Senin, 20 Juni 2022

 

Mengapa Terduga Pelaku Pelecehan Seksual di Unri Belum Dihukum

Opini Tempo :  Redaktur Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 18 Juni 2022

 

 

                                                           

TAK kunjung turunnya sanksi administratif bagi dosen terduga pelaku pelecehan seksual terhadap mahasiswa di Universitas Riau adalah bukti kegagalan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dalam melindungi korban. Kelambanan kementerian dalam menindak pelaku bisa menambah derita korban yang sedang berjuang menyembuhkan diri dari trauma.

 

Kementerian dan universitas semestinya memprioritaskan perlindungan dan hak-hak korban yang makin terpojok setelah Pengadilan Negeri Riau memvonis bebas terdakwa pelaku pelecehan seksual, Syafri Harto. Meski belum berkekuatan hukum tetap, putusan itu menjadi teror baru bagi korban yang selama ini telah mendapat stigma negatif. Tekanan kepada korban bertambah karena Syafri melaporkan balik korban atas tuduhan pencemaran nama. Bebas dari tuntutan hukum dan tanpa sanksi administratif bisa membuat Syafri semakin jemawa dan merasa tidak bersalah.

 

Sesungguhnya tidak sulit bagi Menteri Nadiem Makarim untuk segera memberikan sanksi administratif kepada Syafri. Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Universitas Riau, yang separuh anggotanya adalah mahasiswa, juga sudah memberikan rekomendasi sanksi administratif sedang sampai berat bagi Dekan nonaktif Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik tersebut.

 

Bentuk sanksinya pun sudah diatur secara jelas dalam Pasal 14 Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Aturan itu diteken Nadiem dan diundangkan pada 3 September 2021. Sanksi administratif sedang adalah pemberhentian sementara dari jabatan tanpa memperoleh hak jabatan. Adapun sanksi administratif berat berupa pemberhentian tetap dari jabatan sebagai pendidik.

 

Sanksi administratif dapat diperberat dari rekomendasi satgas bila korbannya penyandang disabilitas. Hal lain yang bisa memperberat sanksi adalah dampak kekerasan seksual yang dialami korban serta status pelaku sebagai pejabat kampus. Pemberian sanksi tersebut tidak perlu menunggu putusan pidananya berkekuatan hukum tetap atau inkrah.

 

Sikap setengah hati Nadiem yang tak kunjung memberikan sanksi dapat merugikan upaya menekan tindak kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Tanpa perlindungan yang semestinya, para korban pelecehan seksual di kampus makin takut melapor dan memperjuangkan haknya.

 

Lambannya penanganan kasus pelecehan seksual di Universitas Riau juga membuktikan ketidaksiapan Kementerian Pendidikan menjalankan peraturannya sendiri. Kementerian semestinya menyiapkan unit pelaksana teknis sebelum menerbitkan peraturan. Tugas unit itu antara lain mengumpulkan hasil penanganan kasus kekerasan seksual oleh satgas universitas, mengecek kampus mana saja yang belum membentuk satgas, dan menyelenggarakan pelatihan.

 

Kekerasan seksual di lingkungan kampus adalah masalah besar yang tak cukup ditangani dengan menerbitkan peraturan menteri. Harus ada ketegasan dari Kementerian Pendidikan dan perguruan tinggi untuk menerapkan aturan tersebut dan memberikan sanksi kepada pelakunya. ●

 

Sumber :   https://majalah.tempo.co/read/opini/166209/mengapa-terduga-pelaku-pelecehan-seksual-di-unri-belum-dihukum

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar