Selasa, 14 Juni 2022

 

Dari Mana Sumber Dana Operasional Khilafatul Muslimin

Agung Sedayu :  Wartawan Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 11 Juni 2022

 

 

                                                           

PULUHAN bocah berusia 6-10 tahun berhamburan keluar dari Masjid Kekhalifahan Islam di kawasan Pesantren Ukhuwwah Islamiyyah, Pekayon, Bekasi, Jawa Barat, pada Kamis sore, 9 Juni lalu. Pesantren Ukhuwwah Islamiyyah, salah satu pesantren milik Khilafatul Muslimin yang dipimpin oleh Abdul Qadir Hasan Baraja, memang tak memiliki ruangan kelas khusus untuk belajar.

 

Proses belajar santri laki-laki dilakukan di dalam masjid. Santri perempuan belajar di asrama. “Kami memiliki sekitar 250 santri yang berasal dari berbagai daerah. Meski fasilitas sederhana, semua siswa tidak dipungut biaya,” ujar pengasuh Pondok Pesantren Ukhuwwah Islamiyyah, Muhammad Firdaus.

 

Khilafatul Muslimin memiliki empat jenjang pendidikan dengan masa pendidikan singkat. Pendidikan dasar setara dengan sekolah dasar diberi nama Unit Khalifah Usman Bin Affan. Masa pendidikannya hanya tiga tahun. Sedangkan pendidikan menengah setara dengan sekolah menengah pertama disebut Unit Khalifah Umar Bin Khattab yang ditempuh selama dua tahun.

 

Masa pendidikan tingkat atas atau Unit Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq juga berlangsung selama dua tahun. Untuk pendidikan tinggi atau Al-Jami’ah Khalifah Ali Bin Abi Thalib wajib diselesaikan dalam waktu dua tahun. Masa pendidikan yang lebih pendek memungkinkan para santri menjadi sarjana ala Khilafatul Muslimin di usia 16 tahun.

 

Model pendidikan yang berbeda dengan lembaga pendidikan umum itu menjadikan para santri lulusan pesantren hanya bisa melanjutkan pendidikan mereka di lembaga pendidikan Khilafatul Muslimin. Mereka tak mengacu pada kurikulum yang disusun Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi serta Kementerian Agama.

 

Itu sebabnya mereka tak mengandalkan dana bantuan pemerintah. Dana operasional pesantren berasal dari sumbangan jemaah melalui pengurus Khilafatul Muslimin setempat serta infak wali santri dan masyarakat umum. “Paling banyak justru dari masyarakat umum, tapi berupa beras dan makanan,” kata Firdaus.

 

Amir atau pemimpin Khilafatul Muslimin Wilayah Bekasi Raya, Abu Salma, mengatakan Pesantren Ukhuwwah Islamiyyah adalah lembaga pendidikan pertama yang dikelola Khilafatul Muslimin. “Ini yang paling tua. Kemudian berkembang di berbagai daerah,” tuturnya.

 

Pada 2011, pengurus Khilafatul Muslimin mendaftarkan Yayasan Pendidikan Khilafatul Muslimin ke Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Abdul Qadir Hasan Baraja tercatat sebagai salah satu pendiri yayasan.

 

Saat ini Khilafatul Muslimin memiliki 36 pesantren yang tersebar di 18 kabupaten dan kota. Dua di antaranya pesantren setingkat tingkat perguruan tinggi yang berada di Lampung dan Nusa Tenggara Barat. Hampir semua lembaga pendidikan berada di bawah naungan yayasan. Untuk pelajaran, mereka mengutamakan pendidikan Al-Quran dan hadis.

 

Tempo mendatangi pesantren Khilafatul Muslimin di Desa Sanolo, Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, pada Jumat, 10 Juni lalu. Kondisi pesantren di sana cukup bersahaja. Tidak ada ruangan khusus yang menjadi tempat belajar santri kecuali satu bangunan berbentuk pendapa tanpa dinding seluas 10 meter persegi.

 

Tampak puluhan santri belajar di bawah pohon didampingi guru mereka. Saat ini ada sekitar 300 santri yang belajar di sana. “Anak-anak lebih suka belajar di bawah pohon asam. Tidak ada ruang tertutup di sini, semua di alam terbuka,” ujar Amir Khilafatul Muslimin Wilayah Bima, Farid.

 

Suasana sederhana juga terlihat di Pondok Pesantren Ukhuwwah Islamiyyah (PPUI) Khilafatul Muslimin di Margodadi, Kecamatan Jatiagung, Kabupaten Lampung Selatan. Beberapa bangunan bahkan tampak hanya berdinding bata merah dan belum diplester. “Kami sedang renovasi. Jadi semua tempat dipakai untuk belajar,” kata Dani Purnama, pengurus PPUI Khilafatul Muslimin.

 

Di lokasi yang sama juga terdapat pesantren tingkat perguruan tinggi atau Jami'ah Khalifah Ali Bin Abi Thalib. “Sementara ini, belum ada jurusan tertentu. Penekanan kurikulum masih sebatas pembelajaran Al-Quran,” ucap Penanggung Jawab Harian Jami'ah Khalifah Ali Bin Abi Thalib, Juhana Mukhlis.

 

Para “mahasiswa” di sana berusia belia, rata-rata 14 tahun. Para santri mendapat pendidikan agama serta keterampilan praktis, seperti penggunaan komputer dan otomotif. “Harapannya setelah lulus mereka memiliki keterampilan untuk mencari nafkah, bukan menjadi penceramah berbayar,” tutur Juhana.

 

Kampus ini juga menggratiskan biaya pendidikan. Seluruh ongkos dibebankan kepada pengurus Khilafatul Muslimin. Biaya operasional pesantren, misalnya, rata-rata menghabiskan Rp 60 juta per bulan. Biaya ini mencakup honor para guru sebesar Rp 1,5 juta tiap bulan.

 

Jika ditotal, kebutuhan seluruh biaya pendidikan Khilafatul Muslimin mencapai ratusan juta rupiah per bulan. Abu Salma mengatakan sumber pendanaan Khilafatul Muslimin berasal dari infak dan sedekah. Mereka memiliki lima jenjang kepengurusan yang aktif melakukan pengumpulan dana mandiri. Dari pengurus paling bawah atau kemas’ulan, ummul quro, wilayah, daulah, hingga Khilafatul Muslimin pusat.

 

Penggalangan dana jemaah dilakukan secara berjenjang dari tingkat kemas’ulan. Dana yang diperoleh pengurus kemas’ulan akan dibagi menjadi tiga, yaitu 70 persen untuk kegiatan dakwah, 20 persen disetorkan ke pengurus di atasnya atau ummul quro, dan 10 persen untuk pesantren yang ada di wilayah mereka. Hal yang sama berlaku di tingkat ummul quro, wilayah, hingga daulah. “Dengan cara ini kami bisa mengumpulkan uang untuk membantu operasional pesantren sekaligus kepengurusan Khilafatul Muslimin,” kata Abu Salma.

 

Urusan pendanaan ini turut menjadi perhatian Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Komisaris Jenderal Boy Rafli Amar. Ia menuding Khilafatul Muslimin turut menerima aliran uang dari luar negeri. “Faksi ini mendapat dukungan luar umat yang ada di Amerika Serikat hingga Eropa,” ucapnya.

 

Peneliti Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi, Adhe Bhakti, ragu terhadap klaim ini. Khilafatul Muslimin sudah terkenal memiliki kekuatan untuk mengumpulkan dana jemaah secara mandiri. “Kalau misal polisi menuduh ada aliran dana mencurigakan, mesti dibuktikan. Jangan-jangan itu dari jemaah Khilafatul Muslimin di luar negeri,” ujarnya.

 

Pendapat senada disampaikan pengamat terorisme dari Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh, Al Chaidar. Mantan anggota Khilafatul Muslimin ini mengatakan banyak anggota dan simpatisan yang sukarela menjadi donatur. “Karena gerakan mereka menyerukan perdamaian.”

 

Abu Salma menjelaskan, tak semua cabang memiliki dana yang cukup. Jika ada cabang yang kurang mampu, cabang lain akan membantu dengan sistem subsidi silang. Mereka akan menyetor bantuan ke pengurus daerah lain. “Berapa nilainya, tidak kami batasi. Seiklasnya. Kalau dapat dikit, kami makan sayur. Kalau tidak dapat, ya kami puasa. ●

 

Sumber :   https://majalah.tempo.co/read/laporan-utama/166177/dari-mana-sumber-dana-operasional-khilafatul-muslimin

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar