Selasa, 14 Juni 2022

 

Seberapa Berbahaya Khilafatul Muslimin

Riky Ferdianto :  Wartawan Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 11 Juni 2022

 

 

                                                           

KETUA Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin Indonesia Irfan Awwas, 61 tahun, masih mengingat pertemuannya dengan pemimpin tertinggi Khilafatul Muslimin, Abdul Qadir Hasan Baraja, pada Januari 1997. Abdul Qadir, kini berusia 77 tahun, saat itu mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Kalisosok, Surabaya.

 

Abdul Qadir Hasan Baraja memberikan secarik kertas kepada Irfan. Isinya sebuah maklumat yang mengajak para tokoh menegakkan syariat Islam lewat sistem khilafah. “Maklumat itulah yang di kemudian hari jadi dasar bagi pendirian Khilafatul Muslimin,” kata Irfan pada Jumat, 10 Juni lalu.

 

Abdul Qadir meminta Irfan menyunting susunan kalimat maklumat itu. Ia juga meminta Irfan menyebarkan maklumat tersebut kepada tokoh Islam lain. Sembari maklumat disebarkan, pengusaha percetakan itu membantu Abdul Qadir merancang logo Khilafatul Muslimin. Bentuknya mengadopsi kaligrafi bergenre kufi. Sejak saat itu, logo Khilafatul Muslimin adalah buatan Irfan.

 

Maklumat Khilafatul Muslimin berisi sembilan poin yang memuat prinsip dan visi-misi organisasi. Abdul Qadir secara resmi mendeklarasikan maklumat itu pada 18 Juli 1997, saat masih berada di dalam bui. Ia baru menghirup udara bebas pada awal 2000.

 

Kini Khilafatul Muslimin menjelma organisasi dengan ribuan pengikut dan ratusan ribu simpatisan. Abdul Qadir Hasan Baraja menjadi khalifah alias pemimpin tertinggi. Bermarkas di Jalan W.R. Supratman, Bandar Lampung, puluhan cabang Khilafatul Muslimin tersebar dari Aceh hingga Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, yang terbagi atas tiga kawasan: Daulah Sumatera, Daulah Jawa-Madura, dan Daulah Indonesia Timur.

 

Mereka memiliki struktur kabinet dan sistem pendidikan sendiri. Jumlah pesantren yang mereka kelola mencapai 36 unit. Pengikut Khilafatul membaur ke masyarakat dan mendatangi masjid untuk berdakwah. “Setiap orang yang mau bergabung harus dibaiat terlebih dahulu,” kata Sekretaris Khalifah (Kaatibul Kholifah) Khilafatul Muslimin Abdul Aziz.

 

Pergerakan Khilafatul Muslimin kini terjegal. Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya menangkap Abdul Qadir Hasan Baraja di Bandar Lampung pada Selasa subuh, 7 Juni lalu. Ia diciduk setelah konvoi kendaraan bermotor anggota Khilafatul Muslimin di Cawang, Jakarta Timur, viral di media sosial beberapa hari sebelumnya. Polisi juga menangkap tiga pemimpin Khilafatul Muslimin Brebes, Jawa Tengah, yakni Ghazali Ipnu Taman, Dasmad bin Surjan, dan Adha Sikumbang.

 

Polisi menjadikan mereka tersangka dengan tuduhan mengusung ideologi khilafah yang terlarang dan anti-Pancasila serta membuat keonaran. Polisi menjerat keempatnya dengan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan dan Undang-Undang Peraturan Hukum Pidana. Hukuman pasal ini 20 tahun penjara.

 

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Endra Zulpan mengatakan Abdul Qadir Baraja ditangkap lantaran organisasi yang ia pimpin kerap memprovokasi dan mendiskreditkan pemerintahan yang sah. “Mereka menolak Pancasila dan menawarkan solusi khilafah untuk menyejahterakan umat,” ujarnya.

 

Setelah Baraja, polisi juga menangkap Abdul Aziz dan Ali Imron, pengelola Pondok Pesantren Ukhuwwah Islamiyyah Khilafatul Muslimin di Margodadi-Sumber Jaya, Jatiagung, Lampung Selatan, pada 11 Juni siang.

 

Polisi yang menggeledah kantor pusat Khilafatul Muslimin di Bandar Lampung konon menemukan uang tunai Rp 2 miliar di salah satu ruangannya. Amir atau pemimpin Khilafatul Muslimin Wilayah Bekasi Raya, Abu Salma, membenarkan uang dalam pecahan Rp 100 ribu tersebut milik Khilafatul Muslimin. “Itu uang operasional organisasi yang belum sempat terpakai. Kami siap menjelaskan dari mana asalnya,” ucapnya.

 

Konvoi sepeda motor anggota Khilafatul Muslimin sebenarnya berlangsung sejak 2018. Acara ini bahkan digelar setidaknya empat bulan sekali di daerah tertentu.

 

Seseorang yang mengetahui penyidikan kasus ini mengatakan polisi baru sekarang menangkap para petinggi Khilafatul Muslimin lantaran adanya keresahan publik yang makin besar. Apalagi Khilafatul Muslimin bercita-cita mendirikan khilafah.

 

Peneliti terorisme dan penulis buku NII Sampai JI: Salafy Jihadisme di Indonesia, Solahudin, mengatakan perburuan terhadap pimpinan Khilafatul Muslimin merupakan respons atas kekhawatiran organisasi ini yang mulai membesar. “Apalagi ada upaya pembangkangan seperti memungut pajak secara mandiri,” katanya.

 

•••

 

ABDUL Qadir Hasan Baraja tak mengangkat diri sebagai khalifah. Awalnya ia menawarkan jabatan Amirul Mukminin Khilafatul Muslimin kepada beberapa tokoh yang juga mantan penggawa Negara Islam Indonesia (NII). Semuanya menolak dengan alasan beragam. Salah satunya tak setuju dengan konsep khilafah yang diusung Khilafatul Muslimin.

 

Irfan Awwas termasuk yang menolak tawaran menjadi khalifah. Ia juga menolak tawaran Abdul Qadir sebagai kaatibul aam, posisi yang setara dengan sekretaris jenderal. Lagi-lagi Irfan menolak. Ia dan tokoh lain mengembalikan tawaran itu dengan meminta Abdul Qadir yang menjadi khalifah. “Karena dialah yang memiliki gagasan itu,” ujar Irfan.

 

Abdul Qadir akhirnya menjadi khalifah, tapi hanya untuk sementara. Dalam maklumat Khilafatul Muslimin yang sudah diperbarui, pemimpin Khilafatul Muslimin dan khalifah definitif bakal ditentukan di masa depan lewat musyawarah tingkat internasional yang akan dihadiri para amir (pemimpin) dan cendekiawan muslim dari seluruh dunia. Hingga kini rencana itu masih angan-angan.

 

Siapa Abdul Qadir Baraja? Ia pernah masuk penjara karena terlibat bom Candi Borobudur pada 1985. Ia juga pernah masuk bui pada 1979 dalam kasus teror Warman. Kedua kasus ini muncul saat ia masih menjadi anggota Komando Jihad, yang berafiliasi ke Negara Islam Indonesia. Ia juga berkawan dengan pendiri Pondok Pesantren Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah, dan Jamaah Islamiyah, Abu Bakar Ba’asyir dan Abdullah Sungkar.

 

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Boy Rafli Amar menjelaskan, Abdul Qadir Baraja adalah kader NII dari faksi Abu Toto alias Panji Gumilang. Panji adalah pemilik Pondok Pesantren Al-Zaytun di Indramayu, Jawa Barat, dan disebut dekat dengan kelompok intelijen.

 

Kini Khilafatul Muslimin berkembang di banyak daerah hingga kawasan timur Indonesia. “Mereka juga punya struktur mulai tingkat amir khilafah hingga kemas’ulan (setingkat pemerintah desa),” kata Boy.

 

BNPT menganggap Khilafatul Muslimin memiliki kesamaan dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang juga mendukung sistem khilafah. Pemerintah melarang HTI pada Mei 2018 karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila serta merongrong negara. “Aktivitas Khilafatul Muslimin sudah dianggap mengancam kedaulatan negara,” ujarnya.

 

Pengamat terorisme dari Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh, Al Chaidar, tak percaya Khilafatul Muslimin disebut melawan pemerintah. Ia pernah berbaiat kepada Khilafatul Muslimin dan beberapa kali menjadi teman diskusi Abdul Qadir. “Khilafatul Muslimin memang organisasi fundamentalis, tapi tidak radikal dan intoleran,” ucapnya.

 

Khilafatul Muslimin tak mengenal model takfiri, mengkafirkan orang lain yang tidak searah jalan. Sebagian di antara anggota dan simpatisannya bahkan berasal dari kalangan nonmuslim. Mereka juga hidup berdampingan dan terbuka dengan masyarakat sekitar.

 

Solahudin turut ragu akan kaitan Abdul Qadir Hasan Baraja dengan Panji Gumilang. Secara genealogi, Abdul Qadir adalah kader NII dari faksi Ajengan Masduki. Meski di bawah satu nama organisasi, mereka tidak berada dalam satu garis perjuangan. “Waktu itu ada tiga faksi NII,” katanya. Faksi ketiga adalah Abu Fatah, yang pernah memproklamasikan diri sebagai Panglima NII.

 

Berbeda dengan Chaidar, Solahudin menganggap Khilafatul Muslimin berbeda dengan Hizbut Tahrir Indonesia. “HTI itu mencita-citakan pendirian negara Islam, sementara Khilafatul Muslimin sudah mendirikan,” ujarnya. Mereka juga dianggap berbeda dengan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), yang mengangkat senjata untuk mendirikan khilafah.

 

Sewaktu ISIS berdiri, Abdul Qadir Hasan Baraja menyurati Abu Bakar al-Baghdadi. Ia meminta Baghdadi berbaiat kepadanya. Baraja mengklaim ebih dulu memproklamasikan Khilafatul Muslimin ketimbang ISIS. “Ada ajaran di mereka: jika terdapat dua khilafah, baiatlah yang kedua kepada yang pertama atau perangi mereka,” kata Solahudin. Doktrin ini konon diambil dari riwayat Umar bin Khattab.

 

Sekretaris Khilafatul Muslimin Abdul Aziz membantah jika organisasinya bertujuan mengganti Pancasila sebagai ideologi negara. Khilafatul Muslimin, kata dia, ditujukan sebagai otoritas keagamaan tertinggi, mirip Keuskupan Katolik di Vatikan. “Jadi kalau ditanya siapa pemimpin Anda, ya presiden, sementara pemimpin agama berlaku di seluruh dunia,” tuturnya.

 

Khilafatul Muslimin juga tak gampang terbawa arus. Solahudin mengatakan Khilafatul Muslimin menjadi salah satu kelompok Islam yang menolak bergabung dengan Front Pembela Islam saat mendemo mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam kasus penistaan agama atau biasa disebut Demo 212. “Mereka menolak ikut karena merasa Ahok sudah mendapat hukum yang adil,” katanya.

 

Mereka bahkan menolak disamakan dengan HTI. Khilafatul Muslimin juga mengkampanyekan perdamaian. Mereka menolak perang. “Sejak berdiri, belum pernah ada jejak kekerasan yang kami lakukan,” kata Abdul Aziz.

 

Setelah penangkapan Abdul Qadir Baraja dan sejumlah tokohnya, kantor pusat Khilafatul Muslimin di Jalan W.R. Supratman Bandar Lampung tampak berantakan seusai polisi menggeledahnya. Bangunan berlantai empat itu, selain digunakan sebagai sekretariat, berfungsi sebagai tempat tinggal Abdul Qadir dan pengurus lain.

 

Amir Khilafatul Muslimin Daulah Jawa-Madura, Hamzah, juga mempertanyakan pemidanaan terhadap Abdul Qadir Hasan Baraja dan pimpinan lain. Ia menganggap konvoi kendaraan yang terjadi di Cawang, Jakarta Timur, ataupun di Brebes, Jawa Tengah, bukan pelanggaran pidana.

 

Kegiatan itu rutin diselenggarakan sejak empat tahun lalu. Tujuannya, kata Hamzah, untuk menyiarkan gagasan Khilafatul Muslimin kepada umat Islam secara luas. “Konvoi itu gagasan saya sebagai amir daulah. Semestinya saya yang ditangkap,” ucapnya.

 

Selain melakukan konvoi terbuka, Khilafatul Muslimin memakai sejumlah sarana lain untuk menyebarluaskan ajaran mereka. Di antaranya dengan menerbitkan buletin, menyebarkan pamflet, dan membuat situs organisasi.

 

Bahkan, kata Hamzah, Khilafatul Muslimin telah memiliki 36 lembaga pendidikan yang tersebar di sejumlah provinsi mulai tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Mereka juga memiliki kurikulum sendiri. Umumnya mereka mempelajari Al-Quran dan hadis. “Yang terbesar ada di Lampung dan Nusa Tenggara Barat,” tuturnya.

 

Sekolah-sekolah tersebut berada di bawah Yayasan Pendidikan Khilafatul Muslimin. Berbeda dengan Kepengurusan Khilafatul Muslimin yang tak mencatatkan diri, mereka mendaftarkan yayasan ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 31 Mei 2011.

 

Yayasan yang berkedudukan di Kompleks Ratal, Kelurahan Pekayon, Kota Bekasi, ini dirintis oleh enam orang. “Salah satunya Abdul Qadir Hasan Baraja,” ujar Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Hukum dan HAM Hantor Situmorang.

 

Meski mendaftarkan diri di sejumlah catatan negara, anggota dan keluarga Khilafatul Muslimin hidup berdampingan dengan komunitas dan penganut agama lain dengan damai.

 

Contohnya di Kampung Khilafah yang terletak di Jalan R.A. Basyid, Dusun Karang Anom, Desa Karang Sari, Kecamatan Jatiagung, Kabupaten Lampung Selatan. Luasnya sekitar tiga hektare dan dihuni sekitar 40 keluarga. Siapa pun boleh masuk dan berkunjung ke wilayah ini asalkan menutup aurat dan tak merokok.

 

Ada kalanya mereka mengundang warga sekitar menghadiri acara hajatan seperti pesta pernikahan. Penduduk Dusun Karang Anom juga berbaur dengan penduduk Kampung Khilafah. Mereka tak mempermasalahkan kehadiran Khilafatul Muslimin. “Kami di sini sudah bertahun-tahun hidup saling menghormati,” kata Sutris, pemilik warung yang berdekatan dengan Kampung Khilafah. ●

 

Sumber :   https://majalah.tempo.co/read/laporan-utama/166181/seberapa-berbahaya-khilafatul-muslimin

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar