Rabu, 20 Desember 2017

Melawan Narkotika dengan Rehabilitasi Apa Mungkin Menang?

Melawan Narkotika dengan Rehabilitasi
Apa Mungkin Menang?
Anang Iskandar ;  Dosen Pidana Narkotika Universitas Trisakti;
Kepala BNN 2012-2015;  Kabareskrim 2015-2016
                                          MEDIA INDONESIA, 20 Desember 2017



                                                           
HINGGA saat ini, mungkin masih banyak yang menyangsikan mungkinkah dengan senjata rehabilitasi berhasil memenangi perang melawan narkotika? Jawabannya sangat mungkin. Kepastian jawaban ini tentu saja berangkat dari berbagai dasar ilmiah dan bukti sejarah.
Pertama, faktanya, senjata rehabilitasi itu merupakan satu-satunya cara untuk pulih dari penyakit ketergantungan narkotika.

Kedua, penyalah guna narkotika yang menjalani proses hukum ditempatkan di lembaga rehabilitasi sesuai dengan tingkat pemeriksaannya. Sementara itu, setiap hakim wajib memvonis dengan hukuman rehabilitasi karena itu amanat konvensi, amanat UU, dan amanat umat manusia untuk hidup sehat yaitu jauh dari segala macam penyakit termasuk penyakit ketergantungan.

Ketiga, apabila penyalah guna sembuh, yang berarti tidak ada lagi penyalah guna, itu berarti tidak akan ada demand atau permintaan. Maka secara otomatis pedagang narkotika gulung tikar karena tidak ada pembelinya. Dari titik ini, senjata rehabilitasi membuktikan keampuhannya untuk memenangi perang melawan narkotika. Rehabilitasi bukan sekadar memulihkan penyalah guna, melainkan juga dapat membuat bandar narkotika bangkrut selamanya.

Secara teknis, narkotika adalah obat, bahan, dan zat bukan makanan yang jika diminum, diisap, dihirup, ditelan, atau disuntik berpengaruh pada kerja otak. Sering kali juga itu menyebabkan penyakit ketergantungan. Jika kemudian seseorang sudah mengidap penyakit itu, mengakibatkan kerja otak berubah dan perubahan fungsi vital organ lain seperti jantung, peredaran darah, dan pernapasan.

Di sisi lain, narkotika sebenarnya memang diperlukan untuk kepentingan kesehatan, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Tentunya dengan dosis tertentu dan diperuntukkan dokter dalam menghilangkan rasa sakit. Maka sebenarnya, peredaran narkotikanya yang justru mesti diawasi secara ketat dengan aturan perundang-undangan. Sementara itu, penyalahgunaan atau penggunaan tanpa resep dokter dan peredaran di luar ketentuan perundang-undangan mesti dilarang UU narkotika kita.

Semua karena penyalahgunaan dapat menyebabkan penyakit ketergantungan atau adiksi. Untuk penyembuhannya, memerlukan usaha yang serius untuk dapat kembali sehat. Mulai melalui proses detoksifikasi, proses sosial, hingga penanaman kembali nilai-nilai sosial yang hilang akibat adiksi.

Menurut UU narkotika Indonesia, penyalahgunaan narkotika secara garis besar terbagi menjadi dua tipe. Tipe pertama yaitu penyalah guna untuk diri sendiri dan penyalah guna untuk diedarkan. Tipe kedua yang memang perlu diperangi meski dengan cara yang berbeda, bukan melalui rehabilitasi.

Cara memerangi narkotika

Berangkat dari UU No 35/2009 tentang Narkotika, khususnya pasal 4, senjata pertama memerangi narkotika memang melalui rehabilitasi. Sasaran ‘tembak’ senjata ini sangat khusus, yaitu para penyalah guna. Melalui pasal 4 itu juga, senjata bernama rehabilitasi ini digunakan untuk mencapai tujuan dari lahirnya UU Narkotika Indonesia. Secara historis, roh dari UU ini menegaskan para penyalah guna dijamin untuk direhabilitasi. Bahkan jaminan ini disebutkan dalam UU secara spesifik, dengan menyatakan ‘mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika dan menjamin upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalah guna dan pecandu’.

Secara teknis, penggunaan senjata rehabilitasi juga diatur UU narkotika Indonesia, yaitu pertama bagi keluarga atau orangtua penyalah guna yang ingin sembuh secara mandiri atas biaya sendiri dapat memilih tempat rehabilitasi sesuai dengan keinginan masing-masing. Hal ini disebabkan UU narkotika kita memosisikan penyalah guna sebagai orang sakit dan menjadi kewajiban orangtua untuk menyembuhkan.

Kedua, apabila tidak, ada pilihan lain yaitu mengikuti rehabilitasi yang dipaksa UU dan dibiayai pemerintah. Maka dalam konteks ini, penyalah guna dapat mengikuti jalur wajib lapor yang disediakan UU yaitu secara sukarela atau dilaporkan keluarganya ke rumah sakit yang telah ditunjuk pemerintah. Rumah sakit itu dikenal juga sebagai institusi penerima wajib lapor (IPWL) yang berkewajiban untuk mendapatkan penyembuhan dan diberi bonus oleh UU yaitu tidak dituntut pidana. Hal ini karena UU narkotika kita berperspektif hukum dan kesehatan.

Ketiga, karena karakter penyalah guna itu enggan dan tidak mau direhabilitasi meskipun dipaksa, berdasarkan UU juga, penyalah guna dipaksa untuk direhabilitasi melalui rehabilitation justice system (RJS). RJS ini merupakan proses peradilan yang bermuara pada penghukuman rehabilitasi. Dalam prosesnya, penyalah guna ditangkap, disidik, dan dituntut di pengadilan. Selama proses penyidikan dan penuntutan, tersangka atau terdakwa ditempatkan di lembaga rehabilitasi dan hakim menurut UU narkotika wajib memvonis hukuman rehabilitasi baik terbukti ataupun tidak terbukti bersalah.

Penempatan penyalah guna ke lembaga rehabilitasi selama proses penyidikan, penuntutan, dan peradilan menurut UU telah dihitung sebagai hukuman kurungan atau pemenjaraan. Ini sebenarnya esensi dari proses modern yang mewarnai UU narkotika kita yang memiliki perspektif penegakan hukum dan kesehatan.

Lalu terhadap para pengedar, mulai pengecer, pengedar, sampai produsen narkotika, UU narkotika Indonesia sebenarnya juga sudah membuktikan keampuhannya. Pembuktian itu dengan diperangi melalui law enforcement, melalui penangkapan, penyidikan, dan penuntutan lewat mekanisme criminal justice system. Ancamannya berat, mereka diancam hukuman berat bahkan sampai hukuman mati.

Semua karena pengedar adalah penjahat narkotika sesungguhnya. Merekalah yang justru mendapatkan keuntungan dari bisnis narkotika. Mereka ini juga sosok sebenarnya yang merusak setiap bangsa. Bahkan karena racun yang mereka sebar itu, lalu banyak yang mengonsumsi narkoba, jiwa penyalah guna bisa terganggu bahkan menjadi gila. Ini yang sebenarnya dan seharusnya dihukum berat oleh hakim, bukan penyalah guna. Sementara itu, bagi mereka yang belum terlibat sama sekali, UU narkotika juga sudah menegaskan perlindungan dengan senjata pencegahan. Tujuannya jelas dan tegas, yaitu agar tidak masuk ke bisnis narkotika. Pencegahan ini juga menjadi penting agar mencegah munculnya penyalah guna baru. Maka sebenarnya, perang narkoba itu sudah sepatutnya menggunakan tiga senjata di atas secara seimbang dan berkelanjutan.

Pengalaman menang perang

Tercatat, proyek Mayfahluang Foundation Thailand telah berhasil dalam memenangi perang melawan narkotika. Yayasan ini fokus pada rehabilitasi dan pencegahan tanpa ada penegakan hukum sehingga dalam waktu tidak lama, berhasil merehabilitasi seluruh wilayah proyek. Efeknya, kini sudah tidak ada lagi peredaran di daerah proyek karena tidak ada konsumen atau permintaan. Seluruh wilayah Uni Eropa, khususnya Belanda, justru tidak pernah menghukum penjara meskipun penyalah guna narkotika dilarang dan dibatasi. Para penyalah guna justru dihukum secara nonkriminal. Belanda juga banyak membangun tempat rehabilitasi sehingga banyak penyalah guna yang sembuh. Ini juga yang menjadi salah satu sebab banyaknya penjara di Belanda yang ‘gulung tikar’ karena tidak ada penghuninya. Bandingkan dengan Indonesia.

Di sisi lain, memang ada beberapa negara di dunia yang gagal dalam perang melawan narkotika. Hasil penelitian menegaskan kegagalan itu disebabkan berpatokan hanya pada Konvensi Tunggal Narkotika 1961. Sebut saja Amerika Serikat. Negara ini juga pernah gagal dalam perang melawan narkotika pada 1970-an. Saat itu, pelopornya justru Presiden Nixon sendiri dengan menggunakan senjata law enforcement. Baik terhadap pengedar maupun penyalah guna justru dihukum penjara. Serupa dengan Indonesia saat ini.

Maka berangkat dari pengalaman negara yang gagal dalam perang melawan narkotika itu, mengilhami masyarakat dunia untuk mengamendemen Konvensi Tunggal Narkotika 1961. Melalui Protokol 1972, arah perang melawan narkotika berganti wajah. Penyalah guna narkotika diberi alternatif penghukuman rehabilitasi.

Konvensi ini kemudian diadopsi negara-negara anggota PBB dan dijadikan dasar pembuatan UU narkotika di setiap negara peserta. Berdasarkan konvensi tersebut, Indonesia mengadopsi juga sehingga menjadi UU No 8/1976. UU ini kemudian menjadi dasar dibentuknya UU Narkotika No 9/1976 sebagai UU narkotika pertama di Indonesia.

Berdasarkan rentetan sejarahnya juga, UU 1976 mengalami pergantian menjadi UU Narkotika 1997. Terakhir menjadi UU No 35/2009 tentang Narkotika. Lalu, UU narkotika paling terakhir, saat sudah berlakunya telah beperspektif pada penegakan hukum dan kesehatan khususnya untuk menangani masalah narkotika. Itulah sebabnya dalam regulasi ini, penyalah guna diberi penghukuman berupa rehabilitasi sebagai pengganti hukuman penjara dan bersifat wajib.

Dengan demikian, rehabilitasi atau hukuman rehabilitasi terhadap penyalah guna telah menjadi ketetapan bagi seluruh bangsa di dunia. Tentunya termasuk juga Indonesia sebagai salah satu cara mematikan bisnis narkotika ilegal, di samping hukuman berat yaitu penjara atau mati khusus bagi para kelompok pengedar.

Meski demikian, kini, penerapan hukumnya justru menyimpang dari arah dan tujuan UU. Semua disebabkan selama penyidikan, penuntutan, dan peradilan, para penyalah guna banyak ‘digoreng’ untuk mengikuti proses criminal justice system yang bermuara di penjara.
Di titik ini, permasalahan pemenjaraan itu yang harus diluruskan. Tentunya agar bangsa ini tidak berjalan ke arah yang salah. Toh tujuan UU narkotika Indonesia untuk melindungi dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari masalah penyalahgunaan narkotika.

Caranya pun diatur mengikuti perkembangan dunia meski kenyataannya, penyalah guna tidak direhabilitasi atau dihukum rehabilitasi, tetapi bahkan ditahan dan dihukum penjara. Dampak ketidakpatuhan atas regulasi UU No 35/2009 tentang Narkotika itu, Indonesia menjadi sulit memenangi peperangan melawan narkotika. Bahkan segelintir pihak juga malah menyalahkan UU-nya. Mereka kerap menyatakan ‘UU-nya tidak jelas, ambigu, tidak baik, ganti’.

Di titik itu, hal ini sebenarnya telah menunjukkan arah yang salah dalam perang melawan narkotika. Nah, maukah kita memenangi perang melawan narkoba ini? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar