Kamis, 21 Desember 2017

Sampai Kapan Mau Pakai Hukum Warisan Belanda?

Sampai Kapan Mau Pakai Hukum Warisan Belanda?
Andi Saputra  ;  Pemerhati Hukum
                                                 DETIKNEWS, 20 Desember 2017



                                                           
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan DPR yang berwenang merumuskan delik asusila, termasuk di dalamnya bagaimana kedudukan perilaku kumpul kebo, serta lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) dalam hukum publik. Namun, setelah 72 tahun Indonesia merdeka, hukum pidana yang berlaku di Indonesia masih warisan Belanda. Apa kabar DPR, Bung?

Rancangan KUHP telah diotak-atik sejak zaman Orde Baru untuk diganti. Tapi, anggota DPR datang dan pergi berkali-kali KUHP baru tak kunjung jadi, dan warisan penjajah masih tegak berdiri. Draft KUHP akhirnya jadi proyek abadi hingga hari ini. Entah berapa uang yang sudah dihabiskan DPR RI.

Miris, Bung! Indonesia yang katanya negara berdaulat sampai hari ini belum bisa membuat rumusan hukum pidananya sendiri. Contohnya, saat merumuskan kedudukan hukuman mati. Fraksi yang mengaku dari parpol ideologis agama pun ikut goyang dengan menerima tawaran win-win solution. Boleh dihukum mati, tapi diberi waktu berkelakuan baik di penjara dalam waktu tertentu. Nah, bila berkelakuan baik, maka hukuman matinya turun menjadi bilangan penjara.

Ah, ada-ada saja, Bung!

Malah, DPR kini larut dalam Pansus dan Pansel. Lebih ramai. Lebih riuh. Fungsi pengawasan kencang, fungsi legislasi kendor.

Padahal, hukum pidana Belanda sangat kental dengan nuansa individualis budaya Eropa. Dalam budaya Belanda dan penganut hukum Kontinental, sudah biasa dalam acara ulang tahun, masing-masing tamu bayar sendiri-sendiri makanan yang dipesan.

Jamak pula seorang istri yang dalam proses cerai, membawa pasangannya ke rumah dan tidur bersama. Padahal di rumah itu masih ada suaminya. Jamak pula, mereka mendaftarkan perjanjian pranikah dengan berbagai alasan. Bukan tabu pula, dalam budaya mereka untuk berganti pasangan kelamin, sepanjang belum ada pernikahan.

Apakah budaya-budaya hukum ini juga akan diberlakukan di Indonesia, Bung?

Anehnya, dalam merumuskan delik pidana, para anggota DPR malah ramai-ramai studi bandingnya ke Eropa dan Amerika. Mengapa tidak menggali hukum pidana yang hidup di Madura, Nias, Maluku, Dayak, atau Aceh, umpamanya.

Dari studi banding di masyarakat lokal, lalu dibukukan dan dirumuskan menjadi naskah hukum pidana Nusantara. Bagaimana mau membuat pidana cita rasa Indonesia, bila yang dirujuk pidana Rusia, pidana Italia, pidana Prancis, atau pidana AS?

Kembali ke topik LGBT dan kumpul kebo. Harusnya kristalisasi hukum diambil dari hukum yang tumbuh di masyarakat di Indonesia. Bukan mengimpor paham dari Eropa, dengan berbalut konsep hak asasi.

Padahal di benua asalnya, hubungan moral dan hak asasi masih multitafsir dan tidak bisa berlaku menyeluruh di semua dataran Eropa. Kasus yang paling fenomenal adalah kasus Handyside Vs Kerajaan Inggris.

Kasus Handyside Vs Kerajaan Inggris (UK) adalah kasus yang terjadi pada tahun 70-an. Kala itu, Mr Handyside adalah penerbit buku yang sedang menyusun Little Red School Book edisi United Kingdom. Buku itu adalah buku pendidikan seksual untuk anak-anak remaja.

Ternyata, Kerajaan Inggris membreidel buku itu karena dinilai melanggar UU Publikasi, sebab Little Red School Book dinilai bermuatan cabul. Tidak hanya itu, Mr Handyside dijatuhi denda.

Tak terima dengan hukuman itu, Mr Handyside membawa kasus ini ke European Court of Human Rights. Mr Handyside menuduh Kerajaan Inggris melakukan pelanggaran kebebasan berekspresi yang dijamin oleh Konvensi HAM Eropa. Tapi, apa kata European Court of Human Rights? Gugatan Mr Handyside ini ditolak, Bung!

Dalam salah satu pertimbangannya, Pengadilan HAM Eropa itu menilai bahwa belum ada konsensus di antara negara-negara di Eropa seputar definisi moral, sehingga hal tersebut diserahkan ke masing-masing negara berdasarkan doktrin 'margin of pepreciation', bagaimana mendefinisikan moral sesuai nilai-nilai yang berkembang di masyarakat masing-masing negara.

Tapi apa daya, Bung! Tahun depan sudah masuk tahun politik. DPR dipastikan lebih riuh membahas Pilkada Serentak dan menyongsong Pileg-Pilpres 2019 yang akan digelar dalam satu waktu. Pragmatisme politik mengesampingkan tujuan Indonesia merdeka, salah satunya berdaulat di bidang hukum pidana.

Ah, sampai kapan kita dijajah hukum Belanda, Bung?! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar