Kamis, 21 Desember 2017

Komunikasi Krisis Partai Golkar

Komunikasi Krisis Partai Golkar
Gun Gun Heryanto ;  Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute; 
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
                                          MEDIA INDONESIA, 21 Desember 2017



                                                           
PARTAI Golkar baru saja melalui momentum sangat krusial terkait dengan eksistensinya di tengah krisis yang datang bergelombang. Musyawarah nasional luar biasa (munaslub) akhirnya mengukuhkan posisi Airlangga Hartarto sebagai nakhoda Golkar menggantikan Setya Novanto yang terjerembap akibat kasus hukum yang dialaminya. Untuk kesekian kalinya, solusi yang dilakukan Golkar sesungguhnya terletak pada dominannya peran komunikasi politik dalam mengatasi krisis organisasi.

Manajemen krisis

Krisis yang dialami Golkar belakangan sesungguhnya bukan persoalan sederhana. Ketua Umum Golkar yang sekaligus Ketua DPR RI ditetapkan tersangka yang kemudian menjadi terdakwa. Selain merusak citra dan reputasi partai yang telah ada sejak era Orde Baru ini, krisis bisa memantik bangkitnya faksi-faksi di internal untuk kembali berkontestasi pascakonflik hebat dua kubu, yakni Agung Laksono dan Aburizal Bakrie.

Krisis yang dialami Golkar terkait dengan Novanto sebenarnya bisa disebut sebagai smoldering crisis. Yakni krisis serius yang sesungguhnya terjadi di institusi, tetapi sedari awal potensi krisis sesungguhnya sudah teridentifikasi. Krisis jenis ini biasanya muncul akibat konflik internal atau persoalan hukum yang mengemuka.

Dalam konteks Golkar, nama Novanto sudah lama disebut dalam kasus hukum termasuk kasus KTP-E. Meski demikian, Novanto justru yang melaju menjadi alternatif di tengah kerasnya perang faksi ARB vs Agung Laksono. Sudah bisa ditebak, Golkar akhirnya tersandera oleh persoalan hukum yang dialami ketua umumnya. Waktu berjalan, isu pun menjalar menjadi krisis.

Sesungguhnya dalam konteks komunikasi, yang dialami Golkar ini sudah lama bisa diprediksi menjadi krisis. Merujuk pada pandangan Michael Regester dan July Larkin, Risk Issues and Crisis Management (2000:48), krisis tidak serta-merta ada, tetapi berjalan dari isu potensial, lalu muncul menjadi aktual yang diketahui khalayak luas terlebih mendapatkan liputan media yang masif, dan krisis pun memuncak. Tahap berikutnya yang harus dikelola saat krisis melanda adalah dormant, yakni membuat situasi menjadi normal, tenang jika gagal tentunya akan memorak-porandakan Golkar.

Golkar harusnya menjadikan kasus Setya Novanto sebagai pelajaran berharga. Jika organisasi dipimpin orang atau sekelompok orang yang memiliki persoalan hukum, sebesar apa pun organisasi tersebut pelan tapi pasti akan menuju ke titik nadir krisis. Pola krisis seperti ini meminjam tipologi krisis Larry Smith dari Institute for Crisis Management, bukan kategori bizzare crisis yakni jenis krisis yang tidak bisa diperkirakan dari apa yang telah dilakukan. Juga bukan sudden crisis alias krisis yang datang tiba-tiba tanpa gejala apa pun.

Hal yang dialami Golkar bisa masuk kategori perceptual crisis, di saat internal tidak menyadari akan terjadi hal buruk, tetapi publik sesungguhnya telah memersepsikan terjadi sesuatu yang salah, terutama dengan terpilihnya Novanto menjadi solusi krisis hubungan antagonistis antarfaksi. Namun, penulis lebih pas menggambarkan krisis Golkar ini sebenarnya ialah smoldering crisis, yakni tahu dan mengidentifikasi ada masalah, hanya membiarkan masalah tersebut hingga akhirnya meledak menjadi krisis.

Yang menyelamatkan Golkar saat ini ialah posisinya dalam habitus kekuasaan. Setelah memutar haluan politik dari pendukung dan pengusung Prabowo di Koalisi Merah Putih, Golkar lantas menjadi bagian kekuasaan dengan memasukkan Airlangga Hartarto menjadi representasi dukungan Golkar di Kabinet Kerja. Dukungan pada Jokowi di Pemilu 2019 menjadi peneguh posisi Golkar di habitus kekuasaan saat ini.

Saat krisis meledak di penghujung masa kejayaan Novanto, Airlangga Hartarto menjadi sosok yang bisa merekatkan semua faksi yang bertarung. Posisi strategis Airlangga menjembatani Golkar dengan pemerintahan Jokowi sekaligus menjadi skema the best alternative to negotiated agreement (BATNA) paling realistis Golkar saat ini. Itulah mengapa saat nama Airlangga melambung, hampir semua faksi yang ada menahan diri dan tak menghadirkan ‘huru-hara’ berarti di gelanggang munaslub.

Pascamunaslub

Golkar di bawah Airlangga wajib melakukan kerja cepat, strategis, dan berorientasi penyelesaian krisis secara sistemis pascamunaslub. Ada empat langkah strategis yang sebaiknya menjadi prioritas. Pertama, strategi perubahan adaptif terkait dengan konsolidasi internal. Golkar harus terbuka dengan perubahan serta punya kesadaran hal ini tak bisa dihindari. Struktur partai harus diisi orang-orang yang selain kompeten juga tidak bermasalah! Perombakan di jajaran pengurus pusat Golkar dibutuhkan dalam konteks manajemen reputasi organisasi. Golkar beruntung surplus dengan politisi berpengalaman. Hanya, ‘pemain bintang’ saja tak cukup, butuh team work yang solid dan tidak egosentris.

Golkar butuh dikelola dalam kebersamaan, bukan dijalankan seperti perusahaan, terlebih jika bergantung pada oligarki elite yang korup. Akankah Airlangga menempuh perubahan adaptif atau kembali ke pola lama, yakni membiarkan solusi ‘setengah hati’? Kedua, manajemen reputasi politik yang dimulai dengan pengisian jabatan Ketua DPR yang berasal dari Golkar secepatnya. Airlangga harus tegas dan berani memilih orang yang relatif tidak bermasalah untuk mengisi jabatan Ketua DPR karena akan menjadi perwajahan Golkar di muka publik. Pada posisi ini, Golkar tak lagi bisa bermain-main dengan kepercayaan publik jika tak ingin terus terpuruk. Saat Ketua DPR dipegang dan dikendalikan Novanto, banyak pemberitaan negatif yang tak hanya merugikan DPR tetapi juga merugikan Golkar.

Ketiga, fokus pada pengelolaan kontestasi elektoral di pilkada serentak 2018 dan Pileg serta Pilpres 2019. Ada 171 daerah yang berpilkada dan di antara mereka terdapat daerah-daerah kunci pertarungan (battleground) nasional seperti Jabar, Jateng, dan Jatim. Hal yang penting dilakukan Partai Golkar ialah terukur dan konsisten dalam setiap keputusan yang telah diambil. Misalnya dalam proses kandidasi, jangan sampai hari ini memutuskan memberi rekomendasi, di lain hari dengan mudah dicabut dan digantikan dengan rekomendasi kepada orang lain.

Dalam jangka panjang, ini tak menguntungkan bagi Golkar karena akan muncul ketidakpercayaan atas keputusan-keputusan dan sikap yang diambil partai. Contoh terdekat, seperti dialami di Jabar di saat Golkar tak konsisten. Awalnya memberi rekomendasi resmi ke Ridwan Kamil, tetapi berujung pada pencabutan dukungan setelah pergantian nakhoda baru. Sebelum keputusan organisasi diambil, Golkar harus mempertimbangkan banyak hal. Akan tetapi, setelah keputusan dikeluarkan, konsistensi atas pilihan itulah yang harusnya dilakukan sebagai bentuk etika dan keadaban berpolitik.

Keempat, bekerja di publik. Golkar sebagai partai kekaryaan sudah cukup lama berkurang jauh kiprahnya dalam hal-hal yang dirasakan kehadiran di publik. Banyak isu dan tuntutan menyangkut kepentingan publik yang perlu diagregasi dan diperjuangkan Golkar. Misalnya, Golkar bisa mulai dengan menghentikan manuver politisi mereka di DPR yang berpotensi melemahkan KPK. Saatnya Golkar berbenah. Jika tidak, perlahan akan punah! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar