Rabu, 29 Januari 2014

Hoegeng : Antikorupsi Sampai Mati

Hoegeng : Antikorupsi Sampai Mati

Parni Hadi  ;   Wartawan dan Aktivis Sosial
SINAR HARAPAN,  28 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
“A pleasant coincidence.” Sebuah kebetulan yang menyenangkan. Jenazah almarhum Mayjen TNI Ir Agus Sujono, mantan Waka BPIS (Badan Pengelola Industri Strategis) terlambat datang dari waktu yang semula diberitahukan, 22 Januari lalu.
Alhamdulillah, saya punya waktu untuk mencari makam Pak Hoegeng, mantan Kapolri yang terkenal lurus, sederhana, dan antikorupsi nomor wahid sampai mati. Seorang lelaki perawat kuburan menunjukkan sambil menudingkan tangannya, “Itu, Pak. Di sebelah situ.”

Betul, tanpa kesulitan saya temukan makam itu. Bukan karena kemewahan bentuk makamnya, melainkan berkat bintang empat dengan logo polisi yang menempel di batu nisannya. Sebuah karangan bunga yang mulai layu berdiri di samping pusara bagian kepala bertuliskan, “Untukmu Pahlawan” dari sebuah yayasan kepolisian.
Saya duduk di bangku sebelah kanan makam, berdoa untuk Pak Hoegeng, salah satu idola saya. Tak terasa air mata mulai meleleh karena terharu mengenang kemuliaan perilakunya. Segera saya hapus karena ingat nasehat seorang kiai, tidak boleh menangis di kuburan.

“Setiap pengunjung bilang, tidak ada lagi orang sebaik beliau, Pak,” kata seorang perempuan setengah baya yang bertugas merawat makam itu, sambil terus bekerja dengan kain pelnya.

Ya, bahkan pilihan untuk dikuburkan di TPU (tempat pemakaman umum) Giri Tama, Desa Tonjong, dekat Parung, Bogor itu menunjukkan keteguhan sikap hidupnya yang antikorupsi sampai akhir hayatnya. Bukan di TMP (Taman Makam Pahlawan), kenapa? Sebagai mantan pejuang, Pak Hoegeng tentu punya hak jasadnya dimakamkan di TMP.

Dalam sebuah rapat Petisi 50 (kelompok 50 tokoh yang dianggap dissident atau pembangkang oleh Pak Harto), Hoegeng pernah mengatakan, kalau mati nanti tidak mau dimakamkan di TMP. Ia mengungkapkan alasannya, “Tidak mau sekuburan dengan koruptor.”

Itu jelas tertera dalam buku Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa karya Aris Santoso, Ery Sutrisno, Hasudungan Sirait, dan Imran Hasibuan (Penerbit Bentang, 2009).

Seorang anggota Petisi 50 lainnya, M Jasin, mantan Pangdam Brawijaya yang juga dianggap dissident, saat itu juga mengatakan tidak mau dikuburkan di TMP. Pak Jasin menyatakan, ingin satu lubang kuburan saja nanti dengan almarhumah istrinya, di TPU Tanah Kusir, Jakarta.

Hoegeng dan Jasin mengungkapkan keputusan mereka ketika membicarakan peristiwa pahit yang dialami keluarga-keluarga mantan Pangdam Siliwangi, yang juga mantan Sekjen ASEAN, Letjen HR Dharsono.

Ketika wafat pada 1996, jenazah Pak Ton, panggilan Letjen Hartono Rekso Dharsono, ditolak untuk dimakamkan di TMP Cikutra, Bandung. Padahal, ia seorang letnan jenderal yang bintang jasanya tak pernah dicabut pemerintah.

Pak Ton adalah mantan komandan Batalyon Brigade Siliwangi yang menumpas pemberontakan PKI di Madiun pada 1948. Ketika menjabat sebagai Kasdam Siliwangi pada 1965, ia adalah andalan Pak Harto untuk mengamankan Jawa Barat pasca-G30S PKI 1965.

Peristiwa pahit itu membuat Ali Sadikin, mantan Gubernur DKI yang juga anggota Petisi 50, berang. Ketika berbicara sebagai wakil keluarga, Bang Ali mengatakan Pak Ton ikut mendirikan Orde Baru tetapi dibunuh oleh Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto. Anggota Petisi 50 waktu itu juga dimatikan “hak kehidupan sosial”-nya, di samping hak kehidupan ekonominya.

Ah, politik sering kali memang kejam, perseteruan dibawa sampai ke liang kubur. Astagfirullah!

Lucu Tapi Tegas

Hoegeng lahir pada 14 Oktober 1921 dari keluarga priayi. Ayahnya, Sukario Hatmodjo, pernah menjabat kepala kejaksaan Pekalongan, memberi nama Iman Santoso. Nama itu mengandung doa agar pemiliknya beriman kuat sentosa.
Karena waktu kecil badannya gemuk, ia dipanggil bugel (gemuk). Kemudian menjadi bugeng, lalu hugeng. Ini dialami juga oleh teman saya, Sugeng Sri Widodo. Karena sulit mengucapkan Sugeng waktu kecil, ia menyebut namanya Suheng.

Pada 1952, Hoegeng bersama alumni PTIK dipanggil ke Istana Negara. Bung Karno bertanya mengapa namanya Hoegeng, bukan Sugeng? Lalu ia disarankan mengganti namanya dengan Soekarno saja.

Apa jawab Hoegeng? “Nggak bisa Pak, karena nama itu pemberian orang tua saya. Kebetulan nama pembantu di rumah saya juga Soekarno.”

Meledaklah tawa Bung Karno sambil berucap, “Kurang ajar kamu.”

Ya, itulah Hoegeng, suka melucu, tapi bersikap tegas, berani kepada atasan atas dasar kebenaran.

Ketika masih mengisi acara obrolan di Radio Elshinta awal 1970-an, Pak Hoegeng sering melontarkan humor-humor kocak, di samping kritik-kritik tajam. Contohnya, ia menyebut pernah menjabat sebagai “menteri sayuran”, plesetan dari Menteri Iuran Negara atau MIUN.

Pak Hoegeng dan istrinya, Merry, suka menyanyi dan melukis. Untuk menyalurkan hobi menyanyinya, Pak Hoegeng mendirikan klub The Hawaian Seniors yang sering muncul di TVRI. Namun, karena dianggap pembangkang, acara itu dilarang pemerintah.

Karya lukisan atas pesanan seorang pengusaha yang diberi inisial Hoegeng juga urung dibeli karena pengusaha itu takut disangkutpautkan dengan Petisi 50. Hoegeng menolak menghapus inisialnya atas permintaan sang pemesan dan transaksi batal pun, tak mengapa.

Bagi polisi, Pak Hoegeng adalah polisi legendaris dan panutan keteladanan untuk kejujuran dan ketegasan sikap. Sewaktu menjabat Kapolda Sumut di Medan, ia membuang bingkisan-bingkisan yang dikirim kepadanya lewat jendela.

“It is nice to be important, but it is important to be nice,” begitu salah satu moto hidupnya. Artinya, adalah baik menjadi (orang) penting, tapi adalah penting menjadi (orang) baik.

Hoegeng wafat pada 14 Juli 2004. Tidak ada manusia sempurna. Tapi, di samping pusaranya saya tertegun kagum mengingat keteguhan imannya (Iman Santoso) sampai akhir hayatnya. Salaamun, qaulan mir rabbir rahim (terimalah salam, ucapan selamat dari Tuhan yang Maha Penyayang).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar