Rabu, 20 Desember 2017

Buruh Migran dan Bocah-Bocah Malang

Buruh Migran dan Bocah-Bocah Malang
Kalis Mardiasih ;   Menulis opini dan menerjemah;
Aktif sebagai periset dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama
                                                 DETIKNEWS, 08 Desember 2017



                                                           
Apa yang terlintas di benak ketika mendengar berita empat bocah laki-laki panti asuhan berusaha mencabuli teman perempuan seasramanya? Marah. Sedih. Tak habis pikir. Apalagi usia mereka 10 tahun, sedang korbannya perempuan teramat lugu berusia 9 tahun.

Hal yang sama terbersit dalam diri saya. Siang itu, Ibu Evi Ghozaly, seorang konsultan pendidikan dan pendamping isu anak-anak mengajak saya ke panti asuhan berkonsep pesantren tahfidz di Lampung Tengah, tempat mereka tinggal. Saya sudah memasang wajah tak simpatik ketika menjumpai wajah para remaja itu, sampai ketika mereka menceritakan kronologi kejadian.

Konon, di jalanan menuju ke sekolah yang tak jauh dari panti asuhan, sedang ada pembangunan parit. Di sanalah mereka berkenalan dengan seorang kuli bangunan yang mengajak mereka menonton video porno, lalu mengajarkan cara menyalurkan hasrat seksual.

Saya menghela napas panjang, menyadari bahwa peristiwa mendidik anak yang panjang dan melelahkan, sejak di rumah hingga sekolah, bisa mendapat hambatan hanya dari peristiwa pertemuan sesepele itu.

"Sejak kapan kalian tinggal di panti asuhan ini, Nak?" Ibu Evi bertanya. Ia selalu merundukkan badan setara dengan tinggi badan anak-anak yang ia ajak bicara. Katanya, agar detak jantung setara, dengan begitu komunikasi akan lebih efektif dan anak-anak merasa tak punya kecanggungan berterus terang kepada orang tua.

Tiga dari mereka telah tinggal selama lima tahun. Ketika itu, ibu pamit berangkat ke Malaysia untuk bekerja sebagai buruh migran. Bapaknya yang sakit-sakitan kemudian menitipkan mereka ke pemilik asrama. Si bapak lalu meninggal, dan si ibu tak pernah kembali hingga hari ini. Bahkan, tak sekalipun memberi kabar.

Air mata saya tumpah tepat ketika salah seorang dari mereka berkata lirih, "Kami kangen ibu." Betapa kesepian dalam hati mereka begitu terasa.

Data Migrant Care menyebut, saat ini sejumlah 2,5 juta buruh migran bekerja di Malaysia dan sekira 1,5 juta bekerja di Arab Saudi. Yang mengagetkan, 85% dari buruh migran itu perempuan yang bekerja sebagai buruh pabrik maupun pekerjaan domestik rumah tangga. Dan yang menyedihkan, ada mata rantai persoalan tak putus terkait rumah tangga dan pengasuhan anak dalam lingkaran setan keterdesakan ekonomi ini.

"Para istri itu mengirim uang ke kampung. Tapi, uangnya digunakan suami untuk menikah lagi. Anehnya, para istri banyak yang tak berkeinginan pulang. Alasannya macam-macam, mulai dari kekerasan dalam rumah tangga hingga status suami yang memang tak lagi bekerja. Sedangkan, perempuan lebih mudah mendapat pekerjaan di ranah domestik."

Apakah kita masih perlu bertanya mengapa banyak aktivis yang memperjuangkan hak-hak perempuan dan memberi pendidikan pengarusutamaan gender?

Dalam satu tahun, kasus tak terpenuhinya hak-hak buruh migran di luar negeri mencapai 10.000 kasus. Kasus yang tak terlaporkan sebab tingginya jumlah mereka yang memaksa bekerja di luar negeri tanpa dokumen legal, menurut perkiraan Migrant Care bisa lima kali lipatnya. Dan dari sejumlah itu, hanya 194 kasus yang dapat diselesaikan pada 2016. Kasusnya macam-macam, seperti gaji yang tak dibayarkan, kekerasan oleh majikan, hingga penipuan status pekerjaan.

Ada banyak kisah anak di bawah umur yang bekerja di perkebunan-perkebunan di Sabah dan Serawak, yang terkenal sebagai the state of stateless. Fatalnya, kasus semacam itu tak tertangani karena seringkali ternyata negara-negara tujuan buruh migran itu tak memiliki peraturan terkait perlindungan buruh migran. Oleh karena itu, beruntung, meskipun berjuang dalam waktu yang cukup lama, yakni 8 tahun, akhirnya rancangan UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) telah disahkan DPR menjadi UU pada 25 Oktober lalu.

UU PPMI itu mencakup pengurangan peran swasta secara signifikan dan dikembalikannya peran pemerintah daerah, yaitu untuk informasi, rekrutmen, pengurusan dokumen, pendidikan, dan pelatihan. Sementara, peran swasta hanya menempatkan pekerja migran yang sudah siap melalui Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA).

Selain itu, ada pula kemajuan dalam hal jaminan terhadap hak-hak pekerja migran dan anggota keluarganya, termasuk hak untuk berserikat dan berkomunikasi. Pada 18 Desember nanti, untuk pertama kalinya dalam sejarah, Presiden Jokowi akan menggelar dialog langsung bersama 3000 buruh migran.

Sepotong cerita anak di awal tadi belum merangkum anak-anak yang nasibnya lebih tak beruntung. Ada banyak anak yang sebab "kesepian" kemudian menjadi tersangka kasus pidana lalu terpaksa menjalani hidup di Lembaga Pemasyarakatan. Kang Maman, pelancong literasi yang mendampingi program pemberdayaan perpustakaan di lapas anak mengisahkan, ketika masa hukuman berakhir, mereka telanjur dilabeli sebagai anak pembuat masalah, bahkan disebut sampah masyarakat, sehingga tak punya tempat lagi di kehidupan sosial bahkan dalam lingkungan keluarga sendiri.

Kata Kang Maman, tujuan gerakan pemberdayaan literasi adalah to educate (mendidik), to empower (menguatkan), dan to enrich (memperkaya cara pandang). Pemberdayaan literasi di lapas dimulai sejak menyaring buku-buku berkualitas yang memberi manfaat dalam pendampingan mental dan teknis keterampilan anak-anak di jenjang kehidupan mereka berikutnya.

Kenyataan itu ada di sekitar kita, dekat sekali. Selama ini, kita tak menemukannya karena kita tak pernah ingin menengok kanan dan kiri. Persoalan ini ruwet seperti gulungan benang kusut, dan tidak lebih menarik daripada berdebat omong kosong soal ilusi negara imperium, syariah dan non syariah, atau bertanya agama dan amal saleh seseorang. Padahal, perintah Tuhan kepada umat manusia pertama-tama adalah membaca: membaca persoalan yang paling dekat di sekitar kita.

"Persoalan di daerah sangat banyak. Tapi, sangat sedikit mereka yang berkenan mengurai. Sebab selain tak menguntungkan, memang tak mudah dan sangat melelahkan," pesan Bu Evi Ghozaly.

Ya, lebih mudah memperbanyak amalan pribadi agar lekas-lekas masuk surga sendiri. Kasus sesederhana anak-anak kesepian ini perlu perhatian serius dengan uluran tangan. Retorika, doa, apalagi demo tak akan menuntaskannya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar