Kamis, 25 Januari 2018

Potret Penentuan Kandidat di Pilkada Serentak

Potret Penentuan Kandidat di Pilkada Serentak
Ridho Imawan Hanafi  ;  Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI
                                                      KOMPAS, 25 Januari 2018



                                                           
Pilkada 2018 menjadi momentum partai politik mengusung figur andalan dalam upaya memenangi kompetisi politik di sejumlah daerah. Masing-masing partai terlihat melakukan manuver politik agar pilihannya tak meleset.

Penentuan kandidat (kandidasi) diwarnai dengan proses yang tidak mudah sehingga sejumlah partai baru memastikannya mendekati batas masa pendaftaran. Kandidasi sebenarnya bisa menggambarkan bagaimana pengelolaan organisasi partai yang di dalamnya mencerminkan implementasi demokrasi internal.

Dengan dinamika yang tergambarkan lewat berbagai pemberitaan di media, bagaimana potret kandidasi yang dilakukan partai pada Pilkada 2018?  Dalam kandidasi, tujuan yang diinginkan partai adalah memunculkan kandidat yang kompeten, berintegritas, diterima publik, dan mampu menerjemahkan ideologi ataupun platform partai dalam berbagai kebijakan. Melalui para kandidatnya perwajahan kinerja partai juga ikut ditentukan.

Tak berlebihan jika kemudian harapan politik ikut disematkan:  keberhasilan memenangi Pilkada 2018, terutama di sejumlah daerah yang dianggap strategis dan memiliki lumbung suara besar, seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara, akan memengaruhi pencapaian partai pada Pemilu 2019. Di internal partai, kandidasi juga merefleksikan bagaimana watak partai serta alur distribusi kekuasaan di dalamnya.

Partai tak siap

Kandidasi dalam perspektif Hazan dan Rahat (2006) di antaranya dapat dilihat dari metode pencalonannya. Pencalonan diartikan dengan siapa yang bisa maju dinominasikan partai. Dalam hal ini, hampir semua partai membuka kesempatan kepada pihak internal ataupun eksternal untuk dinominasikan.

Pasalnya, lewat pencalonan terbuka ini memungkinkan partai mencalonkan figur di luar kader partai. Persyaratan, seperti berapa lama masa keanggotaan partai, tak dipersoalkan. Figur-figur dengan latar belakang militer, kepolisian, birokrat—bahkan selebritas—kini bisa menjadi kandidat partai (Kompas, 8/1/2018). Pilihan partai seperti itu berdasar kemungkinan berikut.

Proses pengaderan di partai tidak berjalan semestinya. Dengan gelaran pilkada yang digelar serentak menuntut partai menyediakan stok kader yang tidak sedikit untuk bisa dinominasikan. Ketakmampuan partai mempersiapkan kader pada pilkada yang waktunya sebenarnya sudah ditetapkan jauh hari oleh pihak penyelenggara memperlihatkan partai lebih memilih bekerja mendekati menit akhir.

Publik membaca partai seperti tidak siap dengan kandidatnya di pilkada. Kalaupun partai kemudian memutuskan kader internal, tetapi apakah dasar ini juga menjadi pertimbangan: sudah cukup bekerja optimal di basis wilayahnya dan mengetahui ragam persoalan daerah, serta apa saja solusi pemecahan yang diperlukan warga.

Kemungkinan lain, dalam upaya memenangi pilkada sering kali dihadapkan pada seberapa jauh kandidat memiliki peluang menang. Tidak jarang sudut ini dimiliki oleh figur dari eksternal partai karena sederet rekam jejak figur yang gemilang di bidang masing-masing.

Ketika ini tidak tersedia pada kader internal partai, upaya meminang figur eksternal adalah pilihan yang tak bisa dihindarkan. Pilihan ini bukan tanpa risiko. Karena bukan kader internal, tak bisa sepenuhnya menjamin figur yang terpilih nantinya akan mampu menerjemahkan atau segaris dengan kebijakan partai. Dengan jarak waktu yang pendek, tak mudah proses internalisasi nilai-nilai kepartaian bisa diserap oleh figur eksternal.

Memilih figur eksternal bagi partai juga dimungkinkan karena dinamika koalisi partai dalam pengusungan kandidat. Kalaupun hasil dari kandidasi internal partai memutuskan mengusung figur hasil seleksi, itu pun tidak menjamin akan mulus disepakati oleh para mitra koalisi.

Pilihan siapa yang diusung menjadi nomor satu (kepala) atau dua (wakil) juga aspek yang menentukan. Yang perlu diantisipasi, saat ujung keputusan dilihat tidak sesuai dengan harapan kader bisa berimplikasi munculnya kekecewaan dari dalam. Apalagi ternyata kader internal bakal kandidat gagal diusung sama sekali. Ketidakpuasan ini bukan tak mungkin bisa mendorong mereka memilih kandidat yang berbeda dengan keputusan partai.

Elitis

Di luar hal-hal di atas, kandidasi memperlihatkan proses yang elitis. Dalam artian keputusan mengenai figur yang diusung lebih banyak ditentukan sekelompok elite partai. Pemimpin partai dengan lingkaran elite pengurus memiliki pengaruh besar untuk memutuskan kandidat. Terlebih pada partai dengan pemimpin sentral atau sosok paling berpengaruh memiliki ruang yang lebar untuk menentukan.

Pada tipe partai seperti ini, hanya elite partai yang memiliki akses kedekatan dengan pemimpin yang bisa ikut memberi sumbangan pengaruh dalam beragam keputusan partai, termasuk kandidasi. Kuatnya pengaruh figur pemimpin ini membuat penetapan kandidat bisa tampak lebih karena selera atau faktor kedekatan dengan elite partai.

Dalam kandidasi elitis tersebut tidak tertutup kemungkinan bisa melahirkan praktik politik uang atau transaksional, seperti dugaan adanya biaya politik bagi bakal kandidat yang ingin diusung. Selain itu, karena elitis, akses anggota partai atau publik untuk mengikuti proses kandidasi terbatas.

Meminjam istilah Gallagher dan Marsh, kandidasi seperti taman rahasia politik (the secret garden of politics). Padahal, anggota partai merupakan pemegang kedaulatan partai. Salah satu wujud kedaulatan ini adalah terlibatnya anggota dalam sejumlah kebijakan partai, seperti kandidasi untuk jabatan publik. Dengan kata lain, kandidasi sejauh ini masih belum membuka partisipasi luas bagi anggota. Kedaulatan partai praktiknya belum terletak pada anggota, tetapi pada elite partai.

Partisipasi dari anggota partai diperlukan mengingat dalam kesempatan itu bisa digunakan untuk memastikan bahwa kandidasi dilakukan melalui mekanisme yang transparan dan akuntabel. Termasuk ketika nanti partai harus berkoalisi. Hanya saja, dalam titik ini partai kemungkinan akan menghadapi persoalan tentang keanggotaan mereka.

Pengelolaan keanggotaan partai tampaknya tidak menjadi garapan serius partai. Partai seperti baru memerlukan keanggotaan ketika akan menyambut gelaran pemilu dan setelahnya seolah ditinggalkan. Dengan persoalan seperti ini, jalan mudah yang ditempuh partai ketika akan merumuskan kebijakan-kebijakan penting, salah satunya kandidasi, adalah cukup melalui rumusan kebijakan yang dibangun dan ditetapkan oleh elite partai.

Melalui kandidasi yang demokratis, transparan, dan akuntabel, partai mempunyai peluang menempatkan seluruh komponennya mengikuti proses pencarian kandidat kepala daerah yang diharapkan nanti bisa kompetitif. Partai juga bisa mempersiapkan diri sejak awal dalam menghadapi pilkada.

Keuntungan lain yang bisa dipetik adalah memungkinkan partai bisa mengetahui lebih jauh bagaimana kualitas bakal kandidatnya, terutama tentang visi kepemimpinannya dalam membangun daerah. Dengan bekal itu juga bisa memudahkan partai mengawal dan mengoreksi kepemimpinannya apabila kelak terpilih sebagai kepala daerah. Selain itu, calon pemilih di daerah juga memperoleh cukup kesempatan menimbang calon pemimpinnya sehingga tidak asal memilih. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar