Kamis, 30 Januari 2014

Ahok

Ahok

Fransisca R Susanti  ;   Wartawan Sinar Harapan
SINAR HARAPAN,  29 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Revolusi belum selesai. Ini kata Bung Karno. Tapi pekan lalu Basuki Tjahaja Purnama, wakil gubernur Jakarta yang lebih akrab dipanggil Ahok, yang di Indonesia digolongkan sebagai minoritas karena bermata sipit dan beragama Kristen, menyitir ucapan ini. Ia mengucapkannya saat dimintai komentar oleh sebuah stasiun TV nasional tentang Megawati Soekarnoputri, ketua partai banteng moncong putih yang juga anak biologis Sukarno.

Keputusan partai yang dipimpin Megawati untuk menyetujui dirinya yang “minoritas kuadrat” duduk bersanding dengan lelaki Jawa yang populer dari Solo tapi minim modal, guna memperebutkan kepemimpinan Jakarta, membuktikan bahwa Mega serius berupaya menuntaskan revolusi Indonesia. 

Mungkin benar bahwa revolusi kemerdekaan selesai ketika Sukarno membacakan proklamasi di Pegangsaan Timur 56, itupun setelah ia diculik paksa oleh para pemuda Menteng 31 dan dibawa ke Rengasdengklok. Namun itu toh hanya pintu gerbang. Di belakangnya, Indonesia yang murung, terisolir, feodal, sektaris, primordial, pemuja duli sembah, pembebek relasi tuan-budak.  Di depannya, Indonesia yang gilang gemilang, adil, makmur, berdaulat, sejajar, sama rata, sama rasa. 

Revolusi belum selesai, kata Sukarno. Lalu kelompok kiri dan kanan berseteru. Perang dingin membagi barat dan timur. Sukarno tergilas. Soeharto muncul sebagai pemenang. Modal datang dan menggoyang daulat.  Jalan aspal memanjang dan meliuk hingga ke pulau-pulau terpencil yang sebenarnya hanya butuh dermaga. Dinding beton tumbuh mencakar langit dimana di dalamnya ekonomi digelembungkan dan dikempeskan lewat spekulasi pasar saham. Tapi ironisnya jejak primordialisme - keterkungkungan komunitas karena sama kulit, sama ras, sama etnis, sama suku, sama agama, sama kelamin- yang kita kira sudah endap di belakang gerbang merdeka, muncul ke permukaan dan membuat gaduh modernitas. 

Revolusi belum selesai, kata Ahok. Untuk itulah ia ditaruh di Jakarta untuk menguji nyali manusia Indonesia yang mengaku paling modern, kelas menengah baru yang dengan pongah menyebut revolusi sudah tak ada lagi. 

Di tahun 1740, kota yang dipimpin Ahok saat ini pernah bersimbah darah. Oktober 1740, huru-hara terjadi di dalam tembok Kota Batavia. Para serdadu VOC melakukan perampokan dan pembersihan warga China. Pemukiman Cina dibakar, dan semua warga China dalam tembok kota, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak yang lari berhamburan ke jalanan kota itu dibunuh dengan keji. Ratusan orang China ditahan di Stadhuis –kini Museum Jakarta- lalu setelahnya mereka disembelih di halaman belakang gedung tersebut. Diperkirakan 10.000 warga China mati. Sejak itu, Batavia butuh waktu lama untuk bangkit lagi. 

Seorang Banjar, dicatat oleh J. Rusconi, menulis syair untuk masa gelap itu. “Perang Jakarta sudah berhenti, perang menang rugi Kompeni, negri pun sunyi, China lari…”

Tapi pembantaian itu ternyata baru awal. September 1825, Perang Jawa meletus di bawah pimpinan pangeran bersorban: Diponegoro.  Perang ini tak semata melawan kompeni Belanda, tapi juga China. Bulan itu,  pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Raden Ayu Yudakusuma menuju Ngawi, sebuah kota kecil di Jawa Timur. Sebuah kelompok China, sekitar 100 orang, menjadi target. Semuanya tewas dibunuh. Di mata Jawa, China adalah kafir.

Namun di luar pengkafiran, pasukan Diponegoro bergerak lebih jauh pada sikap antirasis. Hanya gara-gara seorang perempuan. Catatan Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya,  menyebut, pada Oktober 1826, pasukan Diponegoro kalah di Gowok. Seorang perempuan pemijat China dituding sebagai biang musabab kekalahan. Hanya karena malam sebelumnya sang pangeran bercinta dengan perempuan itu, kekalahan itu dianggap sebagai karma. Maka muncullah nubuat itu: pengikut Diponegoro dilarang kawin dengan perempuan China maupun mengambil perempuan peranakan sebagai selir. 

Saat ipar Diponegoro, Sasradilaga, yang juga sering serong dengan perempuan-perempuan China di Lasem, mengalami kerugian besar dalam perang di pantai Utara, maka nubuat itu makin mendapatkan pembenaran. Kebencian pada ras China meruncing dan makin tajam saat persaingan dagang antara orang China dan kaum borjuis Muslim  berkecambah. 

Saat abad berganti, pun saat merah putih sudah berkibar, dan neoliberalisme menggulung Nusantara  bagai air bah, prasangka itu tak turut pergi. Prasangka ada ketika Sukarno mengeluarkan PP No 10 tahun 1959, saat Soeharto mengibarkan panji anti-komunis di tahun 1965 karena terhisap gelombang perang dingin, juga saat reformasi menciptakan amuk di tahun 1998. 

Kini, saat Joshua Oppenheimer mendedahkan  kebengisan orang Indonesia di tahun 1965 di layar lebar lewat filmnya The Act of Killing yang masuk nominasi Oscar untuk film dokumenter terbaik 2014  dan membuat warga China di negeri asalnya ternganga karena ternyata ada serangan kebencian terhadap orang China di Indonesia selain tahun 1998, maka sepertinya kita tak perlu buru-buru panik dan mengutuk Oppenheimer. Seperti halnya kita tak perlu sinis terhadap pribumi. Mungkin kita perlu instropeksi seperti Ahok. Revolusi memang belum selesai. Persoalannya, apakah kita berani menuntaskannya? Bukan sebagai pribumi, tapi juga bukan sebagai China. Namun sebagai Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar