Rabu, 20 Desember 2017

Kenapa Muhammad Mengajari Kalian Berperang, Mas?

Kenapa Muhammad
Mengajari Kalian Berperang, Mas?
Iqbal Aji Daryono ;   Esais
                                                 DETIKNEWS, 05 Desember 2017



                                                           
Maulid Nabi baru saja berlalu. Namun yang baru saja berlalu bukan cuma Maulid, melainkan juga peristiwa pembantaian di Mesir, tragedi dengan korban umat Islam, dengan pelaku yang juga diduga kuat sesama penganut Islam.

Suka tidak suka, realitas seperti ini terus melekatkan citra kekerasan pada Islam. Hingga pertanyaan seorang kawan terus terngiang di telinga, "Kenapa nabimu mengajarimu membunuh? Kenapa?"

Pertanyaan demikian wajar adanya, dan nyaris selalu muncul dalam setiap interaksi antara muslim dan orang-orang yang tidak terlalu kenal Islam. Dalam khazanah teks suci Islam, toh kata-kata 'perang' dan 'membunuh' memang tidak sedikit.

Secara umum, para ulama dan guru ngaji menjawabnya dengan penjelasan agama. Dari sebab-sebab turunnya ayat, penafsiran dengan ayat-ayat lain, hingga membandingkan dengan riwayat-riwayat yang menunjukkan ajaran kasih sayang dan kelembutan ala Muhammad.

Sayangnya, penjelasan-penjelasan semacam itu acap kali sulit menancap secara permanen dalam pemahaman publik awam. Sebab cara baca kita jadi sangat parsial, harus kasus per kasus, dari konteks turunnya ayat tertentu yang tidak sama dengan ayat yang lain.

                                                       ***

Tentu saya tidak menolak penjelasan-penjelasan ala ulama. Namun kenapa belum diangkat sentuhan perspektif lain yang dapat ditangkap dengan lebih gampang, sekaligus lebih mencakup penjelasan umum atas kasus-kasus ajaran Islam yang memunculkan diksi-diksi kekerasan?

Dalam hal ini, saya rasa pisau "ilmu sekuler" sangat bisa dirangkul. Yakni dengan pengetahuan selintas atas sosiologi masyarakat zaman Muhammad berikut bahasa-bahasa mereka, sekaligus pemahaman atas konstruksi sosial yang berlaku pada zaman dan pada masyarakat tersebut.

Begini maksud saya. Penjelasan atas topik "Islam dan Kekerasan" mesti berangkat dari pemahaman bahwa Muhammad hidup pada satu masa ketika Mekah dan sekitarnya adalah tanah gung liwang liwung, kalau istilah Jawanya. Negeri tak bertuan. Dua kekaisaran besar memang mengapitnya, yaitu Romawi Byzantium dan Persia Sasanid. Tapi Mekah sendiri tidak berada dalam wilayah hukum dan politik kedua kekaisaran itu.

Jadi kondisinya, tidak ada sistem hukum apa pun yang berjalan di Mekah waktu itu. Masyarakatnya berkarakter tribalistik, terbagi dalam klan-klan keluarga. Keseimbangan dan keteraturan dijaga lewat satu cara: vendetta, balas dendam. Jika orang dari Bani Anu menyakiti anggota Bani Itu, misalnya, maka keluarga dari Bani Itu akan menuntut balas.

Walhasil, orang akan berpikir seribu kali kalau mau macam-macam. Risikonya besar, sebab perang antarklan bisa terjadi. Saling bunuh sebagai mekanisme berjalannya keadilan pun merupakan hal yang wajar dan semestinya.

Jadi jangan membayangkan bahwa sebuah tindakan kriminal di Mekah pada tahun 570 Masehi akan berakibat terjunnya aparat negara, digelarnya pengadilan, jatuhnya hukuman formal, dan penegakan hukum. Tak ada aspek-aspek itu dalam masyarakat Arab pada zaman Muhammad khususnya pra-Islam.

Dalam sebuah masyarakat yang lekat dengan perang sebagai sarana penegak keadilan, tentu konsep keperkasaan sangat determinan. Dari situ tampak bahwa nilai-nilai yang hidup pada zaman tersebut ya sekitar-sekitar itu: kekuatan, keperkasaan, nama besar, dominasi. Martabat sebuah klan dibangun dengan kekuatan fisik, sehingga salah satu "bahasa" paling efektif yang berlaku adalah bahasa kekerasan.

Nah, pada masyarakat dengan karakter seperti itulah Muhammad diutus.

Situasi sosio-historis seperti itu berbeda dengan para penyeru lain, yang hidup di negeri-negeri yang mapan dan teratur. Siddharta Gautama, misalnya, hidup di Republik Shakya, pada masa Raja Suddhodana alias ayahanda Siddharta sendiri. Yesus Kristus hidup di wilayah yurisdiksi Kekaisaran Romawi pada masa Kaisar Augustus. Konfusius lahir di Tiongkok pada masa Dinasti Zhou.

Adapun Muhammad menyeru kepada sebuah masyarakat tribal yang menggunakan bahasa kekerasan sebagai bahasa sehari-hari. Sementara, seorang penyeru tak akan digubris ketika ia berbicara dengan bahasa asing, begitu logika simpelnya. Maka Muhammad pun menempatkan instrumen kekerasan sebagai salah satu alat penting untuk berkomunikasi dengan masyarakat yang dimentorinya. Kenapa? Karena, sekali lagi, memang bahasa itulah yang dipahami oleh masyarakat Arab pada masa itu.

Lantas apakah artinya Muhammad kejam, karena mengakomodasi bahasa kekerasan? Tunggu dulu.

                                                            ***

Kejam dan tidak kejam adalah kesan, dan kesan adalah perkara konstruksi sosial. Ia tidak berlaku universal, sangat terkait kesepakatan di tiap masyarakat, sangat terkait pula dengan pandangan dunia pada tiap zaman.

Saya ambil contoh yang gampang-gampangan saja untuk memahami sisi ini. Begini. Ada beberapa kelompok masyarakat di negeri kita yang mengonsumsi daging anjing. Melihat itu, banyak orang akan berteriak "Animal cruelty! Ayo lawan dengan petisi!" Ingat kasus protes masyarakat atas festival masakan daging anjing di Cina waktu itu. Ingat juga petisi yang mengkritik supermarket di Manado yang menjual potongan bagian tubuh anjing dalam kemasan.

Namun sejatinya, para pemrotes itu lupa bahwa tradisi makan daging anjing sudah menjadi kebiasaan kelompok-kelompok masyarakat tersebut selama ratusan tahun. Bahkan Jumat lalu seorang kawan asli Medan bercerita, sewaktu kecil kalau dia sakit ibunya akan menyuapinya dengan sup daging anjing.

Artinya, dalam kesepakatan sosial masyarakat-masyakarat tersebut, menyantap daging anjing sama sekali bukan tindakan kekejaman.

Ini tak bedanya dengan para pemrotes tadi. Mereka menolak konsumsi daging anjing, padahal lahap menyantap ayam dan sapi. Tidak sadarkah mereka bahwa di mata kelompok-kelompok spiritual penganut vegetarian, atau di mata orang-orang beragama Sikh yang total vegan, misalnya, memakan daging sapi pun bentuk kekejaman tak terperi?

Dari situ maknanya jelas, yaitu konsep kejam dan tak kejam adalah perkara relatif, tergantung konstruksi sosial dari sebuah masyarakat.

Kita bisa menariknya lagi ke kekejaman manusia atas manusia. Ambil contoh, hukuman-hukuman fisik yang dijalankan manusia-manusia Abad Pertengahan di Eropa. Kita tidak bisa semena-mena mengatakan bahwa hukuman bakar sampai mati di api unggun atas Joan of Arc pada 1431 di Prancis merupakan kekejaman yang berlawanan mutlak dengan konsep kekejaman versi kita di zaman ini. Kita pun tak bisa menyebut bahwa seorang Raja Mataram melanggar HAM, karena ia menghukum punggawanya yang gagal menjalankan tugas dengan cara melemparkannya ke kandang buaya.

Maka kembali lagi, konsep kejam di masyarakat tribal Arab yang tidak mengenal jurisprudensi, pada 1500 tahun lalu (sekali lagi: seribu lima ratus tahun lalu), tak dapat kita nilai dengan kacamata ala HAM pada masa ketika konstruksi sosial atas nilai-nilai kemanusiaan sudah semakin seragam di abad XXI, masa ketika dunia mengkeret menjadi kampung global gara-gara internet dan media.

                                                              ***

Ajaran-ajaran Islam yang kadangkala dekat dengan kekerasan harus dilihat sebagai "bahasa", instrumen untuk menyampaikan substansi-substansi ajaran, yang sangat terkait dengan semangat zaman pada 1,5 milenium silam. Itulah poinnya. Posisi bahasa adalah semata alat, bukan esensi dan spirit ajaran.

Bahasa akan terus berubah mengikuti zaman, mengikuti konstruksi-konstruksi yang dibentuk pada setiap era dan setiap peradaban. Sementara esensi, substansi, dan spirit ajaran Muhammad akan tetap abadi dan universal.

Di zaman kita sekarang ini, marwah, martabat, kehormatan, tidak dibangun dari keperkasaan yang berbasis kekuatan fisik. Manusia dan peradaban terus tumbuh, membentuk bahasa-bahasa kebudayaan yang baru. Masa 1,5 milenium itu panjang, amat panjang, dan cara berpikir serta pandangan dunia masyarakat di zaman ini sudah jauh berbeda.

Maka mereka yang masih gemar menggunakan kekerasan sebagai jalan meraih kualitas keislaman adalah fosil-fosil purba yang enggan beranjak dari puing-puing sejarah. Mereka sibuk merayakan alat, sembari gagal menangkap esensi ajaran-ajaran Muhammad. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar