Selasa, 28 Januari 2014

Sikap Kultural Hadapi Bencana

                  Sikap Kultural Hadapi Bencana

Fathur Rokhman  ;   Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes)
SUARA MERDEKA,  27 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
BENCANA datang melalui berbagai rupa beberapa pekan ini. Bencana telah membuat kita menderita. Namun, bencana juga bisa mengetuk nurani untuk merefleksikan sikap kultural untuk menghadapi. Dengan begitu, ketika bencana berakhir kita tak hanya diam, tetapi tergerak untuk mengatasinya.

Hal pertama yang perlu direfleksikan adalah persoalan relasi manusia dengan alam. Telah disebutkan pada kitab suci, manusia adalah khalifah di muka bumi. Tugas khalifah adalah mengorganisasi sehingga tercipta keharmonisan. Khalifah memiliki hak sekaligus kewajiban memutuskan secara baik, mana tindakan yang boleh dilakukan dan harus dihindari.

Sayang, amanah sebagai khalifah kerap disalahgunakan. Manusia justru menempatkan diri sebagai penguasa. Hampir seluruh tindakan dilatari motif memuaskan diri.

Kehausan pada kekayaan mendorong eksplorasi alam yang menjurus eksploitasi. Pola relasi antroposentris demikian berlangsung lama hingga menjurus pada ìpenjajahan terhadap alamî. Borgias (2013) berpendapat tindakan yang dilakukan manusia adalah representasi kehendak yang bergelora dari pikirannya. Kehendak tersublim dari pengetahuan-pengetahuan yang terakumulasi.

Pengetahuan kemudian membentuk pandangan mendasar (paradigma) sebagai dasar untuk menilai baik-buruk. Pandangan manusia terhadap lingkungannya menjadi dasar argumentasi bagi tindakan yang akan dilakukan. Eksploitasi manusia terhadap alam adalah akibat pemahaman teknologis terhadap alam. Dalam tradisi berpikir teknologis, manusia merasa berhak menggunakan apa pun di sekitarnya.

Teknologi diciptakan untuk memudahkan hidup dengan cara mengambil sebanyak-banyaknya sumber daya alam. Semakin banyak kekayaan yang bisa dikeruk dari bumi manusia merasa semakin berhasil. Para pemikir kritis menganjurkan kita membedakan realitas natural dan realitas kultural agar mampu memahami alam dengan labih baik.

Realitas natural adalah sebuah kondisi yang tercipta karena ìkehendakî alam itu sendiri. Adapun realitas kultural adalah kondisi yang tercipta dari tindakan manusia, baik yang dikonstruksi secara sengaja maupun terakulumasi tanpa disadari. Letusan Gunung Sinabung, tsunami Aceh, dan gempa Bantul DIY adalah contoh bencana natural. Bencana ini menimpa tanpa campur tangan manusia. Sifatnya sangat tak bisa diperkirakan.

Terhadap bencana semacam itu, pilihan terbaik bagi masyarakat adalah mengantisipasi. Sementara banjir yang tengah menimpa kita saat ini adalah bencana kultural karena kita keliru mengelola sumber daya air. Siklus hidrologi yang terbangun secara alami rusak akibat rekayasa manusia.

Pelajaran Leluhur

Bencana kultural menyisakan ruang refleksi bagi kita. Pertama; merefeleksikan berbagai tindakan eksploitatif yang selama ini kita lakukan. Kedua; merefleksikan tindakan masa mendatang guna menebus ”dosa” kepada alam.

Sebagai fenomena kultural, banjir separah apa pun dapat dicegah. Meski memakan energi dan biaya besar, bahkan waktu lintas generasi, perbaikan harus dilakukan agar alam tidak makin ganas. Untuk memulai pekerjaan besar itu, kita dapat meneladani leluhur.

Mereka bisa hidup selaras dengan alam karena menganggapnya sebagai rumah. Sebagai rumah, alam tidak hanya harus dijaga tapi dipelihara sehingga tetap nyaman dan membuat kerasan. Memayu hayuning buwana adalah salah satu konsepsi terpenting leluhur kita dalam memahami alam.

Konsep ini berarti upaya menjaga kelestarian alam. Konsep itu menjadi ikon utama kerajaan-kerajaan Jawa, sejak Majapahit dan kemudian Mataram Islam. Wasino (2010) mengungkapkan, konsepsi ini menunjukkan kehendak manusia Jawa menjaga harmoni antara makrokosmos dan mikrokosmos.

Konsep pertama diterjemahkan sebagai jagad gedhe, alam semesta yang memiliki tatanan sendiri yang diatur oleh kekuatan supranatural sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Adapun mikrokosmos berarti jagad cilik.

Pada level individual berarti tiap orang menempatkan diri sebagai bagian dari sistem besar alam. Pada level negara dimaknai bahwa raja atau penguasa harus menunjukkan sifat-sifat yang dimiliki penguasa makrokosmos untuk menjaga kelestarian alam. Konsepsi Jawa yang juga penting adalah momor, momong, dan momot.

Secara sederhana, momor adalah kehendak untuk menyatu dan bersahabat dengan lingkungan (manjing ajur ajer). Manusia hidup berbagi ruang di bumi, sudah semestinya merasa memiliki. Kepemilikan tidak diterjemahkan secara lahir dengan menguasai, memelihara, dan memanfaatkan tetapi juga secara batin.

Adapun momot diartikan sebagai kemampuan menampung dan mengakomodasi aspirasi. Dalam berelasi dengan alam, manusia diberikan kemampuan membaca kondisi alam. Manusia juga subjek paling aktif sehingga memiliki kewajiban kultural untuk memahami kehendak alam.

Momong berarti menjaga, mengasuh, dan membimbing. Dengan kemampuan budi yang dimiliki, manusia memiliki kedigdayaan melakukan tiga hal itu. Momong dilakukan orang tua agar anak tumbuh dan berkembang. Tak ada niatan mengambil untung, apalagi mengeksploitasi. Mudah-mudah bencana ini menyadarkan kita agar makin peduli.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar