Sabtu, 27 Januari 2018

Politik Bencana, Bencana Politik

Politik Bencana, Bencana Politik
M Subhan SD  ;  Wartawan Senior Kompas
                                                      KOMPAS, 27 Januari 2018



                                                           
Barangkali karena tahun 2018 ini tak ada pilkada di Kabupaten Asmat, Papua, dan pemilu legislatif serta pemilihan presiden masih lama (17 April 2019), lokasi bencana kesehatan di tanah Papua itu ”agak senyap” dari gerakan politik. Asmat tampak lebih ”bersih” dari agenda dan bendera politik sehingga pemerintah, aparat TNI dan Polri, masyarakat sipil, serta lembaga sosial-agama lebih terlihat berjibaku. Bahkan, di hiposentrum politik di Senayan, kasus Asmat ini tak terlalu menonjol. Rapat pimpinan DPR yang membahas Asmat berlangsung pada Kamis (25/1) setelah dua minggu menjadi berita utama (headline). Berita baiknya, anggota DPR menggalang bantuan untuk Asmat.

Biasanya jika ada bencana, panggung politik kerap berguncang keras. Pencitraan sering muncul di tengah bencana. Memori banjir di Jakarta, misalnya, melekat dengan politik. Saat Pilkada DKI Jakarta 2012, posko banjir dibangun partai politik di banyak tempat. Spanduk, atribut, dan bendera parpol berkibar-kibar. Begitu juga pada Pemilu 2014, banyak politikus mendatangi lokasi banjir. Bahkan sampai ada politikus berbasah-basah menerjang banjir setinggi dada orang dewasa. Banjir awal 2017, saat seru-serunya Pilkada DKI Jakarta, juga sama. Ada kandidat yang berdialog dengan korban banjir di tengah genangan air.

Tentu tiada yang salah. Tindakan politikus di lokasi bencana justru patut diacungi jempol. Begitulah seharusnya politikus, juga partai politik. Berada di tengah-tengah rakyat, terlebih ketika rakyat kesusahan ditimpa bencana. Menu- rut Michael Selves, Direktur Manajemen Darurat Wilayah Johnson, Kansas, Amerika Serikat, semua bencana adalah politik: pertimbangan politis merupakan faktor penting dalam persiapan, tanggapan, pemulihan, dan mitigasi bencana.

Namun, bukan rahasia lagi bahwa bencana menjadi komoditas laris di panggung politik. Banyak yang cari panggung di tengah bencana. Namun, publik tak bisa lagi dibohongi. Karena itu, saat mengunjungi korban banjir di Pulau Penang, November 2017, mantan PM Malaysia Mahathir Mohamad mengingatkan bahwa bencana alam tidak boleh dijadikan mainan politik, terlebih mencari kesalahan pihak lain.

Politik dan bencana memang dekat sekali. John Gasper dan Andrew Reeves (Make It Rain? Retrospection and the Attentive Electorate in the Context of Natural Disasters, 2011) mengemukakan, hasil pemilihan lebih bergantung pada tindakan yang diambil politikus saat menghadapi hal-hal tak terduga, seperti bencana. Ada contoh-contoh menarik. Bencana kekeringan membuat melemahnya Partai Republik di Nebraska, AS, pada pemilihan gubernur tahun 1890. Lalu, Juan Peron (1895-1974), mantan Menteri Perburuhan Argentina, justru menciptakan gerakan buruh paling kuat di Amerika Latin pascagempa bumi tahun 1944. Ia kemudian menjadi presiden—yang kemudian dikenang sebagai diktator—pada 1946 hingga 1974. Kasus lain, popularitas Presiden AS George W Bush menurun karena lebih perhatian memberi bantuan untuk negara-negara lain guna perang melawan teror ketimbang memberi bantuan untuk korban badai Katrina tahun 2005.

Berdasarkan pengalaman, berebut panggung di lokasi bencana terlihat mencolok ketika perhelatan politik digelar. Begitu banyak politikus atau parpol yang cepat tanggap saat bencana. Tahun ini ada 171 daerah yang menggelar pilkada. Semua instrumen, modus, dan trik pasti digunakan untuk memenangi pilkada. Paling mencolok, menguatnya politik identitas. Sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) menjadi isu terseksi seiring menguatnya populisme. Di permukaan, semua politikus menolak politisasi sentimen SARA karena sudah pasti tidak mau dianggap sebagai anti-Pancasila atau anti-NKRI. Namun, di bawah permukaan, mereka mengambil keuntungan dari politisasi isu SARA, jika tak ingin disebut ikut mendesain. Kalau sudah ngebet kekuasaan, semua cara bisa dihalalkan. Machiavelli (1469-1527), politikus Italia, sudah lama menegaskan, beberapa abad silam.

Tahun politik sekarang ini mulai mengkhawatirkan karena menarik-narik institusi yang seharusnya netral di atas semua golongan. Dua jenderal polisi diusulkan menjadi penjabat gubernur di Jawa Barat dan Sumatera Utara. Jangan-jangan ada parpol yang ikut main di balik usulan itu. Tidak adakah stok pejabat sipil yang layak menduduki posisi gubernur di dua provinsi itu, kecuali memang dipaksakan demi motif politik tertentu. Namun, langkah itu mengkhianati reformasi sekaligus merusak demokrasi.

Apalagi aturannya sudah jelas. Pasal 28 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri menyebut ”tidak berpolitik praktis” (Ayat 1) dan ”mengundurkan diri atau pensiun” (Ayat 3). TNI juga sama. TNI paling sukses mereformasi diri, meninggalkan dwifungsi yang hanya menjebak TNI menjadi alat kekuasaan Orde Baru, bukan alat negara. UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI (Pasal 47 Ayat 1) juga jelas: ”Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan”.

Keputusan pensiun Pangkostrad Letjen Edi Rahmayadi demi tampil di Pilkada Sumut dan beberapa jenderal polisi yang mau berlaga di pilkada, serta sebelumnya dilakukan Mayor (Inf) Agus Harimurti Yudhoyono untuk bertarung dalam Pilkada DKI Jakarta, adalah contoh baik. Pertimbangan keamanan dan stabilitas bukanlah alasan untuk menyeret Polri/TNI ke politik praktis. Sebab, persoalan stabilitas dan keamanan lebih pada berfungsinya penegakan hukum.

Apabila tahun politik 2018 sekarang menyeret-nyeret Polri dan TNI untuk kembali berpolitik praktis, menggoreng isu SARA dan menyuburkan politik identitas, lalu ada pejabat negara yang memainkan isu kontroversial, sementara korupsi terus membelit para politikus, itu namanya bencana politik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar