Senin, 29 Januari 2018

Membangun Manusia Seutuhnya

Membangun Manusia Seutuhnya
Paulinus Yan Olla  ;  Rohaniwan Kongregasi MSF; 
Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana, Malang
                                                      KOMPAS, 29 Januari 2018



                                                           
Tahun 2018 dan 2019 diyakini akan menjadi tahun demam politik. Tahap-tahap pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden ataupun anggota-anggota legislatif akan menaikkan ”suhu badan” negeri ini oleh adu perebutan kekuasaan. Namun, pertanyaannya adalah, apakah gegap gempita politik itu akan dihubungkan dengan nasib rakyat?

Rakyat dan kesejahteraan umum, seperti mandat dalam UUD 1945, harusnya menjadi kiblat sekaligus ujung perjalanan pembangunan bangsa. Kesejahteraan umum seharusnya menjadi pula panduan setiap aktivitas berpolitik secara bermartabat. Untuk menggapai kesejahteraan itu, pembangunan menjadi kata kunci.

Sayangnya, inti perdebatan publik dalam setiap ritus peralihan kekuasaan di negeri ini sering absen menawarkan visi tentang pembangunan rakyat. Tantangan nyata pembangunan bangsa tidak dihadapi, tetapi bahkan lebih dimunculkan tantangan/ancaman-ancaman fiktif/imaginatif berbungkus sentimen-sentimen sektarian untuk memukul lawan politik.

Desain pembangunan kesejahteraan manusia, seperti apa yang diimpikan untuk diwujudkan, kurang menjadi fokus perdebatan.

Pertanyaan tentang desain pembangunan bangsa kini menyeruak dalam diskusi publik ataupun liputan media. Namun, bukan karena diusung sebagai patokan dalam memilih calon di tahun politik. Ia muncul sebagai suatu kasus darurat.

Publik dan mungkin juga pemerintah sendiri dikejutkan oleh kenyataan bahwa setelah sekian lama gencar membangun, masih ada rakyat di daerah-daerah yang masih terus tersingkir dari jangkauan pelayanan kesejahteraan yang mendasar, seperti pelayanan kesehatan. Dana alokasi khusus dan dana tambahan untuk Papua yang mencapai Rp 8,2 triliun pun dipertanyakan manfaatnya.

Kasus gizi buruk dan campak yang merenggut nyawa puluhan anak di Kabupaten Asmat menyentak publik untuk mempertanyakan desain pembangunan dari pemerintah yang berkuasa (bdk, Kompas, 17/1/2018).

Proyek-proyek infrastruktur, kendati sangat mendasar dan penting, tidak boleh meminggirkan rakyat dari pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok lain, seperti kesehatan, pendidikan, keamanan, dan hak-hak asasi manusia.

Slogan ”membangun dari pinggiran” harusnya dilengkapi dengan menambahkan frasa lain ”pembangunan manusia dalam keutuhannya.” Banyak terminologi dapat digunakan untuk mengungkapkan idealisme tersebut, misalnya ”pembangunan manusia secara integral,” ”pembangunan inklusif” atau istilah-istilah lainnya.

Intinya adalah pesan bahwa pembangunan manusia harus memenuhi kebutuhan manusia yang multidimensional. Pembangunan tidak boleh bersifat parsial.

Visi pembangunan manusia

Negara-negara yang telah kuat demokrasinya dan agak menyeluruh visi pembangunan manusianya bisa menjadi kiblat atau inspirasi pembelajaran. Perdana Menteri Inggris Theresa May, misalnya, baru saja membentuk Kementerian Kesepian (Ministry of Loneliness), sebagai bagian dari pembangunan kesehatan publik.

May menegaskan bahwa, bagi banyak orang, kesunyian merupakan suatu realitas menyedihkan dalam hidup dunia modern. Pemerintah perlu mengambil tindakan melawan kesepian yang diderita orang-orang lanjut usia (lansia) yang tidak mempunyai seorang pun untuk berbicara. Data penelitian memperlihatkan bahwa di Inggris ada 200.000 orang lansia yang selama satu bulan tidak bercakap dengan siapa pun (bdk, L’Osservatore Romano, 19/1/2018).

Inisiatif Pemerintah Inggris dibenarkan penelitian Church Urban Fund dan Church of England, yang mengakui bahwa kesepian dan keterasingan sosial merupakan salah satu masalah utama dalam komunitas keagamaan.

Penelitian serupa yang dilakukan organisasi Relate and Relationship dan dipublikasikan pada 2017 memperlihatkan pula bahwa ada lima juta orang di Inggris yang tidak memiliki sahabat karib. Maka, kesepian atau keterasingan sosial patut menjadi perhatian dalam pembangunan suatu bangsa.

Hal yang sama dilakukan juga di Amerika Serikat, misalnya dalam menghadapi obesitas sebagai masalah pelayanan kesehatan publik. Mantan first lady Michelle Obama menjadi inisiator ”Let’s Move” (2010), sebagai gerakkan anti-obesitas melalui program pencegahan obesitas sejak bayi dalam kandungan, masa kanak-kanak, dan masa selanjutnya.

Obesitas pun  terkait banyak unsur kesehatan masyarakat. Dengan demikian, hal itu perlu ditangani sebagai soal mendasar dalam pembangunan pelayanan publik.

Pembangunan yang berfokus infrastruktur ekonomi yang kini digenjot di Tanah Air tak dapat diingkari pentingnya bagi kesejahteraan masyarakat. Namun, dimensi-dimensi lain pembangunan manusia tidak dapat dipinggirkan.

Ironisnya, hingga kini, alih-alih menyejahterakan rakyat dalam dimensi-dimensi lain, kebutuhan-kebutuhan mendasar rakyat yang paling pokok saja, seperti kesehatan, tampaknya belum terpenuhi di pinggir-pinggir negeri ini. Maka, pembangunan aspek-aspek nonmaterial/fisik (baca: menyeluruh) masih dianggap sebuah kemewahan sehingga tidak dijadikan prioritas pembangunan.

Siapa pun pemimpin Indonesia di masa depan dituntut bekerja keras, misalnya dengan menimba inspirasi dari apa yang dilakukan Theresa May atau Michelle Obama, untuk membangun sesuai konteks dan kebutuhan rakyat. Negeri ini harus berusaha agar kemiskinan fisik dapat dilampaui dan bersiaga pula untuk menghadapi tantangan lebih besar pembangunan nonfisik.

Pada masa depan, negeri ini mungkin sangat mendesak memerlukan ”kementerian korupsi/kebohongan” atau ”kementerian kebencian/pengampunan” ataupun usaha-usaha menegakkan pula hak-hak asasi manusia yang hingga kini tampak terpinggirkan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar