Jumat, 26 Januari 2018

Kekuatan Dialog Lintas Agama dan Mazhab

Kekuatan Dialog Lintas Agama dan Mazhab
Nasaruddin Umar  ;  Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
                                            MEDIA INDONESIA, 26 Januari 2018



                                                           
BANGSA yang besar ialah bangsa yang memuliakan dialog. Dialog sesungguhnya merupakan pengejawantahan nilai-nilai keluhuran manusia. Begitu penting arti dialog, Tuhan dalam berbagai kitab suci setiap agama sering memperkenalkan diri-Nya melalui dialog. Dalam Islam, sebagaimana dapat ditemukan di dalam Alquran dan dalam Hadis Qudsi, Allah SWT sering memperkenalkan diri dan kapasitas-Nya melalui dialog.
Menariknya, karena Ia tidak hanya berdialog dengan makhluk termulia-Nya, tetapi juga kepada seluruh lapisan makhluk-Nya. Ia berdialog dengan iblis, malaikat, dan manusia. Proses dialogis inilah yang seharusnya menjadi ciri setiap agama dan umat beragama. Alquran dan hadis juga banyak mengungkapkan dialog secara vertikal dan horizontal sehingga dialog menjadi lambang kekuatan anak manusia yang mungkin tidak dimiliki semua makhluk Tuhan.

Konsekuensi dialog menuntut adanya proses yang terkait dengan waktu, tempat, dan manusia sebagai subyek. Mungkin dari segi ini bisa kita memahami mengapa Allah SWT menurunkan ayat-ayat suci Alquran dalam kurun waktu 23 tahun? Mengapa tidak sekaligus? Kurang apa power yang dimiliki Tuhan untuk memaksakan kehendaknya kepada makhluk lemahnya yang bernama manusia?

Kenapa tidak menggunakan kekuatan “kun fa yakun”, langsung Alquran turun sekaligus dan nilai-nilainya terimplementasi di dalam masyarakat juga sekaligus? Sudah barang tentu di sini ada pelajaran penting buat manusia, khususnya umat beragama. Kekuatan dialog mampu mengangkat dan menghidupkan kembali komunitas masyarakat yang sudah jatuh berkeping-keping. Yang paling penting dialog ialah manifestasi hak asasi manusia (HAM) yang dimiliki semua anak manusia (Bani Adam).

Kitab suci memberikan pelajaran berharga tentang dialog. Dalam Islam, turunnya wahyu berangsur-angsur sesungguhnya bagian dari dialog, bagian dari dialektika masyarakat yang mendapatkan pengakuan Tuhan. Meskipun Tuhan Mahapemaksa (al-Qahhar), Ia tidak menggunakan hak prerogatifnya. Penciptaan alam dilakukan dengan proses kun fa yakun, tetapi penjabaran nilai-nilai kemanusiaan Tuhan menunjukkan sifat sabar-Nya (al-Shabur).

Ini penting buat kita bahwa manakala mengorder suatu sistem nilai di dalam suatu masyarakat, kesabaran harus didahulukan seperti dicontohkan Tuhan. Sesungguhnya para nabi pun meniru kekuatan dialog yang diperkenalkan Tuhan. Para nabi sering mendekati umat dengan kekuatan dialog, sebagaimana bisa dilihat di dalam kisah-kisah nabi dan rasul.

Pelajaran lain bisa dipetik dari kisah Nabi Nuh. Ia berdakwah selama 950 tahun, tetapi pengikutnya bisa dihitung dengan jari. Akhirnya ia berdoa agar Allah SWT menggunakan kekuatannya sehingga umatnya binasa, selain yang naik di atas perahu mereka. Ini pula yang membuat Nabi Nuh menyesal seumur hidup sampai di hari Padang Mahsyar karena kesabarannya masih memiliki batas, tidak seperti yang dilakukan Nabi Muhammad SAW.

Nabi Hud yang dikisahkan di dalam Surah Al-A’raf juga menunjukkan dialog interaktif dengan para tokoh dan pemimpin masyarakatnya. Nabi Shaleh, Nabi Syuaib, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad, diabadikan dialog panjangnya dengan umatnya. Dalam dialog nabi dengan umatnya, tidak jarang nabi ‘mengalah’ terhadap tuntutan umat.

Para sahabat nabi dan penerusnya juga terus mengedepankan dan mengembangkan dialog. Akhirnya satu per satu wilayah-wilayah Timur Tengah mempercayai Islam sebagai agamanya, yang dalam sejarah Islam disebut futuhat. Hal yang sama juga telah dilakukan para Wali Songo ketika pertama kali menganjurkan Islam di Kepulauan Nusantara. Pertama kali mereka melakukan dialog dengan raja-raja lokal dengan menunjukkan akhlaqulkarimah, sambil berdagang dan berdakwah.

Kekuatan dialog menjadi ciri khas mereka. Tidak pernah bosan berdialog bahkan dihujat dan dimaki sesuatu yang biasa bagi mereka yang memiliki jiwa besar. Kebiasaan untuk berdialog merupakan latihan untuk memiliki jiwa besar dan dada yang lapang. Orang yang tidak biasa dan tidak mau berdialog, hatinya kecil, nyalinya kerdil, dadanya sumpek, dan pikirannya sempit. Bahkan, orang-orang yang antidialog cenderung memilih jalan pintas, termasuk menggunakan kekerasan, bahkan dengan cara terorisme dalam mencapai tujuan. Justru hal ini tidak pernah dicontohkan dalam setiap agama.

Rahasia kesuksesan para Nabi bukan melalui peperangan atau kekerasan, melainkan pada umumnya melalui jalan dialog. Daripada ribut di media sosial, saling hujat, lebih baik ditempuh dialog, minimum dialog interaktif. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar