Senin, 27 Juni 2022

 

Akurasi Ukuran dalam Bahasa Indonesia

Ahmad Hamidi :  Jurnalis Tempo

MAJALAH TEMPO, 25 Juni 2022

 

 

                                                           

TIAP hari besar seperti Lebaran, Natal, dan tahun baru Masehi datang, arus lalu lintas darat, laut, dan udara hampir selalu meningkat. Untuk mengutarakan intensitas kendaraan yang melintas, dalam berbagai berita, sering kita temukan ungkapan “lancar”, “ramai lancar”, “padat merayap”, “padat tersendat”, “macet”, dan “macet total”. Lewat ungkapan-ungkapan itu, sialnya, kita tidak segera tahu secara persis kondisi sesungguhnya.

 

Berapa selisih rata-rata kecepatan kendaraan dalam kondisi “lancar” dan “ramai lancar”? Bagaimana penguantifikasian konsep “padat merayap”? Dalam hal apa saja “padat merayap” dan “padat tersendat” menunjukkan perbedaannya? Berapa kilometer panjang minimal riritan kendaraan untuk dapat dikatakan “macet total”? Tidak ada indikator ukuran yang spesifik dan konvensional yang menyertainya.

 

Begitulah uniknya bahasa, selalu menyisakan ruang bagi ketidakakuratan. Kita jarang mempersoalkannya karena memang tidak perlu—atau tidak betul-betul mempedulikannya?

 

Soal makna, “lancar” dan “macet” bisa kita temukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia V daring, masing-masing “tidak tersangkut-sangkut; tidak terputus-putus” dan “terhenti; tidak lancar”. “Lancar” dalam konteks ini dimaknai sebagai kondisi ketika kendaraan dapat melaju dengan kecepatan stabil, cenderung tinggi, tanpa hambatan. “Macet” sebenarnya sudah menggambarkan tingkat ketersumbatan tertinggi, tanpa perlu embel-embel “total”. Namun, demi mencapai nuansa macet yang sebenar-benarnya macet, kata itu dipakai sebagai penguat (adjective intensifier) yang dapat memunculkan imaji barisan kendaraan tak bergerak sama sekali dan minta ampun panjangnya dalam durasi yang lama.

 

Begitu pula ketika banjir merendam wilayah tertentu. Tidak semua pewarta di lapangan menggunakan satuan ukur matematis dalam mewartakan ketinggian banjir. “Saat ini ketinggian banjir terpantau mencapai pinggang orang dewasa,” seolah-olah kita telah bersepakat dengan patokan semacam itu, mengukur dengan tubuh. Tanpa angka-angka, kita yang tidak mengalaminya, yang cuma menyaksikan via layar kaca, dapat membayangkan barang dan perkakas rumah tangga apa saja yang direndam banjir itu. Kita diajak memperkirakan apa saja aktivitas yang bisa dan tidak bisa dilakukan oleh para penyintasnya. Entah setinggi apa orang dewasa itu, toh, tidak kita persoalkan lagi seolah-olah tinggi manusia dewasa di bumi ini sama belaka. Pokoknya “sepinggang”—atau “semata kaki”, “selutut”, “sedada”, “seleher”, dan “sekepala”.

 

Selain karena kebiasaan, keterbatasan, atau ketidaksiapan, dalam banyak kasus, ketidakakuratan dalam berbahasa dipicu oleh faktor kesantunan, terutama bagi sebagian besar budaya masyarakat etnis di Indonesia. Namun itulah hakikat bahasa. Ia bisa menjelasterangkan suatu maksud dan realitas ataupun mengabursamarkannya.

 

Sebelum menyajikan kepada kita, penjual rujak atau nasi goreng biasanya akan bertanya: “Pedes atau sedang?” Secara konseptual, “sedang” merujuk pada “rasa pedas yang terasa, tanpa membakar lidah”. Lho, apa ukurannya? Bagi penjual, ukurannya tersimpan secara kognitif berdasarkan pengalamannya melayani berbagai konsumen. Persoalannya, tidak semua lidah bersepakat dengan kata bermakna “antara” seperti itu. “Sedang” bagi konsumen A belum tentu sama bagi konsumen B. Begitu pula “pedas” menurut konsumen C boleh jadi tidak termakan oleh konsumen D.

 

Serupa dengan intensitas kendaraan dan ketinggian banjir, level kepedasan yang tidak jelas pengungkapannya dapat menimbulkan kesalahpahaman. Daripada dikecewakan oleh rasa, sebagai pembeli, katakan saja, “Saya pesan nasi goreng, sambel-nya 5 sendok”, atau, “Saya pesan rujak, cengeknya 5 biji”. Jelas. Terkuantifikasi.

 

Nah, karena cenderung “menodong”, sering kita enggan langsung menjawab begitu. Todongan serupa itu, dalam berbahasa, bisa menunjukkan ketidaksantunan. On-record, dalam bahasa Brown & Levinson (1987). Berdasarkan prinsip kerja sama (cooperative principles), jawaban serupa itu dianggap melanggar maksim kuantitas, yakni memberikan kontribusi (jawaban) yang lebih informatif daripada kebutuhan (pertanyaan) mitra tutur. Secara pragmatis, melanggar prinsip kerja sama berarti menambah “beban” bagi mitra tutur. Padahal, sebenarnya bukan masalah, kita sebagai pembeli berhak menyesuaikan selera.

 

Ketidakakuratan dalam menyatakan satuan ukur merupakan fenomena kultural yang bersifat universal. Untuk mengukur apa pun, nenek moyang umat manusia sejak dulu terbiasa memanfaatkan bagian tubuh dan segala benda serta fenomena di sekitar mereka. Kita ingat ada istilah “jengkal”, “hasta”, dan “depa”, yang oleh orang Inggris masing-masing disebut “span”, “cubit”, dan “fathom”. Dalam masalah waktu juga begitu.

 

Orang Sunda, misalnya, mengenal sejumlah penanda waktu yang berbasis pada harmoni antara mereka dan alamnya. Semua itu cuma perkiraan. Tentu tidak akurat. Sebagai contoh, kira-kira pukul 8 pagi disebut haneut moyan karena pada waktu itulah kegiatan berjemur lazim dimulai. Lalu kira-kira pukul 5 sore disebut ngampih laleur, seiring dengan masuknya lalat ke sarang. Kemudian kira-kira pukul 1 dinihari disebut wanci tumorék lantaran pada waktu itu alam terasa hening sehening-heningnya, tiada terdengar bebunyian apa pun. ●

 

Sumber :   https://majalah.tempo.co/read/bahasa/166249/akurasi-ukuran-dalam-bahasa-indonesia

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar