Jumat, 31 Januari 2014

Mewaspadai Dosis Tinggi Suku Bunga

             Mewaspadai Dosis Tinggi Suku Bunga

Serian Wijatno  ;   Pengurus Podomoro University, Profesional Keuangan dan Pendidikan, Mantan Ketua Yayasan Tarumanagara, Alumni Magister Manajemen UI, 
Mahasiswa Program Doktoral
KORAN SINDO,  30 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      

Bank Indonesia sedang menerapkan kebijakan rezim suku bunga tinggi. Sinyal itu terlihat jelas ketika BI dengan lebih cepat menaikkan suku bunga hingga 175 basis poin menjadi 7,5%. Bahkan, respons pasar pun sepertinya sangat berlebihan, karena bank-bank merespons dengan cepat dengan menaikkan suku bunga simpanan yang lebih tinggi. 

Bank-bank percaya bahwa BI melakukan tight money policy— kebijakan uang ketat. Kebijakan BI di bawah Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo adalah menggunakan kenaikan suku bunga, hal yang berbeda dibandingkan ketika zaman Darmin Nasution yang menginginkan suku bunga rendah dengan melakukan intervensi. Lihat saja, belakangan ini BI lebih membiarkan rupiah menuju keseimbangan baru dengan menaikkan suku bunga dan tanpa melakukan banyak intervensi. Sementara kebijakan sebelumnya lebih banyak menggunakan masuk ke pasar agar rupiah tidak bergerak liar dan membiarkan suku bunga rendah. 

Pertanyaannya, cukup efektifkah kebijakan suku bunga tinggi ini untuk mengobati defisit neraca pembayaran yang menjadi penyakit kronis ekonomi Indonesia? Para pengamat menyebut kebijakan BI ini seperti salah obat, karena penyakitnya adalah di sisi fiskal, tapi mengobatinya dengan kebijakan moneter tanpa melihat efek terhadap sektor perbankan dan dunia usaha. 

Namun, kebijakan BI dengan menaikkan suku bunga ini tidak salah obat, karena dengan kebijakan suku bunga tinggi ini efeknya adalah dengan melakukan pengereman kredit, sehingga tidak dibuat spekulasi dan sekaligus secara tidak langsung dapat membatasi impor yang selama ini juga menjadi beban berat neraca perdagangan Indonesia. Bank Indonesia berkeyakinan dengan membatasi kredit secara tidak langsung membatasi impor, karena semakin besar pertumbuhan ekonomi ternyata juga membuat posisi impor juga tinggi. 

Jadi, kebijakan ini dilakukan untuk mengerem laju pertumbuhan dan pada akhirnya juga akan memperkecil defisit transaksi perdagangan yang pada akhirnya mengurangi defisit transaksi berjalan. Hanya, yang perlu diwaspadai adalah masih tetap tingginya impor bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Impor BBM sepertinya sulit dibatasi karena sejalan dengan pertumbuhan kelas menengah yang cukup besar, sehingga dibutuhkan barangbarang konsumsi yang juga besar––yang ternyata sebagian besar juga impor. Subsidi BBM inilah juga yang menjadi bom waktu perekonomian Indonesia. 

Rezim suku bunga tinggi ini diyakini oleh para pelaku perbankan bisa berjalan dalam kurun yang relatif lama hingga awal tahun 2015, karena faktor dalam negeri dan global.

Saat ini bank-bank mengambil langkah menaikkan suku bunga tinggi simpanan. Bahkan, sebagian besar bank menetapkan suku bunga deposito di atas suku bunga penjaminan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Langkah berjaga-jaga agar likuiditasnya tetap aman dengan menaikkan suku bunga tentu tidak salah. 

Pasalnya, tujuan berjaga-jaga ini ada dua hal yaitu agar tetap menjaga kebutuhan ekspansi kredit dan sekaligus mengamankan dari persaingan bank-bank yang selama ini terjadi kelangkaan likuiditas dengan menaikkan suku bunga lebih tinggi. Pembatasan pertumbuhan kredit yang hanya 15% sampai 17% oleh bank sentral sebenarnya digunakan untuk mengerem ekspansi kredit, yang pada akhirnya mengerem pertumbuhan ekonomi. 

Era uang ketat atau rezim suku bunga tinggi telah datang. Sebenarnya sinyal pengetatan likuiditas sudah diberikan oleh BI, tidak hanya melalu kenaikan suku bunga tapi juga melalui moral suasion dengan membatasi kredit dan juga dengan kebijakan loan to value (LTV) dan pembatasan KPR inden. Kebijakan itu merupakan pengetatan kredit, karena dengan mengetatkan kredit diharapkan tidak terjadi jorjoran suku bunga. Jika terjadi persaingan suku bunga maka akan terjadi “kecelakaan kredit” yang bisa berakibat pada kesehatan bank. 

Rezim suku bunga tinggi ini tentu akan berdampak besar pada perbankan dan sektor riil. Harapannya, Bank Indonesia tidak terlalu besar dalam memberikan “dosis” yang terlalu tinggi atau “overdosis” suku bunga tanpa memperhatikan kondisi perbankan. Kelebihan dosis ini sangat mungkin karena pengawasan bank sudah tidak ada di Bank Indonesia dan beralih ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sikap keras BI dengan “ngotot” memberikan dosis tinggi suku bunga tentu akan berdampak buruk bagi perbankan dan dunia usaha. 

Pengalaman masa lalu, dosis suku bunga tinggi justru melumatkan bank-bank dan dunia usaha. Risiko terbesar adalah kenaikan non-performing loan (NPL), persaingan perebutan danayangmelampauibatas, maka akan berdampak pada kenaikan cost of fund dan bisa memacu penurunan kolektibilitas kredit. Pengalaman masa lampau, yaitu ketika krisis perbankan tahun 1998 dan respons atas kenaikanBBMditahun2005yang menerapkan suku bunga yang overdosis, menyebabkan bankbank mengalami kesulitan karena dunia usaha mengalami masalah. 

Pada tahun 2005, karena kenaikan harga komoditas maka ekonomi masih tetap tumbuh dan bankbank tidak mengalami. Sementara sekarang ini, situasinya berbeda dengan lesunya pasar global dan penurunan harga komoditas yang berlangsung sejak 2011 lalu hingga sekarang ini.

Kebijakan suku bunga tinggi ini jangan sampai overdosis. Kalau itu sampai overdosis maka akan terjadi keguncangan di perbankan dan sektor riil. Adanya pemilu memang tetap akan mendorong sisi belanja pemerintah dan swasta yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Namun, tentu tidak terlalu besar kontribusinya. 

Kewaspadaan yang perlu dilakukan dalam rezim suku bunga tinggi ini, terutama setelah melihat faktor dalam negeri dan faktor global terutama membaiknya ekonomi AS, maka perbankan Indonesia harus tetap menjaga likuiditas yang memadai. Pasalnya, pelarian dana-dana Negeri Paman Sam akibat membaiknya ekonominya akan berpengaruh pada likuiditas dolar di dalam negeri. Jika hal itu terjadi, dapat dibaca maka BI akan menaikkan suku bunga. 

Untuk itu, bagi perbankan tidak ada cara lain adalah tetap menjaga likuiditasnya dan mengerem nafsu pemberian kredit—yang saat ini posisi loan to deposit rasio (LDR) bank-bank juga sudah relatif tinggi, bahkan sejumlah bank sudah di atas 90%. Hal yang tak kalah pentingnya adalah menjaga kolektibilitas kredit agar tidak bermasalah. Kewaspadaan yang tinggi juga dilakukan terhadap nilai tukar rupiah. Posisi rupiah sepertinya akan didorong oleh BI dengan menuju keseimbangan baru. 

Itu artinya nilai tukar rupiah sepertinya akan dibiarkan tanpa intervensi yang berlebihan dan lebih memilih kebijakan suku bunga tinggi. Langkah menjaga likuiditas, menjaga NPL, dan mewaspadai nilai tukar rupiah menurut pengalaman adalah langkah paling tradisional terbaik selama ini. Bank-bank yang menjaga tiga hal itu dalam kondisi rezim suku bunga tinggi akan lebih berkembang. Sementara sektor riil langkahnya adalah melakukan konsolidasi dan mengurangi pinjaman bank berbunga tinggi. Dan, yang paling penting BI tidak overdosis menaikkan suku bunga.
 ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar