Rabu, 20 Desember 2017

Goliath Melawan VUCA

Goliath Melawan VUCA
Agus Pambagio ;   Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen
                                                 DETIKNEWS, 18 Desember 2017



                                                           
Era now penuh dengan disruption. Saat ini tidak ada satu pun sektor industri yang terbebas dari disruption atau gangguan. Industri transportasi seperti taksi mengalami disruption dari munculnya taksi online dengan aplikasi teknologi mobile dan penggabungan berbagai bisnis sekaligus. Bisnis retail mengalami disruption dengan hebohnya belanja murah secara online karena terputusnya rantai distribusi konvensional dan belum tersentuh pajak. Industri televisi mengalami disruption dengan ramainya Youtube. Bahkan jumlah penonton website online ini jauh melebihi penonton televisi.

Begitu pula dengan industri energi migas yang sudah lama mapan, juga mengalami disruption dengan munculnya energi baru terbarukan, seperti aplikasi solar cell dan mobil listrik yang semakin lama semakin nyaman dan murah. Tidak ada industri yang bebas disruption. Akibatnya di seluruh sektor industri, perusahaan incumbent yang memegang pangsa pasar terbesar banyak yang bertumbangan. Mereka runtuh di-disrupt oleh perusahaan start up yang memiliki model bisnis tidak biasa. Mereka begitu inovatif, lincah, dan cepat mengambil peluang. Para Goliath ini kewalahan dan semakin limbung ketika suhu politik dunia juga memanas. Bisnis energi migas sangat rawan terhadap gejolak politik dan ekonomi.

Saat ini dikenal istilah VUCA, atau Volatility-Uncertainty-Complexity-Ambiguity. Semua terus berubah, mulai dari teknologi, peraturan atau kebijakan, perilaku konsumen, sampai dengan iklim. Ketidakpastian menjadi lebih besar dari berbagai kondisi tersebut, sehingga menjadikannya lebih kompleks untuk diantisipasi. Dalam hitungan bulan semua bisa berubah. Maka banyak perusahaan yang berhenti membuat Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) dengan jangkauan waktu yang jauh sampai 5 tahun.

VUCA tidak selalu merupakan hal yang menakutkan dan menjadi masalah besar. Dalam kaca mata entrepreneurship, VUCA juga menawarkan banyak peluang. Untuk menangkap peluang diperlukan kecepatan, kelincahan, dan keberanian. Peluang bertebaran di seluruh pelosok bumi, dan saat ini banyak diambil oleh perusahaan kecil dan baru (start up) yang memang lebih lincah ketimbang perusahaan-perusahaan raksasa yang lebih kaku, birokratis, dan penuh pertimbangan. Para Goliath ini akhirnya sering menyerah kalah; lihat Kodak, Myspace, Crocs dan lain-lain.

Industri migas Indonesia pun tidak bebas dari VUCA. Akhir Agustus 2017 lalu sudah dinyatakan oleh Menteri ESDM bahwa pada 2040 tidak ada lagi kendaraan berbahan bakar minyak yang akan diproduksi di Indonesia. Pernyataan ini jelas menjadi disruption bagi Pertamina karena konsumsi terbesar BBM adalah untuk kendaraan bermotor. Pertamina sebagai Goliath di industri migas Indonesia harus cepat merespons perubahan ini segera, jika tidak ingin bangkrut.

Disruption lain bagi Pertamina pun bermunculan, seperti munculnya SPBU Vivo yang menjual bensin Premium dengan harga lebih murah dan lebih baik kualitasnya (RON89) ketimbang SPBU Pertamina. SPBU Vivo ini bisa menjual lebih murah jelas karena dimiliki oleh Vittol, salah satu trader migas terbesar di dunia. Sehingga akses terhadap komoditas yang lebih murah mereka miliki.

Isu terhangat lain terkait dengan pertempuran antara Goliath melawan David, yaitu isu holding BUMN migas yang melibatkan PT Pertamina (Persero) dengan PT PGN, Tbk. Direktur Utama Pertamina, Elia Massa Manik seperti ramai di grup Whatsapp dan juga media online menyatakan bahwa PGN itu terlalu kecil, dan bila digabungkan dengan Pertamina tidak akan membantu sama sekali. Bahkan untuk skala Pertamina, mengelola PGN cukup hanya dengan satu Vice President (VP) di Pertamina. Memang bila dilihat skala revenue dalam 5 tahun terakhir, Pertamina sebesar 38 miliar dolar AS sedangkan PGN hanya 2,9 miliar dolar AS. Namun, mengapa beliau begitu upset dengan rencana holding BUMN migas dan penolakan yang terjadi?

Ternyata dari informasi yang kami kumpulkan di lingkungan migas, PGN yang kecil ini menjadi bentuk disruption bagi Pertamina. Kondisi terbaru, PGN telah ditunjuk dan diberi kewenangan oleh Menteri ESDM sebagai penjual gas bagian negara. PGN diminta untuk menjualkan dua kargo LNG dari Sanga-Sanga. Dan, PGN melakukan penjualan melalui mekanisme tender yang dipublikasikan di Platts.com. Cara ini menjadikannya proses penjualan gas bagian negara menjadi transparan dan kompetitif. Ini test case yang berhasil dilakukan oleh Menteri ESDM. Good job, Pak Menteri!

Dari sumber yang dapat dipercaya, PGN berhasil menjual dengan harga jauh lebih tinggi dari yang dilakukan Pertamina. Ini disruption karena selama lebih 40 tahun Pertamina selalu menjadi penjual gas bagian negara tanpa kompetisi dan pembanding. Kemudian, PGN dalam beberapa penugasan pemerintah seperti pembangunan SPBG konon menawarkan biaya yang lebih murah ketimbang Pertamina. Dan, dari 10 SPBG yang dikelola oleh PGN, semuanya beroperasi walaupun belum optimum. Sedangkan Pertamina mengelola lebih dari 30 SPBG, dan banyak yang mangkrak.

Selain itu dengan bisnis gas bumi yang dilakukan PGN selama ini sangat efisien dan efektif melalui pendekatan pengelolaan gas langsung sampai dengan pengguna akhir. Maka tidak heran bila lebih dari 78% jaringan pipa gas ke pengguna akhir saat ini dimiliki oleh PGN. Sedangkan Pertamina memilih untuk melakukan penjualan gas melalui trader atau makelar. Beberapa waktu lalu BPK menyampaikan hasil audit di Pertamina Gas, dan menemukan kerugian ratusan miliar rupiah dalam kegiatan niaga gas karena macet di tingkat traders. Dengan deretan kinerja yang lebih baik itu menjadikan PGN, si David yang men-disrupt comfort zone Pertamina.

Melihat konteks pembentukan holding BUMN oleh Kementerian BUMN, khusus untuk holding BUMN migas orang awam melihatnya tidak lebih sebagai langkah akuisisi PGN oleh Pertamina untuk menghilangkan kompetisi dan disruption. Holding BUMN migas hanya beranggotakan Pertamina dan PGN. Penggabungan yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan keuangan Pertamina terbukti ditolak langsung oleh Direktur Utama Pertamina bahwa itu tidak akan berdampak sama sekali. PGN terlalu kecil untuk membantu permasalahan keuangan yang dialami oleh Pertamina.

Di sisi lain Menteri BUMN menyatakan bahwa holding BUMN migas ini dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan duplikasi pengelolaan gas bumi antara PGN dan Pertagas. Sebagai orang awam, saya berpendapat bahwa solusi paling jitu adalah menggabungkan Pertagas ke dalam PGN, seperti yang pernah diputuskan oleh Dahlan Iskan sebagai Menteri BUMN. Bukan mengakomodasi kepanikan dari Goliath dengan mengeliminasi disruption dan pembanding dalam kinerja.

Presiden Jokowi pasti melihat lebih jeli bahwa kebijakan holding BUMN migas ini tidak tepat secara nasional karena munculnya monopoli absolut di usaha migas. Selain itu, dengan VUCA dan tren hari ini di mana dibutuhkan kelincahan dan kecepatan pengambilan peluang, holding BUMN sebagai upaya membangun raksasa sepertinya bukan langkah yang tepat. Melawan perubahan ada biayanya.

Tidak ada industri yang lolos dari ancaman VUCA. Para Goliath berguguran karena begitu lambat merespons perubahan, kalah cepat mengambil peluang dari perusahaan kecil yang lincah. Dalam perusahaan raksasa selalu memiliki masalah mengenai kompleksitas birokrasi. Lapisan-lapisan birokrasi yang membuat pengambilan keputusan investasi harus memakan waktu berbulan-bulan. Saking besar mereka menjadi angkuh, dan hanya mau mengambil peluang yang besar, dan melupakan peluang-peluang kecil yang sebenarnya berpotensi menjadi besar. Lihat bagaimana perusahaan start up menjadi besar karena dengan kejeliannya melihat peluang yang tidak pernah disentuh para Goliath.

Tulisan ini dibuat untuk menyeimbangkan pemberitaan negatif terstruktur yang pada akhirnya akan menghancurkan BUMN kita sendiri. Batalkan holding karena belum ada aturan hukumnya, dan melanggar konstitusi. Jadi jangan melawan perubahan, dan mari berubah bersama. Riding the wave of change!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar