Kamis, 09 Januari 2014

Pemilu 2014 dan Keamanan Regional

                        Pemilu 2014 dan Keamanan Regional

Bantarto Bandoro  ;   Dosen Senior pada Fakultas Strategi Pertahanan, 
Universitas Pertahanan, Jakarta
KORAN SINDO,  09 Januari 2014
                                                                                                                        


Pemilihan presiden di sini akan berlangsung kurang dari delapan bulan. Publik berharap semua calon presiden, dengan banyak amunisi yang mereka miliki, akan saling bertarung dalam pemilu mendatang. Mereka akan melakukan pertempuran sengit dengan tekad kuat untuk mendapatkan suara sebanyak mungkin dan memenangkan jabatan tertinggi di negara ini. 

Dalam pemilihan presiden nanti, yang dipertaruhkan tidak hanya reputasi mereka sebagai politisi berkaliber tinggi, seperti yang ditunjukkan oleh mereka di depan publik secara konstan, tetapi juga reputasi partai politik yang mencalonkan mereka. Golkar, Gerindra, PDIP, Partai Demokrat, Hanura, PAN adalah sebagian dari partai politik peserta pemilu yang menduduki halaman depan media cetak maupun elektronik.  
Banyak yang menafsirkan kunjungan para petinggi partai politik kepada presiden SBY sebagai sinyal dibangunnya sebuah koalisi. Namun, masyarakat masih dalam kegelapan apa yang sebenarnya ingin mereka perlihatkan kepada publik dan partai politik mana yang mencalonkan siapa. Lepas dari itu, setiap partai politik atau gabungan partai politik pada akhirnya pasti akan memperkenalkan calon presiden mereka kepada publik melalui cara-cara yang dapat membuat publik simpati kepada pilihan mereka. Para calon presiden dipastikan tidak akan terlibat dalam bentrokan fisik, tetapi tidak ada jaminan bahwa bentrok fisik di akar rumput tidak akan terjadi di antara para pendukung calon presiden. 

Untuk menghindari hal itu, yang perlu dilakukan oleh para calon presiden adalah melakukan semacam “perang ide” (War of Ideas, Bandoro, 2009) di mana para calon presiden menyampaikan gagasangagasan mereka sebagaimana diinginkan oleh para pendukung mereka. Proses demikian bisa menjauhi mereka dari rasa “bermusuhan” dan menggerakkan mereka untuk berpikir secara lebih rasional, di mana para pemilih akan menyesuaikan dengan pemikiran-pemikiran para calon presiden. 

Dalam proses itu dipastikan juga akan terjadi “pertarungan” konsep, visi, gagasan mereka mengenai Indonesia di masa depan. Para calon presiden tidak hanya terlibat dalam debat “cara Indonesia”, seperti yang kita lihat dalam Pemilihan Umum Presiden 2009, tapi juga dalam pertempuran di dunia iklan, yang sudah berlangsung sejak kuartal terakhir 2013. Proses itu pada dasarnya adalah sebuah upaya untuk memperlihatkan kepada publik “kekuatan” dan “pengaruh” mereka. 

Taruhantaruhan politik mereka akan semakin tinggi ketika mereka semakin mendekati hari pemilihan dan mulai menampakkan diri mereka secara konstan dalam “perang ide” tersebut. Akan tetapi, bisa saja makna “perang ide” mungkin tidak begitu dipedulikan oleh para calon presiden, karena “perang ide” itu akan berakhir dengan sendirinya setelah pengumuman resmi siapa yang akan keluar sebagi pemenang. Bagi masyarakat pada umumnya, yang lebih penting adalah apakah pemimpin baru Indonesia nanti dapat menjamin kelancaran proses menuju demokrasi utuh (full-fledged democracy). 

Dengan akan diselenggarakannya pemilihan presiden, selalu ada alasan untuk mengharapkan bahwa perubahan kepemimpinan yang mulus akan membantu menghasilkan stabilitas politik dan menjamin kelangsungan pembangunan ekonomi. Namun, perubahan kepemimpinan bisa saja membawa gelombang ketidakpastian, ketakutan, dan kekacauan politik, seperti yang banyak terjadi di beberapa negara berkembang tertentu. 

Perubahan kepemimpinan akhirnya bisa mengganggu stabilitas nasional, khususnya ketika calon presiden kalah dalam pertempuran politik mereka di kotak suara, tetapi tidak dapat menerima kekalahan; dan memobilisasi pendukung mereka di akar rumput terhadap para pemimpin yang menang dan diterima oleh publik. Hal ini bisa terjadi dalam pemilihan tahun ini jika saja ketegangan politik terus meningkat setelah masa pemilu. 

Dengan kata lain, tidak ada jaminan bahwa pemimpin baru, apakah itu Jokowi, Prabowo, atau Wiranto, atau bahkan mungkin Megawati sekalipun, akan menerapkan pola yang sama seperti pendahulu mereka, SBY, dalam menjaga stabilitas keamanan nasional. Harus diakui bahwa Presiden SBY dinilai banyak orang telah menanamkan stabilitas dan demokrasi di negara ini. Jika prioritas pemimpin baru nanti lebih kepada urusan-urusan dalam negeri, apalagi urusan partai mereka, sementara persoalan dalam negeri semakin banyak, maka hal itu bisa membuat pemimpin baru menjadi lebih nasionalis, sehingga mengabaikan pentingnya hubungan luar negeri Indonesia. 

Immanuel Kant (1795) sering menjadi rujukan ketika seseorang membahas hubungan penting antara demokrasi dan stabilitas. Ia mengatakan bahwa demokrasi adalah salah satu komponen utama untuk menciptakan stabilitas dan kemakmuran nasional dan regional. Proses perkembangan demokrasi di Indonesia pasca- Pemilu 2014 dapat menjadi masalah serius untuk stabilitas Asia Tenggara jika pemimpin baru tidak memiliki semua keterampilan dan komitmen yang dibutuhkan, untuk secara hati-hati mengelola proses demokrasi di Indonesia. 

Semua calon presiden dan partai politik pendukung mereka, hingga kini sepertinya belum secara konkret memperkenalkan kepada publik apa yang mereka anggap sebagai elemen kunci untuk demokrasi seperti yang dibayangkan oleh Immanuel Kant. Bisa saja mereka tidak peduli mengenai pemikiran-pemikiran Kant mengenai demokrasi dan stabilitas, sekalipun mungkin mereka tahu esensi dari pemikiran Kant itu. 

Namunketika proses politik terus berlanjut, para calon presiden tidak bisa menghindar dari keharusan untuk berdiskusi dengan masyarakat mengenai pentingnya membuat Indonesia menjadi negara demokrasi yang utuh. Pembangunan bangsa (nation building) mungkin saja tidak menjadi tujuan utama yang ingin dicapai melalui pemilihan 2014, karena sepuluh tahun reformasi di negeri ini tampaknya telah membantu menghasilkan tujuan tersebut. 

Tapi bagi sebagian orang, pembangunan bangsa masih menjadi prasyarat dalam proses demokratisasi, jika Indonesia tidak ingin dirinya dilihat menjadi negara gagal, karena benturan sentimen-sentimen agama, suku dan ras hingga kini masih terus melekat pada masyarakat. Dapatkah pemerintah baru pasca-Pemilu 2014 mencegah kecenderungan tersebut dan menawarkan kepada publik sebuah harapan negara yang jauh lebih stabil daripada sekarang ini? 

Setelah pemilihan presiden nanti, skenario yang mungkin akan kita saksikan adalah bahwa pemimpin baru di Jakarta, siapa pun dia, akan terus menjalankan proses reformasi politik menuju tatanan demokrasi yang lebih stabil. Namun, semuanya itu sangat bergantung pada apakah pemerintah baru nanti akan mampu mengelola perekonomian nasional, memelihara kepercayaan investor, menegakkan hukum, serta memberantas korupsi dan nepotisme dalam birokrasi. 

Kekuatan-kekuatan bergerak melawan demokrasi harus dicegah di semua tingkatan Jika pemerintah berikutnya berhasil mengatasi tantangan-tantangan tersebut, prospek untuk Indonesia bergerak menuju demokrasi utuh akan semakin besar. Indonesia yang stabil, aman, dan demokratis akan memperkuat peran kepemimpinan regional Indonesia yang kini dinilai sudah efektif dan produktif, tetapi dengan catatan bahwa pemimpin baru di Jakarta harus memiliki pandangan yang jauh ke depan mengenai bagaimana memperkuat posisi internasional Indonesia. 

Sebaliknya, Indonesia yang tidak stabil, apalagi jika kehidupan demokrasinya rapuh, akan membuat lingkungan keamanan nasional dan regional menjadi tidak menentu dan berbahaya bagi negara-negara lain di kawasan (Rabasa, 2001) Ini berarti bahwa sementara negara-negara di kawasan itu sangat menghargai peran strategis Indonesia, kegagalan dalam proses demokrasi bisa mengubah Indonesia menjadi daerah yang bermasalah. 

Untuk sebagian besar negara di Asia Tenggara, mungkin kekhawatiran utama mereka mengenai Indonesia bukan soal apakah Indonesia akan menjadi negara demokratis atau tidak, melainkan bagaimana pemerintah baru Indonesia bisa menjaga keamanan dan stabilitas dalam negeri. Penerbitan Inpres Nomor 2/2013 untuk memperketat keamanan mungkin dimaksudkan untuk mengantisipasi dan memecahkan masalah gangguan keamanan dalam negeri yang mungkin dihasilkan dari Pemilu 2014. 

Negara-negara di wilayah ini akan sangat penasaran untuk melihat bagaimana Indonesia, di bawah pemimpin baru, akan mampu menyeimbangkan kebutuhan untuk demokrasi dan stabilitas. Sementara orangorang di Indonesia merindukan demokrasi dan bercita-cita menjadi demokratis, tetapi itu bukan obat mujarab untuk mengatasi semua persoalan politik, ekonomi, dan sosial. Situasi politik sebelum, selama, dan setelah Pemilu 2014 akan menjadi testing time yang nyata bagi Indonesia. 

Ini akan berimplikasi pada stabilitas sosial, integritas teritorial, hubungan eksternal, kohesi budaya, dan pemerintahan. Risiko keamanan akibat pemilihan presiden yang tidak mulus, atau ketidakmampuan pemerintah baru Indonesia mencegah timbulnya kekerasan agama dan etnik yang dikaitkan dengan pemilu, menuntut langkah-langkah keamanan (security measures) secara akurat, jika Indonesia tidak ingin dirinya dilihat sebagai salah satu sumber ketidakstabilan kawasan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar