Rabu, 20 Desember 2017

Putusan MK dan Azab Tuhan di Balik Gempa

Putusan MK dan Azab Tuhan di Balik Gempa
Hilmi Amin Sobari ;   Esais; Pernah nyantri di PPMWI Kebarongan,
Banyumas, Jawa Tengah
                                                 DETIKNEWS, 18 Desember 2017



                                                           
Lagi-lagi linimasa media sosial riuh. Keriuhan kali ini dipicu oleh gempa dengan magnitudo 6.9 Skala Richter sebagaimana pernyataan resmi BMKG di situsnya, yang terjadi pada Jumat (15/12) hampir tengah malam. Gempa dengan pusat epicentrum di Tasikmalaya itu membuat bumi bergetar yang terasa hingga ke kota Bekasi tempat saya tinggal.

Tak berapa lama, status di medsos ramai membahasnya. Saya perhatikan, mereka yang terkena goncangan cukup keras berasal dari kawasan pesisir selatan Pulau Jawa, dari Tasik ke arah timur sampai ke Jogja. Lalu naik agak ke kota/wilayah sebelah utaranya.

Dua jam setelah gempa atau sekitar pukul 2 saya menerima pesan dari orangtua; mereka tinggal di Ciamis, dekat dengan pusat gempa. Mereka mengabarkan getaran gempa cukup besar, bingkai foto yang terbuat dari kaca pecah berantakan. Sebagian warga kampung yang ketakutan lari berhamburan ke luar rumah. Alhamdulillah, di sana tidak ada korban jiwa atau kerusakan berat pada material fisik atau bangunan.

Namun, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengabarkan lain. Dari data Pusdalops BNPB berdasarkan laporan BPBD, saat tulisan ini dibuat dilaporkan gempa tersebut mengakibatkan 2 orang meninggal dunia, 7 orang luka, 43 rumah rusak berat dan roboh, 65 rumah rusak sedang, 10 rumah rusak ringan, dan beberapa bangunan publik mengalami kerusakan.

Adapun daerah-daerah yang paling terdampak gempa yang merusak itu terdapat di Kabupaten Pangandaran, Tasikmalaya, Ciamis, Kota Banjar, Garut, Cilacap, Kebumen, Kota Pekalongan, Banyumas, Brebes, dan Banjarnegara. Daerah tersebut kebanyakan ada di arah timur Tasik. Belum ada kabar kerusakan dari daerah sebelah barat seperti Bandung atau Sukabumi. Mudah-mudahan tidak ada kerusakan di sana.

Penyebab gempa kemudian dianalisis. Bagi pendukung sains, gempa merupakan efek dari gerak tumbukan lempeng atau kerak bumi yang bergeser dan kemudian menghasilkan energi besar yang terasa sampai ke permukaan. Orang dengan pemikiran ini tentunya akan menerimanya sebagai fenomena alam biasa. Apalagi sudah jamak diketahui, wilayah Indonesia rawan bencana gempa.

Namun hal itu rupanya tidak berlaku bagi sebagian orang beragama yang karena kitab sucinya mengatakan bencana alam merupakan akibat dari perbuatan maksiat, maka mereka meyakini gempa itu pun akibat ulah buruk manusia. Itulah yang terjadi, medsos kemudian dibanjiri oleh status dari netizen yang berkeyakinan gempa itu karena Tuhan sedang marah, lalu mengazab hamba-Nya.

Masih menurut mereka, kemarahan Tuhan itu dipicu oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak secara keseluruhan permohonan uji materi pasal 284, 285, dan 292 KUHP yang diajukan oleh ALIA (Aliansi Cinta Keluarga). Putusan itu dihasilkan melalui diskusi yang cukup alot. Dari 9 hakim, 5 menolak, 4 memberikan dissenting opinion alias pendapat yang berbeda dari amar putusan.

Sebagaimana diberitakan oleh banyak media, ALIA mengajukan permohonan untuk memperluas cakupan atau mengubah undang-undang tentang perzinahan, pemerkosaan, dan pencabulan anak yang mereka nilai sudah tidak sesuai dengan konteks kekinian dan kedisinian.

MK menolak dengan alasan pasal-pasal tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945; yang merupakan tolok ukur MK dalam menilai uji materi. Sebaliknya, jika menerima, MK akan dianggap melanggar kewenangan karena pembuatan norma hukum hanya boleh dilakukan oleh lembaga legislatif. MK adalah lembaga yudikatif. Sebagai solusi, MK menyarankan materi permohonan diajukan ke DPR yang sedang menggodok RUU KUHP.

Penolakan ini lalu dipahami sebagai persetujuan atau pengesahan zina dan LGBT, simplikasi yang sangat keliru. Sayangnya kekeliruan itu malahan dijadikan dasar untuk mengaitkan putusan tersebut dengan azab Tuhan. Tuhan diimajinasikan sedang marah karena di negeri yang mayoritas muslim, zina dan LGBT dilegalkan. Tak ketinggalan, berbagai meme menyeruak dengan data ribuan anggota LGBT yang ada di Tasik sebagai justifikasinya.

Pemahaman ini bukan tanpa dasar. Agama punya bahan yang cukup. Islam misalnya membawa berbagai cerita tentang bencana alam yang diazabkan Tuhan bagi kaum pembangkang dan pelaku maksiat, yang mudah ditemukan di Al-Quran. Ingatan kita sejak kecil seolah dipatri dengan kisah banjir besar bagi kaum Nabi Nuh karena menolak beriman; badai besar 8 hari bagi orang 'Ad kaum Nabi Hud; gempa bumi dan petir yang keras dan menyambar orang Tsamud, kaum Nabi Saleh.

Kota Sodom yang merupakan wilayah dakwah Nabi Luth tak luput dari azab. Para penghuninya, suku yang dikenal dengan perilaku homoseksual itu diganjar bencana berupa tanah yang diputarbalikkan, bagian atas jadi bawah, bawah jadi atas, dibumihanguskan semua yang ada di atasnya.

"Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan (batu belerang) tanah yang terbakar secara bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim." (QS. Hud, 11: 82-83)

Pertanyaannya, apakah tepat jika amar putusan MK dikaitkan dengan gempa bumi yang terjadi Jumat lalu? Saya kira itu tindakan yang tidak tepat dan tampak ceroboh. Menuduh gempa sebagai azab adalah sebuah kekeliruan. Logikanya, putusan MK bukan pengesahan zina dan LGBT, bagaimana bisa diklaim jadi penyebab bencana jika putusan itu bukan pengesahan. Sebaliknya, MK menyarankan untuk membawa aspirasi ke DPR.

Secara tidak langsung, MK seolah-olah hendak mengatakan bahwa mereka memberikan sinyal persetujuan jika perkara ini diatur dengan undang-undang yang pasalnya lebih spesifik seperti tuntutan pemohon. Artinya, landasan berpikir tuduhan itu sudah salah sejak awal dan sebagai konsekuensi pendapatnya sudah cacat logika, tak bisa dikontestasikan.

Lalu bagaimana dengan kisah-kisah dalam kitab suci itu; apakah harus diabaikan? Tentu saja tidak. Siapapun boleh meyakini apa yang termaktub dalam kitab suci, namun yang harus dipahami, tidak semuanya bisa ditelan secara bulat-bulat tanpa penelaahan, terutama jika bersinggungan dengan sains, apalagi jika sudah bisa dijelaskan secara ilmiah.

Masih segar dalam ingatan tentang perdebatan bumi datar dan bumi bulat. Keyakinan bumi datar berasal dari kitab suci. Bahkan, institusi agama pernah sangat represif terhadap penemuan yang bertentangan dengan keyakinan agama itu. Galileo dihukum mati karena meyakini dan menyebarkan paham heliosentris, matahari pusat tata surya, yang bertentangan dengan paham geosentris yang diimani gereja, bumi sebagai pusat tata surya.

Tapi, masa-masa itu seyogianya sudah berlalu. Saat ini berbagai fenomena alam sudah bisa dijelaskan dengan sains. Jika pada satu waktu sains kemudian dapat menembus sekat agama, maka yang harus dilakukan adalah penyediaan ekosistem yang mendukung kontestasi ide sehingga bisa diuji kebenarannya, walau terkadang hal itu membuat kedua ranah itu saling klaim bahwa kebenaran ada di pihaknya.

Perdebatan antara agama dan sains selalu menyisakan ruang abu-abu yang tidak bisa diklaim sebagai kebenaran mutlak. Walaupun sains unggul dalam pengujian dan pembuktian, sains juga memiliki kekurangan pada tahap tertentu. Pada kasus gempa bumi, hingga hari ini belum ada satu pun teknologi yang mampu secara akurat memprediksi kapan terjadinya gempa, hanya bisa diukur kekuatannya dan manajemen terhadap dampaknya.

Ruang-ruang abu-abu itu jika ditafsirkan dari sudut pandang agama bisa saja dijadikan sebagai alat introspeksi bahwa Tuhan bisa saja marah. Namun, menggunakan imajinasi bahwa Tuhan sedang marah lalu mengazab, saya kira itu perlu dibatasi, misal untuk muhasabah, bukan propaganda atas kepentingan pihak tertentu. Tujuannya agar tidak menimbulkan keriuhan seperti yang belakangan sering terjadi.

Sebagai penutup, kisah masyhur yang terjadi di Thaif saat Jibril menawari Nabi Muhammad SAW sebuah gunung yang akan ditimpakan untuk pemusnahan para penghina dakwahnya di sana, bisa diambil pelajaran. Alih-alih senang dengan dukungan itu, beliau justru menyambutnya dengan doa keselamatan bagi penduduk Thaif dan anak keturunannya. Saya yakin, sejak saat itu bukan bencana yang ditebar oleh kehadirannya (dan ajaran yang diwariskannya) tetapi rahmat bagi seluruh alam. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar