Selasa, 19 Desember 2017

Drakula dan Manusia tanpa Kepala

Drakula dan Manusia tanpa Kepala
AS Laksana ;  Cerpenis, tinggal di Jakarta
                                                   JAWA POS, 18 Desember 2017



                                                           
SEPERTI kebanyakan bocah-bocah lelaki lain di kampung kami, saya suka menonton film kungfu. Kami berangkat bersama-sama ke gedung bioskop murahan, menonton Fushen, Mengfei, David Chiang, Tilung, Chi Kuan Chin, Wangyu, dan selanjutnya Chen Lung. Bruce Lee sudah meninggal sebelum saya mengenal gedung bioskop, tetapi akhirnya kami bisa menontonnya juga pada era kaset video dan menikmati kehebatannya dalam gambar buram kaset bajakan.

Sekarang umur kami bertambah, kesukaan mereka mungkin berubah. Satu dua senang mengirimkan pesan dakwah melalui aplikasi WhatsApp dan mungkin sudah tidak menyukai film apa pun. Saya masih menyukai Jet Li, terutama saat ia memerankan Wong Fei Hung dan Fong Sai Yuk serta Donnie Yen yang berperan sebagai Ip Man, guru kungfu Bruce Lee.

Jenis film lain yang saya sukai pada waktu itu adalah film horor, sebuah genre yang digemari para penakut, dan Pak Item atau Tan Ceng Bok menjadi hantu pertama yang saya jumpai di layar besar. Ia berperan sebagai drakula dalam film Drakula Mantu; saya menontonnya di bioskop layar tancap. Ketika film selesai, kami pulang berjalan kaki menempuh jarak 3 kilometer, dengan langkah cepat-cepat dan tidak banyak bicara, dengan tengkuk merinding melewati tempat-tempat gelap, dengan pikiran dihantui oleh drakula yang siap menyergap kami sewaktu-waktu dan mengisap darah kami.

Drakula asli baru saya temui beberapa tahun kemudian melalui novel Dracula karangan penulis Irlandia Bram Stoker. Itu novel yang dianggap karya puncak untuk jenis cerita hantu pengisap darah.

Ada teman yang memberi tahu bahwa drakula benar-benar ada dan belakangan saya menjumpai di internet artikel berjudul ’’Drakula ternyata Benar-Benar Ada!” Tulisan itu berisi laporan tentang sejumlah penelitian yang sudah dilakukan orang untuk membuktikan bahwa hantu pengisap darah itu bukan semata-mata khayalan. Penelitian pertama dilakukan lebih dua puluh tahun lalu oleh Stephen Kaplan, seorang ahli jiwa yang mengepalai Lembaga Riset Vampir di New York, Amerika Serikat.

Kaplan melibatkan sekelompok dukun dalam risetnya. Ia meneliti perkumpulan-perkumpulan pemuja setan yang menggunakan darah segar untuk membuat sesaji dan mencari tahu di negara mana saja para drakula bertempat tinggal. Dan hasil penelitiannya sejalan dengan pernyataan teman saya.

Seperti pawang bonbin yang tahu persis berapa jumlah gajah di kebun binatangnya, Kaplan dengan yakin menyebut bahwa Amerika Utara adalah tempat dengan populasi drakula paling banyak. Ada sekitar 500 drakula di sana. Tempat-tempat lain yang juga dihuni banyak drakula adalah Inggris, Irlandia, Amerika Selatan, Kanada, dan Afrika Selatan.

Selanjutnya, ada wawancara televisi dengan vampir perempuan, yang tampil untuk meluruskan persepsi meleset tentang kaumnya, dan mengaku tidak suka terhadap semua cerita drakula yang sudah ditulis orang. ”Kami bukan makhluk jahat semacam itu,” katanya. Saat wawancara berlangsung, perempuan itu mengenakan gaun model abad ke-16. Penampilannya tampak seperti gadis 20-an tahun, tetapi umur vampir itu sebenarnya sudah setua gaun yang ia kenakan.

Khayalan yang bagus, yang disampaikan secara meyakinkan, seringkali membuat orang sulit membedakan antara khayalan dan kenyataan. Novel Dracula terasa meyakinkan dan karena itulah sebagian orang meyakini bahwa drakula tidak mungkin hanya khayalan. Ia pasti benar-benar ada.

Sama halnya dengan Sitti Nurbaya, tokoh rekaan dalam novel Sitti Nurbaya karya Marah Rusli. Ada orang-orang yang meyakini bahwa gadis malang itu, yang terpaksa menikahi Datuk Maringgih, memang benar-benar pernah hidup. Makamnya ada di puncak Gunung Padang, Sumatera Barat, dan sudah banyak diziarahi orang. Sempat ada berita yang menyebutkan bahwa makamnya ternyata ditunggui oleh manusia tanpa kepala.

Itu cerita ngawur, tetapi orang sering membutuhkan cerita semacam itu dan memercayainya sebagai kebenaran, tidak peduli apakah yang mereka dengar itu masuk akal atau tidak.

Di dalam fiksi, kita bisa mempertanyakan apa gunanya menghadirkan makhluk yang tidak mempunyai kepala. Ia tidak bisa melakukan apa-apa sebagai penunggu makam: tidak bisa bersih-bersih makam, tidak bisa menelan orang-orang yang berniat jahat sebab ia pasti tidak punya mulut. Ia juga tidak mempunyai mata, telinga, dan hidung sehingga tidak akan bisa melihat atau mendengar atau membaui siapa pun yang datang ke makam itu. Sudah pasti juga ia tidak punya otak. Artinya, ia sama sekali tidak berguna sebagai penunggu makam.

Tetapi, itu kehidupan nyata. Orang bisa berbuat ngawur di dalam kehidupan nyata, di dalam fiksi tidak. Mengarang adalah kecakapan menyampaikan –dengan gaya– apa yang kita ingin sampaikan. Dan cerita yang bagus akan bertahan selamanya karena ia disampaikan penuh perhitungan oleh orang yang cakap.

Cerita buruk mungkin bisa terasa bagus pada suatu waktu, namun mengenaskan pada waktu-waktu berikutnya. Ia seperti film-film kungfu yang saya tonton di waktu kecil. Sesekali saya masih suka iseng menonton ulang film-film kungfu lama dan menjadi sedih karena semuanya tampak buruk untuk ditonton hari ini. Ceritanya terlampau sederhana dan koreografinya kurang canggih sehingga pertarungan mereka terlihat seperti main-main. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar