Jumat, 26 Januari 2018

Kontribusi Islam terhadap Eropa pada Abad Pertengahan

Kontribusi Islam
terhadap Eropa pada Abad Pertengahan
Faisal Ismail  ;  Guru Besar Pascasarjana FIAI
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
                                                 KORAN SINDO, 26 Januari 2018



                                                           
ABDURRAHMAN III (912-961) adalah Khalifah Dau­lah Umayyah di An­da­lusia (Spanyol) yang paling lama memerintah. Pada ma­sa­nya, peradaban Islam semakin maju. Umat yahudi dan kris­tiani sangat menikmati ke­be­bas­an dan toleransi yang di­berikan oleh khalifah dan umat Islam. William L Langer me­lukiskan pemerintahan A­b­dur­rahman III sebagai berikut: “Masa pemerintahan Ab­dur­rah­man ditandai oleh peng­amanan ke dalam, pen­yem­pur­naan organisasi peme­rin­tahan/sentralisasi, kegiatan armada, perkembangan pertanian, dan kemajuan industri. Cordova (berpenduduk ± 500.000 jiwa) merupakan pusat intelektual terbesar di Eropa, de­ngan per­da­gangan kertas yang sangat besar, perpus­ta­ka­an ter­besar, dan perguruan-per­gu­ru­an yang amat terkenal (kedok­teran, ma­tematika, fil­safat, ke­su­­sas­tra­an, musik); dan pe­nyalinan nas­kah-naskah Yunani dan nas­kah-naskah La­tin secara luas. Puncak inte­lek­tual Muslim dicapai oleh Ibn Rusyd (1126-1198), filosof, ta­bib, dan ko­men­tator tentang ide-ide Plato dan Aristoteles... Umat Kris­tia­ni dan Yahudi te­rus menikmati tole­ran­si yang luas dan merata.”

Masa pemerintahan Ab­dur­rah­man III (selama 50 tahun) sangat fenomenal. Kemak­mu­ran dan kesejahteraan di­ra­sa­kan secara merata oleh rak­yat­nya. Ia adalah seorang kha­lifah besar, disegani baik oleh kawan maupun lawan. Pada masa pe­merintahannya, sektor per­ta­ni­an, perdagangan, in­dus­tri dan ke­uangan berkembang pesat sehingga pendapatan ne­gara berada dalam neraca sur­plus. Ia meninggalkan jejak be­sar tidak saja di Semenanjung Iberia, tetapi juga bagi seluruh Eropa. Prestasi gemilang dan karya-karya besar yang telah di­ukir oleh Khalifah Ab­dur­rah­man III di­rekam sebagai berikut:

“Ia menciptakan ke­mak­mur­­an dan ketenteraman di dalam negerinya dan mem­per­oleh penghargaan dari pihak-pihak pemerintah luar. Pada mulanya, ia mewarisi keuangan negara dalam keadaan carut-marut, te­tapi kemudian ia mewariskan ke­uangan negara dalam keada­an tertata rapi. Sepertiga dari penghasilan tahunannya (yang berjumlah 6.245.000 keping emas) sudah cukup untuk m­e­nu­tup anggaran reguler; se­per­tiga lagi disiapkan untuk ca­da­ngan; dan sisanya untuk ke­per­luan biaya-biaya pemba­ngu­n­an. Seluruh negeri menikmati kemakmuran yang merata. Perta­nian, industri, perdagangan, ke­budayaan, dan ilmu pe­nge­ta­huan berkembang secara ber­sama-sama. Orang-orang asing merasa takjub menyaksikan sistem irigasi yang dikelola ber­dasarkan sistem yang ilmiah, yang memberikan kesuburan bagi tanah-tanah yang sebe­lum­nya tampak tidak mem­be­rikan harapan sama sekali. Mereka tercengang me­nyak­si­kan ketertiban yang sempurna, disebabkan oleh sistem ke­polisian yang selalu mawas diri, meluas sampai ke distrik-dis­trik yang jauh terpencil.

Me­nu­rut laporan syah­ban­dar urusan bea cukai, per­da­ga­ngan ber­kem­bang sampai pada suatu taraf di mana pe­ne­ri­maan bea menempati peringkat ter­be­sar di antara pendapatan negara setiap ta­hunn­ya.”

Peng­gan­ti Abdur­rah­man III ada­lah Al-Hakam II (961-976). Di bawah pemer­intahan­nya, se­lu­ruh wi­layah Andalusia be­nar-benar aman, ten­te­ram dan se­jah­tera. Se­lu­ruh penduduk ti­dak ha­nya menikmati ke­mak­mur­an yang melimpah ruah, akan tetapi juga me­rasakan ke­adilan. Se­ba­gai khalifah pen­cin­ta ilmu pengetahuan, Al-Ha­­kam II memperluas perpustakaan Cordova sehingga menjadi per­pus­takaan terbesar di seluruh Eropa. Ia sadar bahwa per­pus­ta­kaan ada­lah jantung ilmu pengetahuan dan pusat per­­adaban. Ia mem­be­ri­kan per­ha­ti­an yang sa­ngat besar pada pro­yek per­luas­an fisik dan pe­nam­bahan ko­lek­si buku perpusta­kaan Cordova yang semakin ka­ya dan bera­gam. Visi kenegarawanan dan visi keilmuan ter­padu dalam diri Al-Hakam.

Al-Hakam berhasil me­ngum­pul­kan berbagai naskah pen­ting sehingga perpus­ta­ka­annya me­mi­liki tidak kurang dari 400.000 buku. Ini meru­pa­kan prestasi luar biasa, apalagi jika diingat per­cetakan pada masa itu masih belum dikenal seperti pada masa modern. De­ngan penuh minat yang sangat besar, Al-Hakam sendiri yang mengawasi pem­buat­an kata­log­nya. Stanley Lane-Pole men­catat: “By such means he gathered together no fewer than four hun­dred thousand books and this at a time when printing was unknown. (Dengan cara de­mi­kian, dia me­ngumpulkan tidak kurang dari empat ratus ribu buku dan ini terjadi pada saat percetakan be­lum dikenal).

Pada masa itu, dari Basra ke Cor­dova sudah berdiri uni­ver­sitas-universitas besar sebelum studium generale  paling awal di­lak­sanakan di Dunia Kristen. Menjelang tahun 1000 M, Kota Cor­dova merupakan pusat ke­ma­juan ilmiah yang mem­pu­nyai perpustakaan berkatalog 600.000 buku. Derry dan Tre­vor L. Williams mencatat: “From Basra to Cordova great univer­si­ties arose centuries before the ear­liest studium generale in Chris­ten­dom: by A. D. 1000 Cordova had a catalogued library of 600.000 books.”  (Dari Basra ke Cordova universitas-universitas besar telah bermunculan berabad-abad sebelum studium generale  paling awal terjadi di dunia Kristen: menjelang tahun 1000 M, Cordova telah memiliki se­buah perpustakaan berkatalog yang memuat 600.000 buku).

Tepat sekali pengakuan jujur Ro­bert Stephen Briffault (1876-1948) dalam bukunya Making of Humanity : “Ilmu pe­nge­­tahuan adalah sumbangan peradaban Islam yang maha pen­ting ke­pa­da dunia mo­dern... Utang ilmu pe­nge­ta­huan kita kepada ilmu pe­nge­ta­huan bangsa Arab tidak ter­gan­tung kepada penemuan-pe­ne­muan teori yang revo­lu­sio­ner: ilmu pengetahuan ber­utang be­sar sekali kepada ke­bu­dayaan Islam.” Fakta ini me­nunjukkan bah­wa ilmuwan mus­­lim telah “berjasa” meng­an­tarkan Eropa ke Era Renaisans. Renaisans ba­rati rebirth (kela­hir­an kembali) atau revival (kebangkitan kem­bali), yaitu masa transisi dari Abad Pertengahan ke Abad Modern (dari abad ke-14 M sampai abad ke-17 M) yang terjadi di Eropa dan ditandai oleh tingginya apresiasi dan be­s­arnya perhatian orang-orang Eropa terhadap ke­su­sas­traan, ilmu pengetahuan dan filsafat klasik (Yunani klasik), berkem­ba­ngnya kesenian dan ke­su­sas­traan baru, dan tum­buh­nya il­mu pengetahuan mo­dern.

Setelah memasuki Era Re­naisans, Eropa memasuki Era Re­formasi yang kemudian me­lahirkan Era Aufklarung  (En­ligh­t­enment, Pencerahan). Era En­lightenment adalah gerakan fil­safat di Eropa pada abad ke-18 M yang ditandai oleh keper­ca­yaan kepada kekuatan akal ma­nusia dan ditandai pula oleh inovasi di bidang politik, agama, dan dok­trin pendidikan. Alam pi­kiran orang-orang Eropa ter­ce­rahkan kembali dan pen­ce­rah­an kem­ba­li alam pikiran ini menjadi modal besar bagi me­reka untuk terus bangkit mengembangkan sains dan tek­nologi sehingga Eropa me­ma­suki era yang serba mo­dern dan canggih se­per­ti sekarang ini.

Demikianlah fakta pe­nga­ruh ilmuwan Muslim terhadap kebangkitan kebudayaan Ero­pa. Tapi tidak sedikit sarjana Ba­rat, terutama generasi awal, yang cenderung ber­sikap tidak fair, mencoba menutupi luas­nya kontribusi para pakar mus­lim terhadap Barat pada Abad Pertengahan.
Montgomery Watt meng­kritik sikap mereka yang menutup-nutupi pengaruh Islam terhadap kebangkitan ke­budayaan Ba­rat itu sebagai kebang­gaan yang semu.

Menurut Watt, sarjana Barat harus me­ng­ubah cara pandang mereka demi menjaga hu­bungan baik dengan bang­sa Arab dan Mus­lim: “For our cultural indebted­ness to Islam, ... we Europeans have a blind spot. We sometimes belittle the extent and importance of Islamic in­fluence in our heri­ta­ge, and so­me­times overlook it altogether. For the sake of good relation with Arabs and Muslims we must ack­nowledge our  in­de­b­tedness to the full. To try to cover it over and deny it is a mark of false pride.”

(Terkait hutang budi ke­budayaan kita kepada Islam, ... kita orang-orang Eropa mem­pu­nyai cara pan­dang yang buta. Ka­dang-kadang kita meremeh­kan arti penting luasnya pe­nga­ruh Islam dalam warisan bu­daya kita, dan kadang-kadang pula kita tidak meng­acuh­kan­nya. Demi kepentingan hu­bu­ng­an baik kita de­ngan bangsa-bangsa Arab dan umat Islam, kita harus meng­akui sepe­nuh­nya hutang budi kita kepada mereka. Mencoba me­nutupi dan menyangkal pe­nga­ruh ini adalah pertanda kebanggaan yang palsu saja). ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar