Selasa, 19 Desember 2017

Akar Permasalahan Sektor Migas

Akar Permasalahan Sektor Migas
Pri Agung Rakhmanto ;  Pengajar di FTKE Universitas Trisakti;
Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia
                                                    KOMPAS, 19 Desember 2017



                                                           
Saat ini sektor migas bukan lagi primadona APBN. Kontribusinya terhadap penerimaan negara secara langsung tinggal sekitar 4-5 persen, berbeda dengan periode 1970-1980-an yang mencapai 60 persen lebih.

Penyebabnya ada dua hal. Pertama, kian berkembangnya sektor-sektor lain—dengan penggerak mula utamanya sektor migas itu sendiri—sehingga menggerakkan ekonomi nasional secara keseluruhan, dan pada akhirnya menghasilkan penerimaan negara dalam bentuk pajak. Saat ini lebih dari 85 persen penerimaan negara ditargetkan dari pajak.

Kedua, kinerja sektor migas sendiri terus menurun hampir dua dekade terakhir, tecermin dari terus menurunnya produksi minyak dan gas. Dengan tren produksi yang terus menurun, penerimaan migas di APBN praktis hanya bergantung pada pergerakan harga minyak.

Akar permasalahan terus menurunnya kinerja sektor migas terletak pada ketidakpastian hukum atau ketidakpastian aturan main yang bersumber dari UU No 22/2001 tentang Migas. Mahkamah Konstitusi (MK) telah dua kali memberikan putusan yang membatalkan pasal-pasal di dalamnya, yakni Putusan MK Nomor 002/PPU-I/2003 dan Putusan MK No 36/PUU.X/2012.

Sektor hulu

Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012 telah membatalkan Pasal 1 Angka 23, Pasal 4 Ayat (3), Pasal 41 Ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 (1), Pasal 59 Huruf a, Pasal 61, Pasal 63 UU Migas. MK membatalkan frasa ”dengan Badan Pelaksana” dalam Pasal 11 Ayat (1), frasa ”melalui Badan Pelaksana” dalam Pasal 20 Ayat (3), frasa ”berdasarkan pertimbangan dari Badan Pelaksana” dan dalam Pasal 21 Ayat (1), frasa ”Badan Pelaksana” dalam Pasal 49 dari UU Migas.

Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP Migas) dinyatakan bertentangan dengan konstitusi karena keberadaannya mengonstruksikan atau menghalangi negara melakukan pengelolaan hulu migas secara langsung atau bahkan juga menghalangi negara untuk dapat menunjuk secara langsung BUMN untuk mengelola migas.

Pengelolaan migas melalui kontrak kerja sama (KKS) yang dilakukan BP Migas dalam putusan MK itu juga dipandang bertentangan dengan konstitusi karena mengonstruksikan negara dan kontraktor berada dalam posisi sejajar/sederajat. Negara menjadi terikat dalam kontrak perdata yang harus diikuti sehingga kehilangan kedaulatan untuk membuat regulasi yang dapat berbeda/bertentangan dengan isi kontrak perdata itu.

Atas putusan ini, pemerintah hanya merespons dengan menamakan badan baru yang melaksanakan KKS migas sebagai Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas dan menempatkannya di bawah Kementerian ESDM sebagai bagian dari institusi pemerintah. Keberadaan BP Migas/SKK Migas mengonstruksikan pola pengusahaan hulu migas yang didasarkan atas sistem kontrak menjadi tak lagi business to business (B to B), melainkan government to business (G to B).

Pola pengusahaan G to B, tetapi tetap menggunakan sistem kontrak inilah yang mengakibatkan kontraktor jadi subyek pajak secara langsung sehingga prinsip perpajakan assume and discharge yang semestinya berlaku pada KKS—production sharing contract/PSC)—menjadi tak dapat diberlakukan. Kontraktor harus menanggung dan membayar pajak-pajak, bea masuk, dan pungutan lain lebih dulu, bahkan saat masih tahapan eksplorasi.

Ketidakpastian aturan main terkait perpajakan ini terus berlanjut dan tak pernah selesai meski pemerintah telah berupaya menanganinya. Prinsip assumme and discharge dan lex specialis dalam perpajakan tak pernah dapat (lagi) diterapkan dalam kegiatan usaha hulu migas.

Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah seperti pengecualian atau pembebasan bea masuk dan impor melalui berbagai peraturan, misalnya PP No 79/2010 soal Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan (cost recovery) dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Migas (PP No 79/2010), hanya menambah komplikasi permasalahan. PP No 79/2010, misalnya, hanya kian mempertegas tak berlakunya prinsip assume and discharge dalam kegiatan hulu migas.

PP No 79/2010 ini juga mengondisikan situasi di mana penentuan pengembalian cost recovery harus ditentukan melalui mekanisme penetapan APBN karena secara implisit PP ini memandang cost recovery bagian dari keuangan negara.

Akibatnya, iklim investasi hulu secara keseluruhan menjadi sangat tak kondusif dan tak menarik bagi kegiatan eksplorasi. Porsi investasi eksplorasi 15 tahun terakhir rata-rata di bawah 10 persen dari keseluruhan nilai investasi. Data SKK Migas, untuk 2017, (hingga Oktober 2017) realisasi investasi hulu hanya 6,74 miliar dollar AS (6,18 miliar dollar AS untuk eksploitasi dan 560 juta dollar AS untuk eksplorasi.

Ini terendah dalam 5 tahun terakhir. Ketidakpastian dan tidak dihormatinya aturan main menjadi akar masalah investasi yang tak kondusif dan turunnya produksi 15 tahun terakhir.

Sektor hilir

Dalam putusan Nomor 002/PPU-I/2003, MK mencabut Pasal 28 Ayat (2) dan Ayat (3) yang menyerahkan penentuan harga BBM dan gas pada mekanisme persaingan usaha. MK berpendapat harus ada ”campur tangan” pemerintah dalam penentuan harga BBM ataupun gas dalam negeri. MK juga mewajibkan pemerintah merevisi dua pasal lain, termasuk Pasal 12 Ayat (3) yang mengatur kewenangan Menteri ESDM menetapkan badan usaha yang diberi wewenang melakukan eksplorasi dan eksploitasi. Sampai kini tidak ada tindak lanjut persoalan ini. Tidak ada pasal pengganti untuk pasal yang dicabut, dan juga tidak ada revisi seperti yang diamanatkan.

Tidak ada kejelasan dalam menindaklanjuti Putusan MK No 002/PPU-I/2003 tentang dibatalkannya Pasal 28 Ayat 2 dan Ayat 3 dari UU Migas No 22/2001 menyebabkan terjadi inkonsistensi dalam penentuan dan penerapan kebijakan BBM dan gas di dalam negeri. Kebijakan harga migas dalam negeri masih terus jadi permasalahan yang belum terselesaikan hingga saat ini.

Indonesia sampai kini belum terbebas dari permasalahan mendasar subsidi (harga) BBM dan elpiji dan inefisiensi dalam pengaturan harga gas di dalam negeri. Harga tak dapat berperan sebagai instrumen yang baik untuk menciptakan pasar hilir domestik yang sehat dan efisien. Harga produk migas di dalam negeri juga tak dapat berperan memberikan sinyal yang baik untuk menarik investasi bagi pengembangan infrastruktur hilir, seperti kilang BBM, terminal penyimpanan dan depo BBM-elpiji, terminal regasifikasi, jaringan transmisi, dan distribusi gas.

Keterbatasan infrastruktur migas menyebabkan kita mengimpor 50 persen kebutuhan BBM dan hampir 70 persen elpiji. Ini menggerus devisa dan menyebabkan neraca perdagangan defisit 5,81 miliar dollar AS-14,16 miliar dollar AS pada 2012-2016.

Untuk menyelesaikan berbagai permasalahan di sektor migas, yang harus dilakukan pertama kali dan segera oleh pemerintah adalah mencabut atau merevisi UU Migas No 22/2001. Proses revisi yang sudah berjalan di DPR sejak 2009 dan belum juga selesai hendaknya diselesaikan melalui lobi politik. Pemerintah atas dasar kegentingan memaksa, untuk menciptakan kepastian hukum, dapat menerbitkan perppu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar