Kamis, 30 Januari 2014

Sekolah di Atas Awan

                                Guru di Daerah Terdepan

Sekolah di Atas Awan

Tri Marhaeni PA  ;   Guru Besar Antropologi,
Kepala Pusat Pengembangan Kurikulum dan Inovasi Pendidikan
Lembaga Pengembangan Pendidikan & Profesi LP3) Universitas Negeri Semarang
SUARA MERDEKA,  28 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
”KALAU ke sekolah kami harus menyusuri sungai selama satu setengah jam, dengan perahu kayuh kecil yang kadang tersangkut akar-akar pohon, dan kami harus berkutat mendorong perahu itu. Sekolah kami tidak ada listrik, jarak sampai kota kabupaten 178 kilometer, terletak di tengah hutan,” tutur Eva. Hal senada juga diungkapkan Luluk, sama-sama mahasiswa Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T) di SDN 20 Perbuak dan SDN 30 Parek, Kabupaten Landak, Kali­mantan Barat.

Dengan mata berbinar dan penuh semangat, 30 guru muda program SM3T menyambut kami, guru-guru mereka, belum lama berselang. Mata saya berkaca-kaca terharu, dan sungguh bangga sampai ketika tu­lisan ini saya buat. Tak terbayangkan kesulitan yang dihadapi oleh para pengabdi muda itu.

Dengan ceria, mereka menceritakan kondisi yang dihadapi. Kata mereka, ”Sekolah kami di atas awan, Bu. Kami tinggal di tengah hutan yang tidak ada listrik, tidak ada sinyal telepon seluler. Kalau ke sekolah, anak-anak harus berjalan dengan kaki telanjang menembus hutan dan gunung, bahkan ada yang menyusuri sungai dan hutan di Desa Setimbo.”

SDN 30 Parek hanya mempunyai lima lokal. Satu lokal untuk ruang guru, satu lokal untuk ”ruang baca”, dan sisanya untuk ruang kelas yang dipakai bergantian. Bisa dibayangkan bagaimana kondisinya. Andai di ruang artikel ini saya bisa memasukkan foto maka sungguh ”miris” melihat kondisi jalan menuju ”sekolah di atas awan” ini.

Di tengah kondisi alam yang demikian, para pengabdi muda mahasiswa program SM3T ini harus menunggu kedatangan siswanya satu per satu, yang datang dengan baju lusuh, basah berpeluh, tanpa sepatu; kadang basah kuyup karena terjebur di sungai. Sekolah baru dimulai pukul 08.00, tidak pernah ada upacara bendera, tidak ada kegiatan ekstrakurikuler.

Ketika monitoring kami laksanakan, mereka sepakat berkumpul di Kabupaten Landak. Waktu itu pukul 21.00. Masih ada tiga guru terjauh yang belum hadir. Teman-temannya cemas,  karena mereka bertugas di desa terjauh, yakni Bentiang. Begitu ketiga guru yang ditunggu muncul, serentak teman-temannya bertepuk tangan dan mengucap syukur. Tiga guru muda pengabdi di Bentiang dengan wajah lusuh tersenyum menyalami rekan-rekannya.          

Itu gambaran di Kabupaten Landak. Maka tak bisa dibayangkan, bagaimana ”potret” lokasi di pulau terluar Aceh, berperahu yang diamuk ombak Samudra Hindia selama delapan jam. Di Yakuhimo, di Paniai, harus menempuh perjalanan darat 16 jam dari Nabire dengan kondisi jalan yang lebih mirip kubangan lumpur. Belum lagi di Ruteng, Manggarai, Labuhan Bajo, Ende. Semua penuh tantangan, dengan lokasi yang ”memprihatinkan”. SM3T pun dipelesetkan menjadi SM5T, yakni Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal, Terdampar, dan Tak Terdengar.

Paradoks Besar

Bukankah ini sebuah paradoks besar? Di tengah kegaduhan tahun politik, di tengah kekisruhan penegakan hukum, di tengah kemerebakan korupsi dan ”pembodohan rakyat”, betapa mahasiswa SM3T itu unjuk dedikasi sebagai ”pejuang dalam sunyi”. Mereka rela mendidik anak-anak bangsa di pulau terluar, di wilayah perbatasan dengan negara tetangga, dan di daerah tertinggal. 

Bahkan dari Bentiang, Landak, untuk menuju ke kota kabupaten harus naik ojek motor trail dengan upah sekali jalan Rp 325.000, sehingga pulang-pergi harus mengeluarkan Rp 650.000. Kalau uang saku mereka sebagai guru di sana hanya Rp 2,5 juta per bulan, berapa yang tersisa berapa untuk hidup? Jangankan berpikir menabung, berangkat dan pulang mengajar selamat saja sudah bersyukur.

Teriris rasanya hati ini: tatkala di kota disuguhi panggung korupsi uang miliaran rupiah. Nggregel, ketika kami sebagai tim monitoring dan evaluasi, ketika itu hanya bisa menjamu makan malam mahasiswa SM3T. Dengan motivasi yang saya sampaikan, mereka merasa mendapat energi baru. Mereka tidak tertarik membicarakan korupsi, kesengkarutan hukum, dan kekisruhan politik. Para pengabdi itu lebih bersemangat menuturkan keluguan anak didiknya yang tak bersepatu, keceriaan dan perjuangan menyusuri sungai, menembus hutan untuk datang ke sekolah.

Kita renungkan, andai tidak ada program SM3T, siapakah yang akan ”menyentuh”, memintarkan anak-anak bangsa yang nun jauh di sana bagai tak terjangkau? Sesak rasanya mengingat para pejabat publik, petinggi negara, dan elite politik yang hanya memikirkan kepentingan sendiri, kelompok, memperalat rakyat untuk mencapai tujuannya. Di sana, anak-anak muda pengabdi itu seolah-olah menyampaikan pesan tentang kejernihan dedikasi, jauh dari kegaduhan politik. Ya, ”bakti sunyi untuk negeri”...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar