visi antara PT dan pemerintah dalam seluruh levelnya.

Tentu masih banyak masalah lain yang memerlukan penyelesaian bersama. Artinya banyak cara yang lebih terhormat yang bisa dimainkan oleh PT dalam menyikapi adanya pilkada serentak yang akan berlangsung tahun ini. Hal ini dimaksudkan agar Pilkada Serentak 2018 dapat melahirkan sosok pemimpin daerah yang lebih berkualitas daripada sebelumnya. Menurut catatan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, mulai 2004 hingga 2017 terdapat 392 kepala daerah yang tersangkut hukum. Sebagian besar dari itu (313) adalah kasus korupsi (Jawa Pos.com , 11 Desember 2017).

Menilik data itu, rasanya menjadi sangat perlu kehadiran PT dengan gayanya sendiri yang berperan menjadi bagian dari partner kritis terhadap perjalanan pilkada serentak maupun jalannya pemerintahan nantinya. Sudah waktunya PT mengambil peran netral aktif dalam rangka meluruskan jalannya pilkada serentak agar lahir pemimpin yang mencerahkan bangsa. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar