Kamis, 25 Januari 2018

Tiji Tibeh vs Kawanan Imunitas Campak

Tiji Tibeh vs Kawanan Imunitas Campak
Djoko Santoso  ;  Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya
                                                     JAWA POS, 23 Januari 2018



                                                           
PERINGATAN Pangeran Sambernyawa (Mangkunegara I) yang dikenal dengan tiji tibeh, mati siji mati kabeh (satu mati, mati semua), agaknya relevan jadi solusi wabah campak (plus gizi buruk) komunitas terpencil di Papua. Bahwa, satu anak menderita campak, semua anak bisa terkena campak. Apalagi ini terkait tiga problem besar, yaitu ketertinggalan, kemiskinan, dan keterbelakangan budaya. Lantas, apa keterkaitannya?

Wabah di Asmat dan Pegunungan Bintang, Papua, seperti diberitakan Jawa Pos, Senin (21/1), menyiratkan problem khusus di pedalaman. Lokasi saudara kita ini jauh dari akses layanan kesehatan, karakter hidup berpindah-pindah, tidak menetap dalam satu kampung. Tak heran anak-anak sangat rentan penyakit menular. Penyakit yang bisa diatasi seperti campak pun jadi vulgar dalam daya tular.

Anak terinfeksi campak idealnya tidak akan menularkan pada lainnya. Namun, hal itu tidak demikian pada campak. Seperti ’’ikrar’,’ satu terinfeksi campak, semua bisa terinfeksi. Maka, mereka menderita ramai-ramai. Sifat menularnya dimulai ketika ada anak terinfeksi yang batuk atau bersin. Dia tentu menyemprotkan virus ke udara. Daya tular memuncak pada empat hari sebelum dan empat hari setelah munculnya ruam.

Dalam komunitas, seperti Asmat, yang diduga tidak memiliki kekebalan dari virus campak, berlaku hukum epidemiologi (perwabahan). Yakni, satu anak yang terinfeksi akan berpeluang menginfeksi 12–18 anak, yang kemudian masing-masing dapat menginfeksi 12–18 anak lainnya lagi. Jika sudah demikian, seketika wabah tumbuh meroket di luar kendali.

Terbukti hingga Jumat (19/1), sudah 68 anak yang tercatat meninggal dunia. Sementara yang dirawat makin bertambah jumlahnya hingga sampai ditempatkan di gereja. Terlebih lagi, sebelumnya juga dilaporkan 18 anak yang terkena kasus gizi buruk dirawat di RSUD Agats dan bertambah 15 anak. Kabar terakhir (22/1) di Kampung Pedam, Distrik Okbibab, Pegunungan Bintang, juga ditemukan 25 anak meninggal akibat campak, plus diare dan gizi buruk.

Selanjutnya, hukum epidemiologi semestinya dijadikan dasar indikator untuk mengakhiri wabah. Targetnya menjadikan setiap anak yang terinfeksi hanya mampu menginfeksi kurang dari satu anak lainnya, tidak boleh lebih. Dalam contoh ini, setidaknya 17 dari setiap 18 anak (lebih dari 94 persen) harus sudah divaksinasi dengan benar agar kebal campak. Ambang batas inilah yang disebut ’’ambang batas imunitas kawanan yang menjadi kunci solusi’.’

Memang ada kesulitan khusus di Asmat dan kawasan terpencil lain. Pertama, komunitas terpencil mempunyai beban kesulitan berlipat-lipat yang jika disederhanakan ada pada masalah keterbelakangan budaya, kemiskinan, ketertinggalan saranaprasarana yang perlu menjadi perhatian semua pihak.

Kedua, segala peristiwa di Papua sangat mudah menjadi sorotan negara asing lengkap dengan bermacam hidden agenda-nya.

Ketiga, bila betul berikut ini semakin menggegerkan. Yaitu ditemukan banyak anak-anak terserang campak dengan gizi buruk pada tingkat yang mengkhawatirkan. Terpampanglah foto-foto kejadian anak meninggal dengan menampakkan tulang belakang dan tulang rusuk yang lebih menonjol, mirip wabah kelaparan tipikal Afrika. Gambaran kesedihan keluarga akan kekurangan pangan yang tidak mampu menjangkau harga pangan. Belum lagi sulit mendapatkan susu formula di rumah sakit atau kekurangan persediaan medis paling dasar seperti obatobatan, sabun, semprotan, kasa, popok bayi, dan sarung tangan.

Keempat, bila memang anak Asmat atau komunitas terpencil lain jarang yang divaksinasi campak, risiko besar bagi komunitas itu. Ringkasnya, hukum epidemiologi mengatakan bahwa setiap anak yang divaksinasi akan dapat mengurangi potensi sumber infeksi yang sekaligus mengurangi risiko pada anak yang tidak divaksinasi. Yakni memenuhi standar 94 persen tervaksinasi.

Untuk semua itu, menjadi penting dalam menjaga kekebalan tubuh suatu komunitas (tak hanya individu) dari waktu ke waktu. Pemerintah secara terpadu harus segera melakukan program vaksinasi secara intens dengan menata ulang kelompok khusus ini. Yakni untuk penduduk yang dikenal berpindah-pindah (tak hanya Asmat) dan kelompok yang secara sosiodemografi yang masuk dalam kategori ketertinggalan, miskin, keterbelakangan budaya.

Langkah penyelamatan berikutnya mengatasi krisis dengan menerapkan pendekatan khusus dan dalam jangka pendek melalui pengiriman makanan, susu formula, obat-obatan. Pada jangka panjang membuat sistem logistik makanan untuk menjamin tidak terulangnya krisis. Selain itu, secara lebih teknis, menulis sejujurnya kasus kekurangan gizi pada catatan medis anak-anak dan segera diidentifikasi bila ada diagnosis klinis malnutrisi dan meningkatkan kompetensi petugas agar profesional dalam mengelola kasus gizi buruk anak, kasus anak-anak kelaparan. Kementerian Kesehatan bersama kementerian lainnya bahu-membahu 
meminta laporan secara periodik terkait status gizi buruk. Karena ini merupakan sistem alarm awal dari krisis pangan sebagai ’’keadaan darurat kemanusiaan’.’

Semoga komunitas Asmat dan kelompok terasing lainnya bisa terjangkau melalui program penguatan kawanan imunitas. Selain campak, anak-anak bangsa itu juga wajib diberi vaksin-vaksin dasar lain. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar