Kamis, 25 Januari 2018

Abdi Negara

Abdi Negara
M Subhan SD  ;  Wartawan Senior Kompas
                                                      KOMPAS, 25 Januari 2018



                                                           
Angin utara membawa kabar yang tidak sedap. Sebanyak 83 pegawai negeri sipil atau aparatur sipil negara yang berstatus terpidana kasus tindak pidana korupsi masih aman-aman dan santai-santai saja bekerja di lingkungan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara dan 15 pemerintah kabupaten/kota. Di Gorontalo juga ada 31 PNS terpidana kasus korupsi yang berkekuatan hukum tetap ternyata masih asyik-asyik bekerja dan menikmati remunerasi seperti biasa.

Kabar tak sedap itu mirip gunung es. Menurut Kepala Kantor Regional XI Badan Kepegawaian Negara Manado English Nainggolan, Jumat (19/1), temuan itu cuma bagian kecil. Hal itu belum menggambarkan kondisi sebenarnya. Ini baru kabar buruk dari utara. Bagaimana tiupan angin timur, barat, selatan, atau lainnya? Berdasarkan data Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), ada 594 ASN yang menjalani hukuman penjara karena korupsi. Mereka tersebar di Jawa Timur (64 orang), DKI Jakarta (40), Bengkulu (38), Riau (32), Sumatera Utara (29), Jawa Barat (29), Jawa Tengah (18), dan Banten (4).

Persoalan ini agak sulit dicerna akal sehat. Bagaimana mungkin para ASN yang korup—dan ada yang kasusnya sudah berkekuatan hukum tetap—masih bisa bertahan menduduki kursi empuk di pemerintahan, mengenakan seragam Korpri ”kebanggaan” sebagai abdi negara, menerima gaji dan fasilitas yang disediakan negara, bahkan ketika pensiun pun masih dibayari negara. Betapa nikmatnya hidup di negeri ini: ditanggung negara walaupun sudah melakukan perbuatan tercela.

Runyamnya lagi, negara (para pemimpin daerah) tak berdaya menghadapi hal itu. Menurut komisioner KASN, Tasdik Kinanto, penyebabnya adalah perbedaan persepsi di antara pejabat yang berwenang, entah itu gubernur, wali kota, bupati, atau kepala dinas. ASN yang korupsi tak bisa diberhentikan karena mereka beralasan untuk kasus sebelum aturan baru ASN disahkan pada 2014 (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014), aturan yang digunakan adalah aturan kepegawaian UU No 43/1999.

Barangkali pandangan legalistik bisa membuat hukum tak mampu menghadirkan kepatutan, kebenaran, dan keadilan. Pemimpin yang bertanggung jawab di daerah pun lepas tanggung jawab karena tak mampu mencari jalan keluar atau memilih menghindar. Mereka justru membiarkan uang negara yang dirogoh untuk menghidupi ASN yang korup itu. Padahal, korupsi adalah pengkhianatan terhadap bangsa ini pascareformasi.

Apalagi setiap ASN bersumpah, ”Demi Allah (sesuai agama masing-masing), saya bersumpah bahwa saya akan setia dan taat kepada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta akan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya demi darma bakti saya kepada bangsa dan negara; bahwa saya dalam menjalankan tugas jabatan akan menjunjung etika jabatan, bekerja dengan sebaik-baiknya, dan dengan penuh rasa tanggung jawab; bahwa saya akan menjaga integritas, tidak menyalahgunakan kewenangan, serta menghindarkan diri dari perbuatan tercela”.

Berpedoman sumpah tersebut, ASN yang korupsi sudah pasti berkhianat kepada Tuhan, tidak setia pada konstitusi, tidak bekerja baik, tidak lurus, tidak beretika, tidak bertanggung jawab, tidak berintegritas, dan menyalahgunakan wewenang. ASN yang korupsi adalah mereka yang melakukan perbuatan tercela. Manusia seperti ini tak berpikir untuk mengabdi kepada negara, tetapi malah mencari peluang mengeruk keuntungan dari posisinya sebagai aparatur negara.

Jadi teringat benalu (Loranthus). Benalu adalah tumbuhan parasit karena hidup dan tumbuh menempel pada batang atau dahan pohon lain. Benalu menyerap makanan dari pohon induknya sehingga merugikan pohon yang ditumpanginya. Jika terus dibiarkan, benalu akan terus berkembang dan dapat membuat tumbuhan yang ditumpanginya kurus dan kering, yang pada akhirnya tumbuhan induk tersebut mati.

ASN korup mirip benalu yang menggerogoti birokrasi pemerintahan di negeri ini. Benalu membuat bangsa yang sudah bertahun-tahun didera praktik korupsi ini semakin terbebani. Tubuh bangsa yang semula sehat, gemuk, dan kekar lama-lama semakin ringkih, kurus, berpenyakitan, layu, dan mungkin terus mati. Boleh jadi mereka yang membiarkan benalu terus tumbuh juga tak lebih baik dari benalu itu sendiri. Beginikah yang namanya abdi negara atau abdi masyarakat? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar