Senin, 27 Januari 2014

Mencermati Potensi Inflasi

                      Mencermati Potensi Inflasi    

Edy Purwo Saputro ;   Dosen FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta
KORAN JAKARTA,  27 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Darurat banjir harus menjadi perhatian serius karena berimplikasi luas, seperti pasokan kebutuhan pokok, kerugian finansial lanaran jalan macet, dan kerusakan infrastruktur. 

Distribusi barang sangat terganggu sehingga dikhawatirkan memicu ancaman inflasi karena tidak imbang antara pasokan dan permintaan. Belum lagi ancaman inflasi rutin seperti Ramadan dan Lebaran. Banjir di berbagai daerah memicu sentimen negatif terhadap inflasi karena pasokan bahan pangan terganggu sehingga memicu kenaikan harga.

Dengan kata lain, inflasi dari kelompok pangan semakin tinggi. Kekhawatiran ini terkait dengan siklus tahunan bencana banjir yang kemudian juga berpengaruh negatif terhadap distribusi barang ke berbagai daerah. 

Maka, meski pemerintah menegaskan ada kepastian terhadap persediaan pangan, kendala distribusi tetap berpengaruh memicu inflasi pada awal tahun ini, terutama kelompok pangan. Belajar bijak dari siklus tahunan bencana, terutama akibat perubahan cuaca ekstrem, seharusnya pemerintah sudah mengantisipasinya.

Paling tidak, kota-kota tertentu cenderung menjadi pelanggan banjir seperti Jakarta. Artinya, prediksi dan antisipasi harus dilakukan pemerintah guna meminimalisasi berbagai kemungkinan terburuk, termasuk salah satunya inflasi akibat banjir. 

Tidak ada salahnya pemerintah melalui otoritas terkait mengantisipasi inflasi di bulan pertama ini. Tingginya harga bahan baku untuk sejumlah proses produksi menjadi warning untuk mereduksi inflasi.

Target inflasi satu digit menjadi tantangan pemerintah sebab berkaitan langsung dengan kemampuan daya beli masyarakat dan kemiskinan absolut. Betapa tidak, dengan daya beli yang sama, ketika terjadi lonjakan inflasi musiman karena bencana, secara tidak langsung akan memicu sentimen negatif terhadap laju kemiskinan absolut. 

Hal ini terjadi karena daya beli masyarakat tergerus harga sejumlah bahan pokok karena di luar kemampuan. Meskipun masyarakat tetap berbelanja, tetapi pada dasarnya konsumsi itu sendiri telah dikurangi. Ancaman ini harus diantisipasi, apalagi tahun ini ada pesta demokrasi yang juga sangat rentan terhadap politik uang. 

Ancaman kemiskinan absolut tersebut sangat riskan memicu praktik politik uang.
Persoalan menjadi lain ketika kenaikan harga justru dipicu dari komponen bahan pokok produksi yang terjadi juga akibat tersendatnya distribusi dari pusat ke daerah.
Jika ini terjadi, secara otomatis proses produksi meningkat biayanya dan tentu berpengaruh terhadap kenaikan harga jual. 

Artinya, inflasi terjadi secara simultan untuk semua produk yang menggunakan bahan pokok produksi tersebut. Padahal, saat bencana, termasuk banjir saat ini, lonjakan harga bahan pokok produksi hampir pasti terjadi. 

Aspek lain yang juga perlu dicermati, kebergantungan bahan pokok produksi pada impor. Persoalan ini jelas lebih rumit lagi dan biasanya konsumen berada dalam kondisi yang sangat dilematis karena tidak bisa mengelak dari kenaikan harga. Hal ini paling tidak terlihat dari kasus kedelai yang cenderung meningkat impornya setiap tahun. 

Padahal, areal tanam kedelai di dalam negeri sebenarnya sangat luas, namun entah mengapa kebijakan impor kedelai cenderung menjadi pilihan wajib untuk memenuhi kebutuhan produksi bahan pangan yang berbasis kedelai. Akibatnya, potensi ketergantungan pada harga kedelai impor semakin tinggi dan ketika harganya naik, lonjakan harga tahu dan tempe tidak terhindarkan.

Konsumen juga yang terbebani. Padahal, tahu dan tempe (bahan) pangan yang dominan dikonsumsi. Selain itu, impor daging sapi juga cenderung terus meningkat. Fluktuasi harga daging sapi juga memicu inflasi periodik dari kelompok pangan.

Belajar dari kasus-kasus inflasi periodik, fluktuasi nilai tukar juga perlu diperhatikan. Persoalan inflasi, terutama bahan pangan, tidak hanya dipengaruhi pasokan, distribusi dari produsen ke pasar, tapi juga bencana. Selain itu, kebergantungan pada impor dan fluktuasi nilai tukar rupiah menjadi komponen penting diperhatikan agar tidak terjebak dalam inflasi tahunan yang tinggi. 

Tugas pemerintah untuk mengontrol semua aspek yang rentan memicu inflasi, terutama dari kelompok pangan. Pemerintah perlu mencermati tren inflasi tahunan guna mendeteksi faktor-faktor dominan, termasuk mencermati pemicunya. 

Secara teori, inflasi dipicu kenaikan jumlah konsumsi tidak sebanding dengan angka produksi serta kapasitas produksi tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumen. Artinya, mereduksi inflasi dapat dilakukan dari sisi permintaan dan produksi. Selain itu, antara produksi dan konsumsi tersebut ada distribusi yang secara tidak langsung menjadi pemicu inflasi. 

Dengan demikian, soal inflasi tidaklah sesederhana memenuhi pasokan dengan cara impor, tapi juga harus melihat faktor dominan pemicunya. Ironisnya, tidak ada langkah strategis pemerintah untuk mereduksi.

Pemerintah juga cenderung lalai menyikapi inflasi. Ini terlihat dari kasus-kasus inflasi musiman pada Ramadan dan Lebaran. 

Mengacu teori tadi yang memadukan sisi konsumsi dan produksi seharusnya inflasi musiman bisa direduksi agar tidak memberatkan kehidupan masyarakat.

Jika semua langkah antisipatif bisa dilakukan pemerintah, bencana banjir tahunan tidak akan berpengaruh pada distribusi pasokan bahan pangan yang bisa memicu inflasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar