Selasa, 14 Juni 2022

 

Mengapa Para Gubernur Menolak Penjabat Kepala Daerah Pilihan Jokowi

Budiarti Utami Putri :  Wartawan Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 11 Juni 2022

 

 

                                                           

DUA surat keputusan diteken Gubernur Riau Syamsuar pada Senin, 23 Mei lalu. Bersamaan dengan pelantikan dua penjabat kepala daerah di wilayahnya hari itu, Syamsuar “membebastugaskan” keduanya. Mereka adalah Kepala Dinas Pendidikan Riau Kamsol dan Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Riau Muflihin.

 

Kamsol didapuk menjadi penjabat Bupati Kampar dan Muflihin diangkat sebagai penjabat Wali Kota Pekanbaru. “Hari itu juga Gubernur memilih dua pelaksana tugas di posisi Kamsol dan Muflihin,” kata Kepala Dinas Komunikasi, Informasi, dan Statistik Provinsi Riau Erisman Yahya kepada Tempo, Jumat, 10 Mei lalu.

 

Erisman mengklaim Syamsuar mengambil keputusan itu agar Kamsol dan Muflihin berfokus menjalankan tugas anyar mereka. Dua pegawai negeri sipil berpangkat eselon II itu akan memimpin daerah selama satu tahun. Masa jabatan keduanya bisa diperpanjang hingga ada pejabat definitif dalam pemilihan kepala daerah atau pilkada serentak 2024 yang digelar pada 27 November tahun itu.

 

Pencopotan sementara Kamsol dan Muflihin memunculkan dugaan bahwa kebijakan itu adalah bentuk penolakan Gubernur Syamsuar. Sebab, calon-calon yang dia ajukan untuk memimpin Kampar dan Pekanbaru tak direstui Kementerian Dalam Negeri. “Asumsi itu berkembang di mana-mana,” tutur Ade Agus Hartanto, anggota DPRD Provinsi Riau.

 

Politikus Partai Kebangkitan Bangsa itu menilai Syamsuar terburu-buru menunjuk pelaksana tugas Sekretaris DPRD. Meski tak mempersoalkan siapa penjabat kepala daerah dan pelaksana tugas, Ade menyatakan Gubernur seharusnya berkonsultasi dengan DPRD. Sebab, pelaksana tugas Sekretaris DPRD akan bekerja sama dengan 65 legislator di Provinsi Riau.

 

Erisman Yahya membantah anggapan bahwa penunjukan pelaksana tugas dilatari kekecewaan Syamsuar. Menurut dia, sekitar dua pekan setelah penunjukan dua penjabat kepala daerah, atasannya berjumpa dengan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dalam sebuah acara di Jakarta. “Menurut Pak Gubernur, Menteri Dalam Negeri setuju ada pelaksana tugas,” ujar Erisman.

 

Tak hanya di Riau, penunjukan kepala daerah di sejumlah daerah menuai polemik karena pemerintah pusat tak mengakomodasi usul gubernur. Dua pejabat di lingkaran Kementerian Dalam Negeri dan Komisi Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat mengatakan terjadi tarik-menarik antara pemerintah pusat dan gubernur.

 

Mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Sumarsono, mengakui posisi penjabat kepala daerah tak terlepas dari dimensi politik. “Setidaknya ada kepentingan politik pemerintah pusat untuk memastikan program pembangunan berjalan,” tutur Sumarsono kepada Tempo, Kamis, 9 Juni lalu.

 

Di Sulawesi Tenggara, Gubernur Ali Mazi sempat batal melantik penjabat Bupati Muna Barat dan Buton Selatan. Pemerintah pusat menunjuk Direktur Perencanaan Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Bahri dan Sekretaris Daerah Buton Selatan La Ode Budiman untuk mengisi posisi kepala daerah. Keduanya tidak masuk daftar calon penjabat yang diusulkan Gubernur.

 

Ali Mazi sempat mengeluhkan keputusan pemerintah pusat ke Dewan Pimpinan Pusat NasDem, partai politik tempatnya bernaung. Partai menugasi seorang pengurus untuk menanyakan hal itu kepada Menteri Dalam Negeri Tito dan seorang direktur jenderal di Kementerian Dalam Negeri. Seorang pengurus pusat NasDem yang tak mau disebut namanya membenarkan informasi tersebut.

 

Protes juga muncul dari sebagian kelompok masyarakat. Pada Rabu, 27 April lalu, Barisan Orator Masyarakat Kepulauan Buton berunjuk rasa menolak pelantikan La Ode Budiman sebagai penjabat Bupati Buton Selatan. Budiman merupakan ipar dari Bupati Buton Selatan sebelumnya, La Ode Arusani.

 

Para pengunjuk rasa menilai penunjukan Budiman sarat kepentingan politik. Sebab, La Ode Arusani ditengarai bakal maju kembali dalam pemilihan kepala daerah. La Ode Budiman tak merespons permintaan wawancara yang dilayangkan Tempo. Gubernur Ali Mazi akhirnya tetap melantik penjabat Bupati Muna Barat dan Buton Selatan.

 

Gubernur Maluku Utara Abdul Gani Kasuba juga mempersoalkan penunjukan Sekretaris Daerah Morotai M. Umar Ali sebagai penjabat Bupati Morotai. Tiga nama yang diajukan Abdul Gani tak dilirik oleh Kementerian Dalam Negeri. Akhirnya, bukan Abdul Gani, melainkan Wakil Gubernur Al Yasin Ali yang melantik Umar Ali.

 

Kontroversi juga muncul dalam penunjukan penjabat Bupati Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, Dahri Saleh. Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Provinsi Sulawesi Tengah ini mengundurkan diri dari posisi barunya 15 menit setelah dilantik oleh Wakil Gubernur Ma’mun Amir.

 

Dahri tak merespons pesan dan panggilan Tempo. Kepada sejumlah wartawan, ia mengaku mundur karena diminta Gubernur Sulawesi Tengah Rusdy Mastura. Dahri menyebutkan Rusdy ingin dirinya tetap di posisi lama yang baru dia jabat selama dua bulan.

 

Lewat keterangan tertulis, Rusdy membantah pernyataan itu. Menurut Rusdy, ia hanya mengingatkan krusialnya tugas kepala biro pemerintahan dan otonomi daerah. “Keputusan mengundurkan diri atas pertimbangan sendiri dan tanpa paksaan siapa pun,” ucap Rusdy.

 

Tenaga Ahli Gubernur Sulawesi Tengah Bidang Komunikasi Publik, Andono Wibisono, mengatakan surat pengunduran diri Dahri Saleh sudah dilayangkan ke Kementerian Dalam Negeri. “Komunikasi Bapak Gubernur dan Pak Mendagri sangat baik,” kata Andono. Namun Kementerian belum membalas layang pengunduran diri itu.

 

Pelbagai kontroversi ditengarai disebabkan ketiadaan aturan yang detail dan tertutupnya proses penunjukan penjabat kepala daerah. Padahal Mahkamah Konstitusi telah meminta pemerintah memetakan kondisi tiap daerah dan kebutuhan penjabat kepala daerah. Pertimbangan itu menjadi bagian dari keputusan uji materi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.

 

Ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Selasa, 7 Juni lalu, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian enggan menanggapi polemik penunjukan penjabat kepala daerah. Namun ia berjanji bakal mengundang para ahli dan kelompok sipil untuk menyusun aturan anyar seperti yang diamanatkan Mahkamah Konstitusi. “Kami menangkap aspirasi,” tutur Tito.

 

Mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Djohermansyah Djohan, berpendapat pemerintah perlu membuat panitia seleksi untuk memilih penjabat gubernur. Adapun untuk penjabat bupati dan wali kota, Djohermansyah mengusulkan gubernur berkonsultasi dengan pimpinan DPRD ihwal tiga nama yang akan diajukan ke presiden.

 

Guru besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri ini mengimbuhkan, pemerintah perlu mengumumkan kepada publik tentang mekanisme pemilihan penjabat kepala daerah. “Setidaknya ada ruang publik dan partisipasi yang bermakna,” ujar Djohermansyah. ●

 

Sumber :   https://majalah.tempo.co/read/nasional/166172/mengapa-para-gubernur-menolak-penjabat-kepala-daerah-pilihan-jokowi

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar