Jumat, 31 Januari 2014

Imlek dan Keberagaman

Imlek dan Keberagaman

Ismatillah A Nu’ad  ;   Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan,
Universitas Paramadina, Jakarta
MEDIA INDONESIA,  30 Januari 2014

                                                                                                                       
                                                                                         
                                                      
“Sebaik-baiknya masyarakat berbudaya dan beragama adalah menghargai dan menghormati bahasa praktik beragama yang berbeda-beda dan bersifat sakral itu.”

TAHUN Baru Imlek atau Cap Go Meh ke2565 akan dirayakan etnik Tionghoa di seluruh Indonesia pada 31 Januari 2014. Di Jakarta, misalnya, tahun lalu pusat perayaan dialokasikan di sepanjang kawasan perdagangan (Jalan Jayakarta, Stasiun Kota, Hayam Wuruk, kawasan bisnis Mangga Dua dan Glodok). Saat itu terlihat heterogenitas budaya masyarakat berbaur, tak hanya budaya Tionghoa, bahkan juga lenong Betawi bercampur dengan kultur lokal ikut pula meramaikan karnaval.

Di tengah heterogenitas, masyarakat yang menikmatinya pun bercampur dan bergembira seraya tidak memedulikan partikularitas budaya yang semasa Orde Baru berkuasa mengancam kelestarian budaya multikultural Indonesia. Tarian barongsai dengan kecrek yang mengiringinya, lenong dan ondel-ondel Betawi yang berlenggak-lenggok, hingga nyanyian marawis meleburkan suasana tahun baru Gong Xi Fa Cai. Etnik Tionghoa, Betawi, Jawa, Sunda, Batak, dan sebagainya lebur dalam suasana cinta kasih dan damai.

Tahun Baru China (Imlek) di Indonesia baru dirayakan semenjak pemerintahan Abdurrahman Wahid membuka kebijakan baru bagi kebebasan beragama dan etnik. Asumsinya, tentu saja akibat perubahan budaya sejak rezim Orba mengekang kebebasan berkebudayaan. Dalam konteks itu, meski di Indonesia masih terbilang baru bagi umumnya masyarakat, perayaan Imlek patut dilestarikan sebagai kekayaan khazanah kebudayaan Indonesia. Tak hanya tradisi multikulturalisme yang harus dipelihara dalam rangka mengukuhkan akuntabilitas bangsa ini di panggung global seperti semboyan unity in diversity, tapi juga akan terasa lebih baik ketika harapan untuk mendirikan kampung global yang bernama Jakarta atau Indonesia, dengan beragam etnik budaya, selanjutnya dikreasi secara kultural atau tidak bersifat simbolis.

Meski secara umum dua etnik besar yang bermukim di Jakarta atau Indonesia seperti Tionghoa dan Arab telah memiliki geneologi sejarah yang kuat, yang telah tereunifi kasi dengan kultur lokal masyarakat kita, hal itu tidak menutup kemungkinan dilakukan pada kultur budaya yang lain seperti budaya India atau Eropa. Implikasi terpenting dengan adanya tradisi reunifikasi budaya juga dapat meningkatkan kedewasaan masyarakat, bahwa Tuhan Yang Mahakuasa telah menciptakan beragam heterogenitas budaya dan etnik yang harus dikenal.

Kedewasaan masyarakat dalam menangkap fenomena itu sangat penting karena dapat memberi kontribusi ‘pelajaran budaya’, atau bahkan berimplikasi pada dimensi kedewasaan dalam beragama. Bagaimanapun, menurut Clifford Geertz (1987), agama merupakan salah satu hasil dari kreasi budaya. Dengan adanya pluralisme agama-agama baik yang datang dari semenanjung Tionghoa seperti Konfusianisme dan Buddha, dari Arab seperti Islam, dan India seperti Hindu, akan memberi kesadaran lebih tentang keberagamaan yang plural, meski terkadang puritanisme memegang warisan klasik agama tertentu dalam fenomena masyarakat sering terjadi. 

Seperti masyarakat muslim Jawa atau Betawi yang masih cenderung `diskriminatif ' 
pada agamaagama tertentu. Karena itulah, pentingnya memperkuat budaya dan pluralisme agama perlu mendapat perhatian bersama, baik didukung oleh negara maupun kesadaran kultural masyarakat sendiri.

Upaya-upaya itu tak semudah membalikkan telapak tangan, tetapi memang harus berjalan secara linier.

Bahkan kita bisa belajar dari bangsa Amerika, yang terkenal dengan masyarakatnya yang heterogen dan plural, karena secara geneologisgeografis negeri itu hasil dari tanah temuan Columbus pada sekitar abad ke-14. Misalnya, pada dekade 40-an mantan Presiden Kennedy merasa perlu mendirikan lembaga kementerian negara yang secara khusus mengurusi masalah heterogenitas budaya dan pluralisme agama. Poin penting didirikannya lembaga itu bertujuan mendamaikan budaya dan agama yang sangat aneh dan berbeda-beda, yang datang dari bangsa-bangsa dunia yang ingin mengadu nasib di dunia baru (new world).

Lembaga itu dalam perkembangannya kemudian menghasilkan berbagai corak pemikiran untuk pembangunan negara kesatuan AS ke depan. Soal pluralisme agama, misalnya, terbukti dengan adanya lembaga itu akhirnya bisa menyatukan agama-agama di sana. Ideologi pluralisme diusung oleh negara, yang selain demi kepentingan kelangsungan perdamaian, juga untuk mengkreasi kesejahtera an bersama dengan tidak ada diskriminasi dan rasialitas. Akan tetapi, sejarah panjang heterogenitas dan pluralisme AS tak seperti yang semudah kita pikirkan. Gejolak sosial dan budaya tetap menjadi pelajaran penting sehingga menjadikan AS sebagai bangsa besar seperti terlihat kini.

Kasus-kasus kesenjangan telah banyak mewarnai masyarakat Indonesia dengan etniketnik lain, terutama Tionghoa. Sebagaimana tragedi yang terjadi pada Mei 1998, yang hanya karena sedikit urusan yang sesungguhnya tidak perlu terjadi. Meski tragedi Mei bersifat politis yang dimainkan ‘kekuasaan’, sesungguhnya hal itu juga ada sentimentalitas dan obsesi negatif dari masyarakat kita yang melihat sisi negatif dari etnik lain.

Ketika bangsa ini hendak memadukan langkah memajukan budaya, faktor memperlakukan bahasa juga sangat penting, terutama ‘bahasa agama’. Seperti praktik-praktik peribadatan di tengah komunalisme agama masyarakat kita yang berbeda-beda. Dalam kasus di kawasan Kota (Glodok) ketika komunitas Konfusianisme dan Islam lebih banyak terlihat, maka `bahasa agama' yang sakral, yang terkadang memang aneh ketika praktik bahasa peribadatan itu dilaksanakan, akhirnya kembali lagi menjadi semacam kesenjangan sosial, meski hal itu tak teraktualisasi secara nyata.

`Bahasa agama' memang bersifat sakral sehingga praktik-praktik simbolis yang `membingungkan' dan irasionalitas itu, jika tidak dikelola ke dalam sebuah konstruksi penghargaan pluralisme, bisa menimbulkan konflik. Karena, sebagian masyarakat beragama akan menganggap sesat kepada masyarakat beragama lain. Hal itu disebabkan kedewasaan beragama yang belum mapan.

Di sini letak kedewasaan beragama dituntut untuk membangun konstruksi baru budaya di masyarakat. Bahwa bahasa praktik agama yang berbeda-beda itu merupakan sakralitas agama yang memang bersifat demikian, irasional dan untouchable, karena langsung berhubungan dengan Tuhan yang diyakininya masing-masing. Sebaik-baiknya masyarakat berbudaya dan beragama adalah menghargai dan menghormati bahasa praktik beragama yang berbeda-beda dan bersifat sakral itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar