Sabtu, 27 Januari 2018

Belajar dari Sejarah Perjuangan Bangsa

Belajar dari Sejarah Perjuangan Bangsa
Susanto Zuhdi ;  Guru Besar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI
                                                      KOMPAS, 27 Januari 2018



                                                           
Separah apakah sesungguhnya keindonesiaan telah terkoyak sehingga tak kurang Ketua MPR Zulkifli Hasan mengajak kita untuk ”menjahit kembali” tenun bernama Indonesia?

Dalam perspektif historis, keindonesiaan merupakan nilai sekaligus karakter yang berproses dan dibentuk oleh dinamika sejarah perjuangan bangsa dalam membebaskan diri dari belenggu penjajahan asing. Meskipun tidak benar bangsa Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun, untuk mencapai kemerdekaan memang perlu waktu lama dan penuh derita dengan pengorbanan jiwa dan raga para pahlawan bangsa.
Untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia, harus melalui revolusi dan perang menghadapi beberapa bangsa asing. 

Dalam catatan sejarah pasca-Perang Dunia II, hanya sedikit bangsa yang merebut kemerdekaannya dari kekuasaan asing melalui perang, termasuk Indonesia. Di Asia Tenggara hanya dapat dibandingkan dengan Vietnam. Tak hanya menghadapi Belanda yang telah lebih lama mencengkeramkan kolonialismenya, juga terhadap pemerintah militer Jepang dan bahkan pasukan Inggris, yang ditugasi Sekutu melucuti Jepang.

Di beberapa tempat, tidak sedikit perlawanan pemuda dalam merebut persenjataan dari tangan tentara Jepang. Berkaitan dengan perlawanan terhadap Inggris, tidak hanya tercatat dalam pertempuran di Bojongkokosan, Sukabumi, pada 19 Desember 1945, bahkan bulan sebelumnya terjadi ”Pertempuran Surabaya” yang meletus 10 November. Peristiwa ini yang justru dijadikan ”Hari Pahlawan”. Ini menarik karena yang diambil bukan dari peristiwa pertempuran melawan Belanda, yang telah bercokol lama sebagai penjajah.

Pelajaran sangat berharga

Meskipun penjajahan Belanda di Indonesia dimulai pada abad ke-19, ketika suatu pemerintahan kolonial Hindia Belanda dijalankan, akar-akar penjajahan sesungguhnya sudah ada pada masa VOC. Kongsi dagang bangsa Belanda yang berdiri pada awal abad ke-17 dan beraktivitas di Nusantara ini bertujuan mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya dengan berbagai cara.

Ingatan kolektif bangsa agaknya akan sulit untuk melupakan hongie-tochten, suatu pelayaran pembakaran pohon cengkeh di Kepulauan Maluku dan genosida di Banda. VOC merupakan kongsi dagang yang diberi hak octrooi, yaitu hak sebuah organisasi pemerintahan, seperti hak untuk membuat kontrak atau perjanjian dengan penguasa setempat, memiliki angkatan perang, dan mengeluarkan mata uang sendiri.

Gemuruh perlawanan dari sejumlah daerah dalam abad ke-17 dan ke-18 sesungguhnya menunjukkan tekad masyarakat untuk menghapus penindasan akibat praktik monopoli perdagangan VOC. Perlawanan terhadap kolonialisme Belanda dalam abad ke-19 memberi pelajaran sangat berharga bahwa sifat kedaerahan dan bergerak secara sendiri-sendiri hanya akan berujung pada kegagalan. Pengalaman itulah yang mendorong anak bangsa berjuang dengan cara-cara berorganisasi secara modern, dilandasi kecerdasan intelektual dan kecerahan nurani. 
Pentingnya nilai dan semangat persatuan kemudian terungkap dari ikrar para pemuda dari berbagai organisasi kepemudaan pada 28 Oktober 1928, dikenal sebagai Sumpah Pemuda.

Tak berlebihan jika dikatakan keindonesiaan merupakan karakter bangsa yang luluh dalam sejarah perjuangan untuk melepaskan diri dari belenggu kolonialisme. Begitulah seperti tertera pada alinea ke-2 Pembukaan UUD 1945: ”Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. 
Kata ”bersatu” setelah kata ”merdeka” menunjukkan betapa penting makna ”persatuan” bagi bangsa Indonesia untuk membentuk negara berdaulat, sehingga mampu melindungi segenap tumpah darah Indonesia dan bangsa Indonesia guna mewujudkan keadilan dan kemakmuran.

Kini setelah lebih dari tujuh dekade bangsa Indonesia menghirup alam kemerdekaan, sesungguhnya itu barulah secara politik dan belum sepenuhnya tampak dalam bidang kehidupan yang lain, seperti aspek-aspek ekonomi dan sosial-budaya. Perekonomian nasional yang merupakan antitesis dari ciri-ciri kolonial yang kapitalistik-eksploitatif belum mampu mewujud seperti yang dicitakan Bung Karno, ”berdiri di atas kaki sendiri” (berdikari). Sesungguhnya tak hanya dalam aspek ekonomi yang seharusnya ”berdikari”, tapi juga berdaulat di bidang politik dan berkepribadian di bidang budaya.

Betapa pun nasionalistiknya, Bung Karno tetap mengingatkan bahwa nasionalisme Indonesia akan tumbuh subur di taman sarinya internasionalisme. Bagaimana bangsa Indonesia secara konsisten dan berani untuk mampu mengamalkan Trisakti-nya Bung Karno, merupakan tantangan besar. Apalagi di tengah terpaan globalisasi yang menisbikan batas-batas wilayah negara, yang notabene mengancam kedaulatan bangsa dan teritorialnya. Isu-isu terorisme, radikalisme, naiknya air permukaan laut adalah beberapa contoh dari masalah global yang harus dihadapi. Ancaman dari dalam negeri sendiri yang bersifat kelokalan atau kedaerahan menjadi masalah kebangsaan yang tidak kalah berat untuk diatasi.

Sejarah: guru kehidupan ataukah ketololan manusia

Lalu bagaimana kini seluruh komponen bangsa ditantang bukan hanya mampu memahami, melainkan juga menjadikan sejarah sebagai inspirasi dan motivasi menggerakkan bangsa untuk mewujudkan cita-cita Proklamasi. Tantangan ke depan semakin berat karena masalah ketimpangan sosial-ekonomi dan ancaman disintegrasi bangsa. Bukankah keberhasilan perjuangan bangsa dahulu karena dilandasi semangat persatuan dengan tujuan menjadikan Indonesia sebagai ”rumah bersama”.

Pertanyaannya, bagaimana sejarah dapat jadi guru bagi kehidupan, seperti dikatakan orang bijak, historia magistra vitae. Atau justru sinisme Voltaire, yang mengatakan sejarah adalah tablo ketololan manusia. Dalam kenyataannya kini, sejarah tidak bergaung atau tidak dipelajari serius karena bangsa tidak menganggap penting sejarah. Sejarah belum dijadikan sebagai perspektif bangsa dalam melangkah ke depan. Sejarah perjuangan bangsa belum dijadikan bahan pelajaran untuk menjadikan bangsa yang berkarakter.

Ada beberapa aspek yang harus diatasi terkait masalah bangsa dalam mempelajari sejarahnya dengan tepat. Pertama, harus berani ”membongkar” kurikulum dan memperbaikinya. Masih belum jelas pengertian konsep mata pelajaran ”sejarah wajib” dan ”sejarah peminatan”, apalagi dalam mempraktikkannya. Belum lagi masalah guru profesional yang sangat minim, metode yang tepat, kemasan buku dan media belajar agar menyenangkan.

Berdasarkan data di lapangan, ternyata guru yang dihasilkan oleh universitas dari lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) masih jauh mutunya dibanding dari universitas umum (Kompas, 19/1/2018). Dalam kaitan ini, lulusan pendidikan sejarah tak menguasai materi yang diajarkan, kecuali cara mengajar.

Kedua, mendudukkan paradigma yang salah kaprah yang mengatakan ”bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya”, diganti dengan ”hanya bangsa yang pandai mengambil pelajaran dari masa lalu patut jadi bangsa yang besar”. Ungkapan ini memang seperti yang dikatakan Bung Karno.

Ketiga, memperluas tema keindonesiaan dengan berbagai aspek: sosial, ekonomi, budaya, dan dengan pendekatan sejarah lokal untuk menangkap keragaman masyarakat sehingga dapat memperkokoh keindonesiaan. Keempat, tantangan untuk sejarawan agar menjadikan ilmu sejarah mampu memenuhi kebutuhan masyarakat-bangsa dalam memaknai masa lalu, memahami masa kini, dan untuk merumuskan visi masa depan.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla sebetulnya telah memperhatikan bahkan menerapkan perspektif sejarah dalam merumuskan visi-misinya, yakni membangun negara maritim yang kuat dan mengembalikan bangsa jaya di laut. Kata ”mengembalikan” berarti sesuatu yang pernah terjadi di masa lampau. Lalu, masalahnya, mengapa yang jaya di laut hanya di masa lampau. Sebelum adagium Bung Karno dibaca secara benar dan sebelum mengamalkan Trisakti-nya, maka bangsa ini sesungguhnya belum mampu belajar dari sejarah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar