Senin, 27 Juni 2022

 

Mengapa Nilai Uang Kripto Anjlok

Retno Sulistyowati :  Jurnalis Tempo

MAJALAH TEMPO, 25 Juni 2022

 

 

                                                           

MUKHTAR Juned masih berupaya tenang meski nilai mata uang kripto yang ia pegang melorot tajam. Karyawan sebuah badan usaha milik negara di Aceh ini memilih menyimpan 100-an unit Dogecoin yang ia beli tahun lalu.

 

Saat itu Mukhtar membeli Dogecoin Rp 900 ribu per unit. Harganya sempat melejit hingga Rp 2,4 juta pada awal Januari lalu. Namun kini nilainya kembali ke kisaran Rp 900 ribuan. “Lumayan naik sedikit,” dia bercerita kepada Tempo pada Sabtu, 25 Juni lalu.

 

Mukhtar termasuk investor yang optimistis di tengah gejolak pasar kripto sepanjang tahun ini. Pasar yang jenuh, inflasi, dan memburuknya kondisi makroekonomi global akibat perang Rusia-Ukraina mengembuskan badai "musim dingin" alias penurunan nilai besar-besaran pada semua jenis mata uang kripto. Kini Mukhtar terpaksa mengambil posisi wait and see, bersabar menunggu crypto winter ini berakhir. “Jangan sebentar-sebentar lepas.”

 

Sikap optimistis juga ditunjukkan trader Tokocrypto, Afid Sugiono. Dia merujuk pada nilai perdagangan yang bergerak positif menjelang akhir pekan lalu. Menurut Afid, investor mulai percaya diri untuk meramaikan pasar dengan aksi beli. "Investor yakin bisa mendapatkan keuntungan dalam jangka panjang ketika pasar kripto kembali bullish (bergairah),” katanya pada Jumat, 24 Juni lalu.

 

Optimisme ini sedikit beralasan. Pada Sabtu, 25 Juni lalu, pukul 07.20 WIB, misalnya, harga Bitcoin di situs Coinmarketcap.com naik 0,47 persen dalam 24 jam atau meningkat 3,4 persen dalam sepekan. Aset kripto terpopuler ini diperdagangkan di harga US$ 21.202,98 atau Rp 314.429.591. Sedangkan nilai Dogecoin naik 3,25 persen ke posisi Rp 992,66 pada pukul 07.25 WIB.

 

Menurut Afid, investor justru menanti harga aset kripto mencapai titik terendah. Dia mengacu pada fenomena Bitcoin crash pada 2013 dan 2017, saat nilai mata uang kripto itu anjlok hingga 80 persen sebelum kemudian melesat lagi karena diburu investor yang tergiur harga murah. Saat ini harga Bitcoin mencapai US$ 21 ribu atau jatuh 75 persen dari titik tertinggi pada November 2021. “Jika inflasi dan tekanan geopolitik mereda, pasar kembali positif,” ujarnya.

 

Di tengah pasar yang bertumbuh, tak salah jika para pemain kripto di Indonesia memilih bertahan. Ibaratnya, tidak apa-apa rugi sementara jika ada harapan menuai untung dalam jangka panjang. Dengan tren kenaikan transaksi bulanan, yang menurut Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) mencapai 16,2 persen sepanjang tahun ini, para trader dan platform yang memfasilitasi perdagangan kripto masih punya banyak harapan.

 

Vice President Marketing Tokocrypto Adytia Raflein mengatakan industri aset kripto di Indonesia masih positif. Dia mengklaim jumlah investor aset kripto masih jauh lebih besar dibanding pemain pasar saham. "Dampak kondisi pasar sudah diantisipasi sehingga belum memberikan efek serius untuk pertumbuhan industri kripto di Indonesia," ucapnya.

 

Namun analis pasar uang Poltak Hotradero mengingatkan, gonjang-ganjing nilai aset kripto bakal terus menghantui para investor. “Jika volatilitasnya terlalu signifikan, dalam hitungan detik bisa untung atau rugi besar. Aset seperti Bitcoin tidak memenuhi syarat dari aspek stabilitas,” tuturnya.

 

Poltak juga menyoroti nihilnya fungsi aset kripto sebagai storage of value atau pelindung nilai dari inflasi. Menurut dia, jika memang aset kripto memiliki fungsi ini, harganya akan meningkat jika inflasi naik dan sebaliknya, mengendur bila inflasi turun.

Faktanya, kata Poltak, saat inflasi meningkat seperti saat ini dan bank menaikkan suku bunga, investor melepas aset kripto yang berisiko tinggi. Karena itu, dia menilai arus modal keluar dari aset kripto akan berlanjut dan badai musim dingin bakal berkepanjangan. ●

 

Sumber :   https://majalah.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/166280/mengapa-nilai-uang-kripto-anjlok

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar