Senin, 29 Januari 2018

Jakartaku Sayang Jakartaku Malang

Jakartaku Sayang Jakartaku Malang
Agus Pambagio  ;  Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen
                                                   DETIKNEWS, 29 Januari 2018



                                                           
Sebagai warga Jakarta yang berada di kota ini sejak akhir 1965 hingga sekarang, dengan beberapa kali on and off, saya merasa tiga bulan terakhir ini merupakan masa terheboh tinggal di Jakarta karena muncul banyak program yang tidak jelas landasan regulasi dan kebijakannya. Gubernur memang silih berganti setiap 5–10 tahun, dan dalam pergantian selalu ada kehebohan yang selama ini menurut saya masih dalam batas-batas yang bisa dipahami.

Namun, pasangan Gubernur kali ini menurut saya sudah berlebihan hebohnya. Muncul banyak program yang oleh beberapa pasang Gubernur sebelumnya sudah ditata dengan susah payah tetapi sekarang diubah dengan dalih demi membela rakyat kecil. Sehingga muncul berbagai pertanyaan dari publik, sebenarnya apa tujuan pasangan Gubernur Anies-Sandi ini dalam menata DKI Jakarta. Kok yang ada malah membuat kota Jakartaku ini kembali amburadul.

Dari beberapa tulisan terdahulu, di kolom ini, saya selalu katakan: "mohon pasangan Gubernur yang baru tidak mengubah program Gubernur terdahulu yang sudah dirasakan manfaatnya oleh publik, tetapi bereskan saja hal-hal yang belum sempat atau gagal dibereskan oleh pasangan Gubernur terdahulu." Program atau proyek yang sudah beres dan memuaskan warga Jakarta jangan dihilangkan pos anggarannya tetapi terus ditingkatkan supaya masyarakat Jakarta lebih terlayani. Semua warga DKI Jakarta ingin kota ini menjadi kota idaman bagi publik.

Seharusnya pasangan Gubernur Anies–Sandi berpikir bagaimana menjadikan Jakarta sebagai kota cerdas bagi warganya. Misalnya, meningkatnya akses dan pelayanan angkutan umum yang diiringi dengan berkurangnya kemacetan, munculnya lebih banyak taman-taman kota, sungai yang semakin bersih, pedagang kaki lima (PKL) yang tertata dengan baik sehingga dapat menjadi objek wisata, ketersediaan rumah susun sewa yang terjangkau (kalau rumah milik terlalu sulit saat ini dan sulit diakses oleh golongan ekonomi bawah), dan sebagainya. Sehingga, Jakartaku sayang menjadi Jakartaku riang, bukan Jakartaku malang.

Kemacetan dan Transportasi

Kemacetan di wilayah DKI Jakarta sudah masuk ke ranah merah, selain karena terus bertambahnya kendaraan pribadi (termasuk yang diubah menjadi taksi/ojek online) juga karena banyaknya pembangunan infrastruktur transportasi yang dilakukan secara bersamaan oleh Pemerintah Pusat, seperti MRT, LRT Jabodebek, LRT Jakarta, berbagai flyover dan underpass, jalan layang, pembangunan trotoar, jalan tol, dan sebagainya.

Kondisi kemacetan lalu lintas yang sudah superparah ini ditambah dengan maraknya kembali PKL di berbagai lokasi keramaian. Meningkatnya pendatang harian dari wilayah Jabodetabek yang menggunakan KRL dan belum terkoneksinya angkutan umum lanjutan dari stasiun kereta api, membuat kemacetan di seputar stasiun semakin buruk. Sebagai contoh penumpang KRL Jabodetabek dari dan ke stasiun Tanah Abang 2017 lalu sudah mencapai 40 juta penumpang.

Dengan menjamurnya Ojek Pangkalan (Opang) dan Ojek Online (Ojol) membuat wilayah kota Jakarta hijau royo-royo, layaknya Jakarta kota yang hijau dan ramah lingkungan. Kegagalan Pemerintah Pusat dan Provinsi untuk hadir mengurusi transportasi online berakibat Jakarta semakin jauh untuk menjadi kota cerdas atau Smart City.

Dibatalkannya Peraturan Gubernur DKI Nomor 195 Tahun 2014 terkait dengan pembatasan lalu lintas sepeda motor di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat oleh Mahkamah Agung (MA), semakin membuat saya mempertanyakan kemampuan MA memahami persoalan yang terjadi di publik. Akhir-akhir ini banyak keputusan MA yang mengganggu kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat/Daerah. Padahal kebijakan itu dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan publik, tetapi karena ada segelintir masyarakat yang kepentingannya terganggu menggugat kebijakan itu ke MA, dan anehnya dikabulkan oleh MA.

Pelarangan kendaraan roda dua di kawasan Thamrin bertujuan untuk penataan transportasi umum dan melindungi keselamatan pengendara motor, bukan merampas hak azasi pengendara motor. Semakin lama putusan MA memang semakin tidak jelas arahnya. Jangan-jangan nanti MA akan mengabulkan gugatan sekelompok perokok yang menuntut Pergub No. 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok dengan alasan melanggar HAM perokok. Padahal Pergub ini dibuat untuk mengurangi bahaya merokok bagi non perokok.

Lain lagi dengan program OK Trip. Sebaiknya sebelum program ini diluncurkan oleh Gubernur, Pemprov DKI Jakarta sudah harus selesai menata ulang rute angkutan umum secara menyeluruh. Jika angkutan umum belum tertata (katakan untuk 10–20 tahun mendatang), OK Otrip akan sulit diterapkan. Selain itu semua angkutan umum yang masuk dalam program OK Otrip harus dimiliki badan hukum seperti perintah UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalulintas Jalan. Juga sistem OK Otrip harus sinkron dengan sistem IT Trans Jakarta dan KRL Jabodetabek supaya tidak membingungkan publik.

Becak

Kebijakan mengizinkan becak kembali beroperasi di wilayah tertentu di pemukiman merupakan kebijakan "ngawur". Kalau kebijakan ini dilaksanakan akan meningkatkan kemiskinan kota. Para pengayuh becak yang akan datang pastinya tidak mempunyai tempat tinggal tetap dan akan sulit mendapatkan penumpang, mengingat masyarakat sudah terbiasa menggunakan Ojol atau taksi online. Kalau di wilayah lingkungan tidak dapat penumpang, pasti becak-becak itu akan digenjot ke seluruh pelosok Jakarta.

Saran saya, seperti dari awal saya sampaikan di berbagai kesempatan, becak boleh beroperasi hanya di objek wisata dan para pengemudi becak mendapat gaji UMR dari Pemprov DKI Jakarta. Sama seperti di kota-kota besar lain di dunia. Kalau ini dilakukan, Pemprov DKI harus menjadi penyedia lapangan pekerjaan bukan meningkatkan kemiskinan kota.

Trotoar dan PKL

Kebijakan mengenai diizinkannya PKL untuk berjualan di mana saja, termasuk sekeliling Gelora Bung Karno selama berlangsungnya Asian Games, jika benar maka ini merupakan kebijakan konyol dari Gubernur DKI Jakarta. Trotoar di sekitar Gelora Bung Karno dibangun lebar diperuntukkan bagi pejalan kaki yang akan menonton berbagai pertandingan Asian Games supaya jalan-jalan di sekitar Senayan tidak macet oleh kendaraan pribadi.

Lokasi PKL di wilayah DKI Jakarta sudah meluber ke mana-mana, dan menurut saya sudah mengganggu aktivitas warga lain. Penertiban PKL yang selama ini dilakukan dengan biaya dan upaya yang tidak sedikit, hilang tanpa bekas.

Untuk PKL harus segera dicari formulanya yang tepat. Lokasi PKL harus banyak dilalui oleh manusia atau dibuat dilalui oleh manusia saat menuju tempat beraktivitas (kantor, pasar, sekolah dll). Lokasi harus steril dari kendaraan pribadi kecuali angkutan umum. Lokasi PKL harus milik Pemprov DKI supaya sewa lapaknya masuk ke kas Pemprov, bukan ke kas preman seperti yang selama ini terjadi. Uang sewa itu harus diperuntukkan bagi pengembangan lokasi PKL saja.

Sebagai penutup, sebelum melaksanakan atau mengumumkan program andalannya, sebaiknya Gubernur sudah harus memastikan bahwa dasar hukum program itu ada dan kebijakannya juga sudah ditetapkan. Jangan seperti program "Rumah DP 0%", di mana aturan hukumnya belum ada tetapi sudah dilakukan ground breaking. Akibatnya bukan apresiasi tetapi celaan yang didapat dari publik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar