Rabu, 29 Januari 2014

Takut Diduga Korupsi

Catatan Dari Negeri Sakura (1)

Takut Diduga Korupsi

Moh Mahfud MD ;   Guru Besar Hukum Konstitusi
KORAN SINDO,  28 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Ketika akan berangkat dari Jakarta, Sabtu tanggal 26 Januari pekan lalu, saya sudah menyiapkan pakaian khusus untuk menghadapi serangan dingin. Menurut pemberitahuan resmi, di Jepang sedang musim dingin dan tingkat kedinginannya bisa mencapai 2 derajat Celcius. 

Tetapi, ketika pesawat Garuda GA 884 yang saya tumpangi mendarat di Narita, ternyata udaranya segar. Anzai, petugas yang oleh Kemenlu Jepang ditugasi untuk menjemput, mengatakan bahwa kami beruntung karena disambut udara segar di negeri Sakura itu. ”Tetapi, nanti sore akan sangat dingin,” katanya. Pekan ini saya memang berkunjung ke Jepang atas undangan Kemenlu Jepang. Kemenlu Jepang melalui sahabat saya duta besar Jepang untuk Indonesia, Yoshinori Katori, mengundang berkunjung ke negaranya. 

Saya dijadwalkan bertemu beberapa pejabat dan lembaga-lembaga penting di Jepang. Tentu termasuk juga rekreasi ke tempat-tempat yang menarik. Perjalanan dari Bandara Narita ke Tokyo terasa nyaman dan lancar. Jalanan tak begitu ramai, mungkin karena Minggu. Setelah berbicara berbagai hal yang ringan-ringan, saat mobil kami memasuki Kota Tokyo, Anzai mengatakan bahwa di Tokyo dalam dua minggu ke depan akan diadakan pemilihan gubernur. ”Mengapa? Apa sudah habis masa jabatannya?” tanya saya. 

Anzai menjawab bahwa jabatan gubernur Tokyo sedang kosong karena gubernurnya yang definitif mengundurkan diri. ”Mengapa mengundurkan diri? Apakah sakit?” tanya saya lagi. ”Oh, tidak. Bukan,” jawab Anzai. Anzai bercerita bahwa gubernur Tokyo yang bernama Inosi itu mengundurkan diri karena diduga akan korupsi. Secara hukum belum ada dugaan korupsi kepadanya. Dugaan itu muncul di tengah-tengah masyarakat. Sang gubernur meminjam uang ke sebuah rumah sakit besar tanpa jaminan. 

Masyarakat menduga uang itu akan digunakan untuk kampanye politik dan dengan imbalan tertentu. Imbalannya, menurut dugaan masyarakat, nanti rumah sakit itu akan dapat membeli tanah untuk rumah sakit dengan harga murah. Mendapat sorotan yang seperti itu sang gubernur merasa malu dan takut diduga korupsi sehingga buru-buru mengundurkan diri. Bukan main, dia mengundurkan bukan karena bukti atau indikasi hukum, melainkan karena etika dan budaya malu. 

Dia mengundurkan diri bukan karena ada indikasi korupsi, melainkan hanya karena takut diduga korupsi. Padahal yang dilakukan sang gubernur semua legal, meminjam uang tanpa melanggar hukum. Tapi, dia sadar masyarakat menganggapnya tidak wajar dan ada motif tidak baik. Di Jepang budaya malu untuk melakukan ihwal yang tak baik bagi negara dan masyarakat tumbuh subur dan kuat. 

Di negara kita orang yang sudah jelas indikasi korupsinya saja masih berkelit, menantang, untuk dibuktikan dulu di pengadilan. Yang sudah ditahan oleh aparat penegak hukum dan pasti akan jadi terdakwa pun banyak yang tak mau mundur. Padahal di dalam Tap MPR No VI/ MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara digariskan bahwa pejabat yang mendapat sorotan publik negatif karena langkahnya harus mengundurkan diri tanpa harus menunggu putusan pengadilan.
Indonesia bukan Jepang, Jepang bukan Indonesia. Tetapi, dalam budaya malu dan takut untuk korupsi kita perlu meniru Jepang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar