Rabu, 20 Desember 2017

Menanti Titik Balik DPR

Menanti Titik Balik DPR
A Ponco Anggoro ;  Wartawan Kompas
                                                    KOMPAS, 20 Desember 2017



                                                           
Berulang kali citra dan kehormatan DPR periode 2014-2019 terperosok ke titik nadir akibat persoalan ketua DPR. Namun, DPR, khususnya Partai Golkar, seakan tak pernah belajar. Kesempatan untuk memperbaiki kembali terbuka. Masa lalu hendaknya dijadikan pelajaran yang bernilai.

Saat Setya Novanto dari Fraksi Partai Golkar ditetapkan menjadi Ketua DPR bersama empat wakil ketua DPR dari Gerindra, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, dan Partai Keadilan Sejahtera, awal Oktober 2014, polemik pun muncul. Tidak hanya karena sosok Novanto yang sudah disebut terlibat dalam sejumlah kasus korupsi, tetapi mekanisme pemilihan dan penetapan pimpinan DPR yang sarat dengan aroma pertarungan saat Pemilu Presiden 2014, antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH).

Mayoritas fraksi di DPR yang kala itu bagian dari KMP berhasil mengubah peraturan sehingga PDI-P sebagai partai pemenang Pemilu 2014 dan bagian dari KIH tak bisa mendudukkan wakilnya di kursi pimpinan DPR. Polemik di DPR pun berkepanjangan hingga KIH melahirkan pimpinan DPR tandingan. Sebagai imbasnya, hingga akhir 2014, DPR terbelah, dan tidak bisa menjalankan tugas pokok dan fungsinya.

Ketika KMP dan KIH di DPR mencapai titik temu, persoalan tidak lantas berhenti. Baru sekitar satu tahun Novanto menjabat Ketua DPR, muncul kasus dugaan permintaan saham PT Freeport Indonesia oleh Novanto yang dikenal dengan kasus ”Papa Minta Saham”. Kasus ini membuat Novanto memutuskan dari ketua DPR.

Anggota DPR dari Golkar, Ade Komarudin, kemudian dipercaya Partai Golkar untuk menjabat ketua DPR. Namun belum sampai satu tahun Ade menjabat, dia diganti oleh Novanto yang kembali duduk sebagai ketua DPR.

Saat Novanto kembali menjabat ketua DPR pada akhir November 2016, sudah muncul kabar tentang dugaan keterlibatannya dalam kasus dugaan korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el). Betul saja, belum setahun kembali menjabat, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkannya sebagai tersangka dan kini dia sedang diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

Masalah Novanto turut membuat citra dan kehormatan DPR kian terperosok.

Hasil jajak pendapat Litbang Kompas, 26-28 Juli 2017, sebanyak 71,3 persen publik menilai buruk citra DPR. Sebanyak 75,4 persen publik tidak puas dengan kinerja DPR membuat perundang-undangan, 66,9 persen publik tidak puas dengan kinerja DPR mengawasi kinerja pemerintah, dan 74,9 persen publik tidak puas dengan kerja DPR memperjuangkan kepentingan rakyat.

Kemudian dari hasil survei Poltracking Indonesia, 8-15 November 2017, tingkat kepuasan publik pada DPR juga terendah dari total 13 lembaga negara lain. Adapun dari sisi kepercayaan publik kepada lembaga negara, DPR di posisi kedua paling rendah setelah partai politik.

Kesempatan

Kini, setelah Novanto menyatakan mundur dari jabatan sebagai Ketua DPR, lahir kesempatan bagi DPR, khususnya Partai Golkar, untuk belajar dari pengalaman suram itu, dan mencegahnya terulang di sisa masa jabatan DPR hingga Oktober 2019.

Sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), jika pimpinan DPR mengundurkan diri, pengganti- nya harus dari partai politik sama. Itu berarti menjadi kewenangan Golkar untuk mengisi posisi ketua DPR,

Dalam program bincang-bincang Satu Meja bertema ”DPR Setelah Setnov” di Kompas TV, Senin (18/12), Wakil Sekretaris Fraksi Partai Golkar di DPR Tubagus Ace Hasan Syadzily mengatakan, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto berkomitmen mengembalikan marwah Golkar. Golkar juga menyadari tingginya ekspektasi publik kepada Golkar untuk menciptakan pemerintahan bersih.

Sebagai bagian dari komitmen dan kesadaran itu, Golkar harus menghadirkan figur ketua DPR yang bersih, termasuk dari potensi masalah hukum. Figur itu juga harus memiliki integritas, selain kapasitas
dan pengalaman yang sudah matang.

”Ini menjadi tantangan bagi Golkar di bawah kepemimpinan Airlangga Hartarto untuk mencari yang terbaik di antara 91 anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar,” katanya.

Juga hadir sebagai narasumber dalam acara yang dipandu Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo ini adalah anggota DPR dari Fraksi PDI-P Aria Bima, anggota DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Maman Imanul Haq, dan Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 2000-2010 Mochtar Pabottingi.

Aria Bima dan Maman pun berpesan kepada Golkar agar betul-betul menghadirkan figur ketua DPR yang berintegritas. ”DPR sudah berada di titik nadir. Kalau tak diangkat ketua DPR yang berintegritas, bisa runtuh ini DPR,” ujar Aria.

”Kita membutuhkan pimpinan DPR yang tak mudah sekali diganti. Oleh karena itu, pimpinan DPR jangan cacat hukum, jangan sampai ada celah hukum yang berpotensi membuatnya terganjal kasus hukum saat sudah menjabat,” kata Maman.

Ia juga mengingatkan agar Golkar mencari figur ketua DPR yang mampu mendorong kerja alat-alat kelengkapan DPR lebih optimal dalam menjalankan fungsi-fungsi DPR. Dengan demikian, DPR bisa kembali dipercaya publik.

Adapun Mochtar Pabottingi mengingatkan, setidaknya harus ada empat hal yang dijadikan pegangan oleh Golkar dalam menentukan ketua DPR.

Pertama, figur itu harus memahami benar-benar soal kebangsaan dan demokrasi, berikut keniscayaan simbiosis antara demokrasi dan kebangsaan. Kedua, harus memiliki integritas dan kompetensi. Ketiga, pengetahuan yang komprehensif tentang sejarah sosiopolitik, demokrasi, dan ekonomi bangsa. Terakhir, punya pemahaman yang tercerahkan akan cita-cita bangsa.

Untuk itu, sembilan fraksi lain di DPR mesti mendorong Golkar menghadirkan ketua DPR yang tepat. DPR seharusnya berkepentingan dengan hal itu jika melihat pengalaman suram sebelumnya, dan kerja berat ke depan untuk mengembalikan marwah DPR.

Yang tak kalah penting, gonjang-ganjing pergantian ketua DPR yang terjadi setiap tahun ini hendaknya dijadikan bahan introspeksi partai-partai politik di Pemilu Legislatif 2019. Gonjang-ganjing takkan terjadi jika partai serius mendengar tuntutan publik agar partai menghadirkan anggota DPR yang berintegritas.

Gonjang-ganjing penggantian ketua DPR ini hendaknya juga menjadi pelajaran untuk mencari mekanisme pemilihan lebih baik agar melahirkan pimpinan DPR yang betul-betul memiliki kapasitas, pengalaman, dan tentunya berintegritas, bukan atas kepentingan politik tertentu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar