Senin, 27 Juni 2022

 

Bagaimana Menyelamatkan Jakarta dari Pencemaran Udara Terburuk

Opini Tempo :  Redaktur Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 25 Juni 2022

 

 

                                                           

KUALITAS udara Jakarta terburuk di dunia pada dua pekan lalu. Begitulah menurut situs web IQAir, yang rutin memantau pencemaran udara di kota-kota dunia. Anehnya, alih-alih bergegas mengambil langkah untuk mengurangi polusi, pejabat seperti Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar malah sibuk membantah fakta bahwa udara Jakarta tidak sehat.

 

IQAir menempatkan Jakarta sebagai kota terpolutif sejagat karena indeks kualitas udara (AQI) melampaui angka 150 alias tidak sehat. Hasil pantauan ini sebetulnya tak mengejutkan. Pelonggaran pembatasan kegiatan masyarakat, setelah dua tahun lebih terkurung pandemi Covid-19, berimbas pada naiknya volume kendaraan bermotor yang berseliweran di Jakarta. Perkantoran kembali dipadati karyawan. Mesin-mesin pabrik serta pembangkit listrik kembali beroperasi penuh. Logis saja bila belakangan ini udara Ibu Kota kembali ke hari-hari terburuknya. Jadi apa gunanya menyangkal fakta yang demikian terang.

 

Ketika kehidupan Ibu Kota kembali normal, pemerintah seharusnya berupaya lebih keras mengendalikan pencemaran udara. Penyangkalan oleh pejabat seperti Menteri Lingkungan justru berbahaya karena bisa membuat orang awam terjebak dalam rasa aman palsu. Warga kota bisa terus menghirup udara kotor tanpa menyadari risikonya bagi kesehatan mereka.

 

Pejabat pemerintah tidak boleh tipis kuping ketika udara di Ibu Kota dinilai “tidak sehat”. Apalagi, kita tahu, meski telah direvisi tahun lalu, baku mutu udara ambien nasional masih terlalu longgar. Indeks Standar Pencemaran Udara milik Kementerian Lingkungan terpaut jauh dari batas aman yang direkomendasikan Badan Kesehatan Dunia (WHO). Artinya, udara yang diklaim sehat oleh pemerintah kita belum tentu benar-benar sehat menurut standar dunia.

 

Karena itu, sudah tepat ketika sejumlah warga dan pegiat lingkungan menggugat pemerintah Jakarta dan pemerintah pusat yang mereka anggap lalai dalam memenuhi hak masyarakat Jakarta untuk menghirup udara bersih. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pun sudah seharusnya memenangkan gugatan warga tersebut.

 

Putusan hakim yang menyatakan Presiden, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan, serta Gubernur DKI Jakarta melakukan tindakan melawan hukum layak mendapat apresiasi. Begitu pula dengan keberanian hakim menghukum Presiden untuk mengetatkan baku mutu udara ambien yang melindungi manusia, lingkungan, dan ekosistem. Masalahnya, alih-alih mematuhi putusan pengadilan pertama itu, pemerintah malah mengajukan permohonan banding.

 

Ketika kualitas udara Ibu Kota kembali memburuk, para pejabat juga seharusnya membuang jauh anggapan bahwa hal itu hanya urusan pemerintah DKI Jakarta. Ruang udara tak disekat seperti ruang kaca. Pencemaran udara di Jakarta akan berdampak pada wilayah sekitarnya. Begitu pula sebaliknya. Karena itu, pemerintah pusat—yang sebagian besar kegiatannya berlangsung di Jakarta—wajib berusaha keras memulihkan udara Jakarta. Begitu pula pemerintahan yang berbatasan dengan Ibu Kota.

 

Daripada sibuk membantah, Menteri Lingkungan Hidup seharusnya berfokus menyelia Gubernur Jakarta, Jawa Barat, dan Banten agar lebih kompak mengendalikan pencemaran udara lintas batas wilayah. ●

 

Sumber :   https://majalah.tempo.co/read/opini/166271/bagaimana-menyelamatkan-jakarta-dari-pencemaran-udara-terburuk

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar