Senin, 20 Juni 2022

 

Kenapa Suap Bekas Wali Kota Yogyakarta Bukan Korupsi Biasa

Opini Tempo :  Redaktur Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 18 Juni 2022

 

 

                                                           

PENANGKAPAN bekas Wali Kota Yogyakarta, Haryadi Suyuti, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi kian menegaskan bahwa perizinan hotel dan apartemen di Kota Pelajar itu berlumur masalah. Pejabat daerah yang terlibat dalam pengeluaran izin tersebut tak hanya loba, tapi juga tega mengorbankan masyarakat dan lingkungan sekitar hotel.

 

Modus korupsi Haryadi amat vulgar. Meski apartemen Royal Kedhaton jelas-jelas melanggar aturan pendirian gedung, dia memerintahkan Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Kota Yogyakarta menerbitkan izin mendirikan bangunan (IMB). Apartemen milik PT Summarecon Agung yang dibangun di kawasan Malioboro itu akan berdiri setinggi 40 meter untuk 14 lantai. Padahal, menurut peraturan daerah Kota Yogyakarta, tinggi bangunan untuk kepentingan ekonomi maksimal 32 meter. Atas jasanya memuluskan IMB, Haryadi mendapat imbalan Rp 440 juta dari Oon Nusihono, petinggi Summarecon.

 

Pola itu ditengarai terjadi juga dalam perkara lain. Pada 2015, misalnya, Haryadi memerintahkan dinas menerbitkan IMB bagi Swiss-Belhotel Yogyakarta meskipun hotel itu melanggar aturan pendirian gedung—bangunan hotel keluar dari persil dan mencaplok sebagian tanah negara. Becermin pada kasus Royal Kedhaton, KPK juga harus menelusuri motif Haryadi dalam pemberian izin Swiss-Belhotel.

 

Daftar perkara bisa makin panjang jika semua izin yang dikeluarkan Haryadi diselidiki. Selama dua periode memimpin Yogyakarta, Haryadi mengobral lebih dari 100 izin hotel. Jika KPK serius menangani kasus ini, keganjilan seperti pada pemberian izin Royal Kedhaton ataupun Swiss-Belhotel akan terbuka satu per satu. Bukan tak mungkin banyak izin terbit berkat adanya pelicin.

 

Faktanya, akibat pemberian izin yang kacau tersebut, bukan cuma tata ruang kota yang menjadi amburadul, masyarakat pun terkena dampaknya. Kekeringan mengancam sejumlah wilayah karena sebagian hotel dan apartemen diduga menggunakan air tanah yang biayanya lebih murah, bukan air dari perusahaan daerah air minum (PDAM) sebagaimana seharusnya. Contoh yang mengemuka adalah bencana yang menimpa Kampung Miliran setelah berdirinya sebuah hotel di daerah itu pada 2014. Penggunaan air tanah oleh hotel tersebut menyebabkan sumur penduduk di sekitarnya kerontang.

 

Jikapun hotel menggunakan air dari PDAM, bukan berarti penduduk tak terancam kehilangan air tanah. Sebagian besar air PDAM Yogyakarta bersumber dari air tanah. Hanya kurang dari 15 persen yang berasal dari air permukaan. Ditambah dengan adanya pencurian air tanah oleh hotel, apartemen, ataupun pusat belanja, permukaan air tanah di Yogyakarta terus menurun. Setiap tahun diperkirakan penurunannya mencapai 20-35 sentimeter. Akibatnya, masyarakat makin sulit mengakses air bersih.

 

Jelaslah bahwa suap dalam perizinan hotel atau apartemen bukan semata-mata korupsi, tapi pidana yang berdampak pada manusia dan lingkungan. Ini serupa dengan suap pemberian izin di sektor kehutanan atau perkebunan, sebagaimana pula pertambangan: korupsi berimpitan dengan kejahatan ekologi. ●

 

Sumber :   https://majalah.tempo.co/read/opini/166227/kenapa-suap-bekas-wali-kota-yogyakarta-bukan-korupsi-biasa

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar