Kamis, 30 Januari 2014

Suriah dan Nasibnya di Jenewa II

                 Suriah dan Nasibnya di Jenewa II               

Dinna Wisnu  ;   Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, 
Universitas Paramadina
KORAN SINDO,  29 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Memang sulit melihat sisi positif dari ke-kacauan di Suriah saat ini. Satu hal yang patut disyukuri adalah sampai saat ini tidak terjadi invasi militer sepihak ke Suriah oleh Baratyangsebenarnya sudahsangat gemas ingin “menyelesaikan” kekacauan di sana. 

Meskipun senjata bertebaran di Suriah dan tidak dapat dimungkiri ada kelompok kelompok yang mendapatkan bantuan asing untuk bertahan sebagai oposisi, hal lain yang patut dipuji adalah semua pihak yang bersengketa di Suriah bersepakat untuk menahan penggunaan kekerasan militer demi memasuki Suriah baru. Semoga memang tidak akan terjadi karena intervensi militer apa pun pasti akan membawa dampak yang negatifkarenatidaktertutupadanya collateral damage atau dampak tidak diinginkan bagi komunitas sipil. 

Hanya saja, kekacauan politik dalam negeri di Suriah telah menimbulkan perang saudara yang memakan korban begitu banyak dan sampai saat ini tidak jelas seperti apa wujud “Suriah Baru”. Sejak Maret 2011 tercatat tak kurang dari 130.000 orang tewas dan jutaan warga kehilangan tempat tinggal. Yang jelas dari semua ini hanyalah dua hal poinnya: rezim Bashar al-Assad tidak mau turun dan ada ratusan kelompok oposisi yang bahkan saling tidak ingin bicara. 

Pihak Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) melalui inisiatif Utusan Perdamaian untuk Suriah Kofi Annan memutuskan untuk “bergerak” mencari solusi dengan cara membangun kesepakatan bertahap dengan pihak- pihak yang bertikai, mendudukkan mereka bersama demi membangun pemerintahan transisi berbasis konstitusi yang disepakati seluruh pihak di Suriah. Pertemuan pertama yang dikenal sebagai Konferensi Jenewa I itu terlaksana pada 30 Juni 2012 di Jenewa. 

Meskipun pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan yang disebut communique, detail dari kesepakatan tersebut masih laksana api dalam sekam. Maksudnya: oke, akan ada pemerintahan transisi, tetapi karena pihak oposisi di Suriah plus pihak Barat dan negara-negara Timur Tengah (seperti Turki dan Arab Saudi) mendesak agar pemerintahan transisi tersebut tidak mengikutsertakan kelompok Bashar al-Assad, perjalanan ke Konferensi Jenewa II menjadi terseok-seok. 

Tentu saja para diplomat yang terlibat dalam Konferensi Jenewa II akan berjuang keras agarkonferensitersebutberhasil, minimal agar terjadi gencatan senjata di tingkat lokal sehingga bantuan kemanusiaan dapat lebih mudah menjangkau jutaan masyarakat Suriah yang membutuhkannya. Namun selama para politikus yang terlibat di sana merasa tidak akan mendapatkan “keuntungan” kelompok, kebuntuan adalah keniscayaan. 

Betul, yang sangat ironis dari kondisi di Suriah ini adalah pihak-pihak yang terlibat dalam Konferensi Jenewa II tidak datang karena ingin menciptakan Suriah yang berdaulat, tetapi karena mereka ingin berkuasa di Suriah meskipun basis dukungan mereka kecil dan tidak ada bukti mereka mampu mempersatukan Suriah yang sudah porak-poranda dan saling benci dari segi politik dan kesukuan. 

Dengan dalamnya konflik dan pihak-pihak asing yang terlibat, kita perlu mempertanyakan apakah konflik di Suriah masuk dalam kategori konflik pembebasan dari negara kolonial? Konflik aliran Sunni dan Syiah? Gerakan bersenjata untuk membentuk masyarakat demokratik di Suriah? Pertaruhan politik kekuasaan dua negara pascaperang dingin antara Amerika dan Rusia?Atau sekadar pasar menyerap produksi senjata negara-negara maju? Di sini kita bisa membandingkan kondisi di Suriah dengan perjuangan kemerdekaan pada umumnya dan negara-negara Timur Tengah pascainvasi seperti Irak, Libya atau Afghanistan. 

Dalam sejarah transisi politik, baik perjuangan pembebasan, kudeta militer, terorisme ataupun kolonialisasi, tidak ada hal yang tidak ideologis. Setiap konflik selalu mewakili ideologi tertentu. Pada tahun 1945-1950-an, hampir seluruh negara ketiga yang mendapatkan kemerdekaannya telah mengalami konflik dengan negara-negara Eropa dan Amerika. Negara-negara yang merdeka itu memiliki identitas nasionalisme yang sangat kuat. Di dalam periode waktu 1960-an–1980-an, konflik yang terjadi terutama terkait dengan perseteruan antara perang dingin ideologi kiri dan kanan. 

Keterlibatan Amerika dan Uni Soviet dalam setiap konflik negara mana pun tidak bisa dilepaskan dalam konteks tersebut. Menjelang abad ke-21 ini, konflik yang terjadi lebih diwarnai konflik sektarian yang melibatkan paham-paham aliran agama yang berbeda. Gambaran di atas mungkin sebuah penyederhanaan terhadap situasi yang lebih kompleks, tetapi yang ingin saya tekankan adalah apa pun jenis konflik yang terjadi dan siapa pun pihak-pihak yang terlibat akan selalu diawali sebuah pembentukan kesadaran ideologis tertentu yang berlangsung tidak dalam semalam. 

Pembentukan kesadaran untuk menentang sesuatu atau meyakini sesuatu tidak terjadi tiba-tiba. Kesadaran tersebut mensyaratkan adanya sebuah organisasi yang solid, pemimpin yang karismatik, massa yang terdidik dengan ideologi tersebut, dan teori-teori perjuangan yang mereka yakini harus dijalankan untuk mewujudkan apa yang mereka impikan. Tanpa syarat minimal tersebut, mustahil sebuah pergerakan akan memiliki stamina yang cukup untuk melakukan perlawanan yang memerlukan waktu panjang. Tampaknya hal itu yang terjadi di Suriah saat ini. 

Ironisnya kelompok prodemokrasi di Suriah yang lahir dari Arab Springs bukanlah sebuah kelompok ideologis yang memiliki syarat minimal tersebut. Kekosongan itu yang justru kemudian diisi kelompok-kelompok yang memiliki syarat-syarat minimal tersebut seperti Front Al-Nusra dan ISIL yang berafiliasi ke Al- Qaeda, kelompok Hisbullah yang memiliki afiliasi ke Iran, dan tentu tidak lupa Amerika, Rusia, China, Inggris, dan negara- negara dengan ekonomi terkuat yang juga tidak ingin kehilangan pengaruh di kawasan Timur Tengah. Dari pandangan tersebut, saya melihat bahwa nasib Suriah bukan satu-satunya yang dipertaruhkan dalam Konferensi Jenewa II. 

Perang saudara di Suriah adalah proxy war alias perang tidak langsung antara aktor-aktor non-state dan state dalam mengamankan kepentingannya. Namun, bila kita melihat menguatnya kekuatan Al-Qaeda di Timur Tengah yang memengaruhi Irak, Afghanistan, Libya, dan negara-negara lain yang sedang bergejolak, tugas besar kekuatan Barat adalah untuk mampu meyakinkan Bashar al-Assad bahwa bila ia turun dari kursi kekuasaan, akan berkurang pula kekuatan Al-Qaeda di Suriah. Bila tidak, konflik Suriah akan terus terjadi dan memakan lebih banyak korban. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar