Rabu, 29 Januari 2014

Imlek dan Persaudaraan Multikultural

Imlek dan Persaudaraan Multikultural

Agus Wibowo ;   Penggiat Komunitas Aksara Yogyakarta
SINAR HARAPAN,  28 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Tidak lama lagi, sebagian masyarakat kita yang beretnis Tionghoa akan memperingati Tahun Baru China atau Imlek 2565.

Masyarakat Tionghoa meyakini, Imlek merupakan lambang semangat perjuangan dan kemenangan dalam membina kehidupan beragama. Itu pun menjadi lambang persaudaraan antara umat Ji Kau/Ru Jiao, Hud Kau/Fo Jiao, dan Too Kau/Dao Jiao.
Upaya merajut persaudaraan dan perilaku toleran di antara keturunan Tionghoa terlihat jelas saat praktik ibadah di altar langit (Thian Than) Kelenteng Tri Dharma. Itu memang indah dan syahdu. Seakan-akan perbedaan keyakinan (Buddha, Tao, Konghucu) menjadi modal dasar membangun kehidupan yang lebih baik.

Tidak seperti perayaan Tahun Baru Masehi, hari-hari pertama Imlek punya arti khusus. Hari pertama dianggap suci karena semua angota keluarga berkumpul.
Hari kedua, gambar dewa yang lama diturunkan dan dibakar. Pemasangan gambar baru biasanya diiringi doa dan membakar petasan sehingga suasana meriah. Setelah itu, tidak lupa diadakan doa dan permohonan ke meja persembahan.

Hari keenam semua pedagang dan pemilik toko bangun memuja seluruh dewa dan membakar peri jahat di atas kertas kuning dengan menyalakan dupa dan petasan. Bila petasan habis terbakar, pintu toko pun dibuka dan usaha dimulai lagi.
Ternak dan hasil pertanian ikut mendapat perhatian besar dalam perayaan ini. Sepuluh hari pertama digunakan merayakan ulang tahun binatang peliharaan. Jika cuaca baik, berarti tahun yang bagus bagi hewan dan tanaman.

Dalam perayaan Imlek ada tradisi bersih-bersih yang diyakini mendatangkan keberuntungan dalam memasuki tahun yang baru. Namun pada saat Imlek, kegiatan menyapu menjadi pantangan.

Menyapu dianggap akan menghilangkan hoki atau keberuntungan, kecuali kalau terpaksa. Itu pun arah menyapunya dari luar ke dalam rumah sehingga diharapkan keberuntungan masih ada dalam rumah.

Menurut wikipedia, selama perayaan Tahun Baru China, alat-alat pemotong, seperti pisau atau gunting, tidak boleh digunakan. Itulah mengapa semua makanan pesta dibuat dan disiapkan pada hari-hari sebelumnya.

Para sahabat dan kerabat saling bertukar hadiah. Ada tradisi menarik dalam perayaan Imlek, yaitu kewajiban penerima hadiah memberi amplop merah bergambar berisi uang (angpau) pada pemberi hadiah.

Uniknya, gambar atau tulisan pada amplop angpau memiliki arti khusus. Tulisan his kembar misalnya, berarti kebahagiaan pernikahan, ta chi untuk keberuntungan besar, dan ta li berarti manfaat besar. Ada juga pola gambar buah persik sebagai harapan usia panjang. Gambar pohon pinus atau cemara merupakan doa untuk hari tua yang bahagia serta ikan karpa sebagai lambang sukses dalam usaha.

Akulturasi

Mengenai kapan pertama kali etnis Tionghoa ke Nusantara belum diketahui secara pasti. Para ahli sejarah belum memiliki kata sepakat. Menurut Henry Basuki (2008), I Tsing adalah seorang etnis Tionghoa yang pertama datang ke Nusantara, khususnya di Batutulis, Jawa Barat, 414 Masehi.

Kedatangan musafir I Tsing ini konon jauh sebelum Prabu Siliwangi meninggalkan prasasti batu tulis. Dalam prasasti itu diketahui, I Tsing sampai dua kali mengunjungi Kerajaan Pajajaran.

Menurut Adib Susila (2008), para dai muslim dari China sudah mulai berdakwah di Jawa mulai abad ke-14. Pada proses dakwah itu, tidak hanya ada proses memberi, tetapi juga menerima sehingga terjadi akulturasi budaya.

Proses itu secara apik terekam pada beberapa masjid kuno di Jakarta, Banten, Semarang, Jepara, Demak, dan sebagainya. Itu juga terekam dalam pintu makam Sunan Giri di Gresik, arsitektur keraton dan taman Sunyaragi Cirebon, dan sebagainya.

Sayangnya, fakta sejarah ini kurang disenangi beberapa pihak. Jadi, yang ditonjolkan adalah peran dai dari Arab dan India.

Etnis Tionghoa yang datang ke Nusantara dan Jawa khususnya ternyata tidak hanya pedagang, tetapi juga sastrawan, seniman, dan musikus.

Itulah alasannya terjadi akulturasi yang menghasilkan berbagai karya seni bermutu, seperti seni sastra, wayang, dan musik. Karya sastra Cina-Jawa yang ditulis sejak 1880 hingga 1900-an itu tersebar di berbagai perpustakaan di Depok, Jakarta, Solo, Yogyakarta, Leiden, dan Berlin.

Akulturasi dalam bentuk alat musik, misalnya, ada rebab dan beduk yang telah demikian kental dengan budaya setiap etnis di Nusantara. Di Betawi, gambang kromong merupakan musik dengan peralatan yang memadukan budaya Betawi berupa gambang dan kromong (di Jawa disebut bonang) serta rebab dari Tiongkok.
Rebab itu pun tidak dapat ditinggalkan dalam melantunkan lagu dalam kesenian Jawa berupa gamelan. Beduk ada di setiap masjid di Indonesia, berasal dari negeri Tiongkok di utara Nusantara. Dalam bahasa “sangat kuno”, Tiongkok disebut negeri “atas angin” karena berada di utara angin muson.

Karena dianggap sebagai ancaman, Presiden Soeharto pada 1967 mengeluarkan berbagai larangan yang menyatakan, segala hal yang berbau China dilarang dikaji, diekspos, disiarkan, atau dimanfaatkan. Akibatnya, di era Orde Baru, apresiasi budaya China dalam kehidupan sehari-hari seakan-akan mati.

Ketika orde Reformasi dipimpin Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur), dikeluarkanlah Kepres No 6/2000. Itu sebagai pencabutan Inpres No 14/1967 tentang Pembatasan Implementasi Agama/Kepercayaan, Budaya, Adat Istiadat Tionghoa.
Dengan kepres itu, kelenteng sudah diperbolehkan, liong samsi (barongsai) sudah bebas menampilkan diri, media cetak dan elektronik sudah boleh tampil dengan bahasa dan aksara kanji, demikian juga budaya Tionghoa, baik berupa acara adat, ritual, dan wayang potehi bisa tampil tanpa larangan.

Meskipun mulanya Imlek hanya perayaan kaum petani biasa setiap menyambut musim semi, spiritnya harus ditumbuhkembangkan. Spirit itu adalah kasih dan persaudaraan sebagai faktor pemersatu kehidupan. Imlek memperlihatkan pengalaman perjumpaan para petani dengan realitas kehidupan yang ada di sekitarnya. Bagi petani, realitas di dunia ini disatukan, disemangati, ditumbuhkan oleh kasih.

Nilai-nilai ini hendaknya ditumbuhkembangkan dalam kehidupan sehari-hari, tidak saja antaretnis Tionghoa, tetapi juga sesama umat manusia. Selamat Imlek!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar