Rabu, 29 Januari 2014

Gagap Elitisme dan Ilusi Otonomi

                Gagap Elitisme dan Ilusi Otonomi               

Pamungkas A Dewanto  ;   Mahasiswa Graduate School of International Relations, Ritsumeikan University, Kyoto
KOMPAS,  28 Januari 2014

                                                                                                                 
                                                                                                                                               
PEMILU Presiden 2014 menjadi menarik karena penyegaran dalam aspek ketokohan dan dinamika pasang-surut partai politik yang terbangun dalam empat tahun terakhir. Penyegaran ketokohan ditandai dengan munculnya figur-figur baru dari kalangan eksekutif daerah, intelektual, dan pebisnis.
Biarpun menarik, masyarakat lupa dengan pelajaran terpenting yang tersirat dalam perjalanan demokrasi kita, yakni spirit elitisme. Gejala elitisme ini menjamur dalam perpolitikan kita, bahkan merasuk dalam kelompok masyarakat madani, termasuk dalam menyikapi pemilu.
Pertama, semangat kolektif yang bersifat sentralistik tetap merajai dengan masyarakat yang kian mengarusutamakan politik nasional ketimbang pembangunan daerah.
Baru saja pesta demokrasi fenomenal di Jakarta yang memenangkan Jokowi, kini rakyat telah melangkah mendesak Jokowi kembali mempertimbangkan perannya di kancah nasional. Fenomena ini muncul karena masyarakat meletakkan skala nasional lebih penting ketimbang daerah.
Kedua, peran media mendorong isu ”Jakarta” mengesampingkan dinamika politik dan pembangunan di daerah lainnya.
Masyarakat yang sehari-hari bergantung pada biaya bahan pokok, misalnya, diajak untuk lebih peduli pada kasus kecelakaan di Jalan Tol Jagorawi yang melibatkan artis Ibu Kota ketimbang perkembangan kebijakan stabilisasi harga pangan.
Ketiga, kolaborasi organisasi non-pemerintah dan media, mendorong lahirnya masyarakat yang peduli-Jakarta ketimbang daerah lain yang memerlukan perhatian khusus. Apalagi di era kini, kinerja pemerintah sangat didorong oleh desakan kolaboratif dua pihak ini.
Akibatnya tak heran jika pemerintah lebih fokus membenahi kebijakan yang diawasi ketat di Jakarta dibandingkan dengan eksesnya di daerah.
Sorotan terhadap isu penegakan hukum, misalnya, masih terfokus pada kasus-kasus kakap (elitis) dan belum berimbang. Keberanian masyarakat madani dalam mendorong kasus korupsi non-elitis masih dibatasi tembok inpopularitas.
Padahal, budaya sentralistik kita terbukti gagal mengubah paradigma berpikir masyarakat umum.
Di sisi lain, korupsi administratif yang lebih mengakar, seperti kepengurusan dokumen, tilang, dan surat izin, terus berlangsung hingga pada level terbawah.
Kasus lain terkait pangan, naiknya harga kedelai misalnya, lebih direspons secara sentralistik dengan menghapus biaya impor daripada melihat daerah penghasil kedelai mana saja yang memerlukan inovasi teknologi pertanian berkelanjutan.
Akibatnya, produsen tempe-tahu kini menuntut proteksi barang impor dengan cara subsidi kedelai impor, bukannya menuntut peningkatan produksi pertanian negeri yang tanahnya subur ini.
Kooptasi nilai
Budaya sentralistik ini bersumber dari era kolonial. Belanda sejak tahun 1800 menjadikan Jawa sebagai sentra transportasi dan produksi bahan pertanian, mengesampingkan Ternate dan kawasan perairan timur Sumatera yang berkembang ratusan tahun sebelumnya.
Muncul dikotomi ”Jawa” dan ”luar-Jawa” yang membangkitkan dilema definisi Indonesia yang terbatas Jakarta.
Kini, pemikiran ini masih mendengung di telinga kita. Padahal, konstruksi ini melanggengkan paradigma sentral-pinggiran (core-periphery), yang secara filosofis tidak mengizinkan kita memiliki Indonesia dengan komposisi kepulauan yang berdiri sama tegak dan sama maju.
Hambatan utama negeri ini bukan berada di hilir (pusat), tetapi di hulu (daerah).
Kesulitan daerah memahami bahasa peraturan perundang-undangan yang dibuat dalam kerangka berpikir serba sentralistik, akhirnya melahirkan peraturan-peraturan daerah baru yang memungkinkan daerah melenggang bebas mengontrol sumber-sumber ekonomi di daerah.
Apalagi, budaya perekrutan yang masif melahirkan birokrasi gemuk dan inefektif (Bureaucratic parkinsonization).
Otonomi daerah belum maksimal karena paradigma sentralistik juga masih mengakar di daerah. Ketergantungan pemerintah daerah untuk mendapatkan gelontoran anggaran dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, misalnya, menjadikan daerah kurang inovatif dan mengutamakan aktivitas lobi kepada pusat dibandingkan melahirkan sebaran pertumbuhan baru.
Namun perlu diakui pula, banyak pemimpin visioner yang lahir karena lulus menghadapi tantangan otonomi ini.
Belakangan kita mendengar testimoni warga Labuan Bajo atas ketidaksesuaian laporan dan kenyataan (window dressing) pelaksanaan Sail Komodo.
Sebagian besar kegagalan terjadi karena ideologi ”asal bapak senang” yang dipelihara sejak Orde Baru. Kepuasan pusat terhadap daerah dapat dengan mudah diciptakan dengan laporan yang mengada-ada, jauh dari kenyataan di lapangan.
Kita dihadapkan pada suatu fakta di mana reformasi elitis sudah terbukti tidak cukup berhasil dalam 15 tahun terakhir.
Oleh karena itu paradigma sentralistik harus diubah menjadi konsentrik di mana pusat hanya berperan sebagai poros dan lingkaran terluar tentunya memiliki ”keliling” (baca: tanggung jawab) yang lebih besar. Di sinilah pentingnya untuk penguatan pelayanan dalam lingkup daerah, termasuk pengawasannya.
Oleh karena itu, ketimbang mendorong Jokowi duduk di poros kekuasaan, lebih baik berkonsentrasi mengawasi para kepala daerah agar lahir Jokowi-Jokowi baru.
Pemimpin dengan skala kecil akan lebih realistis dalam melakukan kalkulasi eksekusi kekuasaannya ketimbang dalam lingkup yang luas, termasuk pengawasannya.
Meski demikian, semua terpulang pada budaya berpikir kita, apakah kita mampu membebaskan diri dari jerat elitisme yang masih bersarang di benak kita masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar