Kamis, 07 Oktober 2021

 

Membaca Adalah Memaknai dengan Menafsir

Mudji Sutrisno ;  Budayawan

MEDIA INDONESIA, 30 September 2021

 

 

                                                           

MEMBACA ialah menafsir. Pokok ini saya tulis di buku saya berjudul Membaca Rupa Wajah Kebudayaan (Kanisius, 2014: 12 dst). Mengapa? Karena manusia sebagai subjek ialah a signifying actor, pemberi makna dari apa yang dilihatnya, yang dibacanya. Ungkapan latinnya lebih bernuansa lagi karena jelas menunjuk kerja untuk memberi makna dalam hidupnya.

 

Manusia ialah homo significans: manusia yang memberi makna atau arti dalam hidupnya. Dimanakah tempat beradanya makna itu? Tempat pertama, makna yang dihurufkan oleh pengarang dari peristiwa kehidupan, dan pengalaman hidupnya dalam aksara. Yang kedua, makna berada di perbandingan antarteks yang ditafsir. Adapun yang ketiga, sediakah si penafsir dengan sadar sebagai sikap untuk mau rendah hati, membuka cakrawala mata bacanya pada semesta makna teks, hingga saling dibuahi, dalam peleburan cakrawala (fusion of horizons) untuk menemukan makna baru. Gadamer-lah yang membuka pemahaman tentang membaca merupakan kerja menafsir (Truth and Methods, 1980).

 

Dari sini, dikenal adanya 2 cara membaca yaitu, membaca dari ‘dalam’ proses penulis teks itu, yang disebut pendekatan ‘intrinsik’. Contohnya: bila mau mencari makna teks sastra, dekati dan hampirilah dengan membaca melalui kode sastra tema misalnya. Yang kedua, membaca dari luar (ekstrinsik), yang menafsir sastra melalui ilmu-ilmu di luar teks sastra, misalnya sosiologi sastra, mendekati sastra dengan maknanya dari ilmu sosiologi. Misalnya, religiositas yang menyumbang toleransi keagamaan, dan perekat saling hormat melalui penokohan, alur kisah dari novel sastra.

 

Konsekuensinya, secara logis kerja membaca teks bisa menafsir menurut makna (meaning) penulisnya sebenar aslinya (value as quality of text’s meaning) atau kita membacanya untuk menemukan kepentingan penulisan teks itu lewat disiplin ilmu diluar teks. Contohnya, kepentingan ideologis teks sejarah dengan membongkar relasi kuasa dengan hegemoni makna oleh penguasa dengan buku sejarah, demi pembenaran atau legitimasi rezim penguasa dan bukan ‘makna’ pencerahan bagi pencerdasan kehidupan bangsa.

 

Karena itu, bagaimana membaca secara benar? Gadamer menaruh proses baca membaca dengan tafsir ini, hanya mungkin dilakukan melalui bahasa. Bahasa tulis yaitu teks tulis, yang secara linguistik mengaksarakan (baca: pula menghurufkan) komunikasi lisan, atau wacana dalam logika bahasa tulis menjadi teks secara logis atau nalar. Bahasa Indonesia teknis penalaran ini, untuk pembuatan kalimat yang bisa di mengerti punya nalar dan makna, bila berstruktur SPOK, yaitu ada subjek, lalu predikat, kemudian objek dan keterangan. Secara singkat: bahasa tulis adalah rumusan tertulis logis rasional untuk komunikasi antarpelaku-pelaku dalam memaknai realitas hidup.

 

Ketika tulisan terlalu sistematis, rasional, ia cenderung kering dibaca. Karena itu muncullah tulisan-tulisan yang dimuati makna imajinatif, kalimat-kalimat bertobat inspiratif dan simbolik. Teks itu lalu ditambahi awalan kata sandang ‘su’ untuk ‘sastra’ jadilah susastra, yaitu bahasa tulis sastrawi yang dimuati makna inspiratif dan disusun indah menjadi misalnya prosa susastra. Ketika prosa, meski ditulis indah bertema, kurang mampu tuntas menuliskan pengalaman merenungi hidup, atau pengalaman hidup penyair dalam naskah pujangganya, maka ditulislah puisi liris, puisi kakawin ataupun puisi sunyi, saat nyanyi senyap penghayatan hidup mau dituliskan dalam aksara.

 

Bahasa tulis, muncul dalam peradaban sesudah bahasa lisan setelah ditemukannya huruf-huruf aksara yang dicetak melalui penemuan teknologi cetak. Karena itu, pertanyaan yang melanjut adalah bagaimana membaca bahasa sebagai wacana atau lisan? Seperti sudah dipapar di depan, membaca bahasa tertulis sebagai teks ialah menafsirkannya menurut pokok makna saat teks ditulis. Maka, ada yang memberi bingkai situasi hidup saat itu (sitz im leben), ada yang mengambil konsesnus teks sebagai tempat atau lokasi tafsir makna, saat teks ditulis.

 

Membaca bahasa lisan, sebagai wacana dan tulisan, membawa kita pada Ferdinand de Saussure yang merumuskan cara membaca bahasa sebagai ‘penanda’ (signifier), dan yang ditandai atau ‘tinanda’ (signified). Yang pokok ialah dibangkitkannya kesadaran pembaca untuk memahami bahasa sebagai kode tanda, dan sistem tanda yang disepakati oleh komunitas bahasa mengenai maknanya, dan pilihan semiotika sistem tandanya. Misalnya, dalam bahasa Inggris, kata mawar ditulis dengan rose sedang dalam bahasa Indonesia ditulis sebagai mawar.

 

Konsensus makna berdasarkan alfabetisasi aksara, seturut konsensus pemakai bahasa, yang dari penanda maupun yang ditandai, seakan sewenang-wenang dan simbolik tandanya juga mesti masuk ke makna simbolik bahasa Indonesia. Misalnya, mawar pertiwi, secara semiotika memuat makna simbolik harum wangi perempuan (yang jadi pejuang seperti Cut Nyak Dien, menjadi pengharum Tanah Air karena kegigihannya berjuang di Aceh untuk pertiwi).  

 

Proses menafsir

 

Membaca yang merupakan proses menafsir untuk memaknai itu, akan dicoba untuk membaca buku-buku sejarawan peradaban manusia: Yuwal Noah Harari mutakhir yang kurun dekade ini ramai ditafsir dan dibaca cendekiawan, mahasiswa lintas ilmu. Buku pertama Sapiens: A Brief History of Humankind (2014) dan dilanjutkan buku berikutnya Homo Deus: A Brief History of Tomorrow (2016). Keduanya menjadi buku paling laku secara internasional, menjadi best seller yang terjual lebih dari 12 juta eksemplar.

 

Hasrat untuk ingin membacanya dan memaknai kedua buku ini, membuat buku-buku ini sampai diterjemahkan ke lebih dari 45 bahasa. Lalu, apa maknanya untuk peradaban manusia? Bagaimana akan dipraktikkan membaca ialah menafsirkan itu! Buku Sapiens (2014) berisi narasi evolusi manusia dari sosok kera, terus berkembang menjadi homo sapiens, jenis spesies yang paling berkuasa di bumi karena akal budinya, yang menguasai semesta dengan mengolahnya dalam teknologi, hingga menjadi satu-satunya penguasa di semesta ini dari masa lalu puncak perkembangannya akalnya kini sebagai homo sapiens. 

 

Jenis spesies, yang sejak dahulu memiliki kemampuan selalu mecipta narasi dengan mitos-mitos, agama dan ideologi yang ia pakai untuk menjalani, mengolah dan memaknai realitas hidupnya. Dua tahun setelah Homo Sapiens, terbitlah buku Homo Deus (2016). Yang satu, homo sapiens dengan judul catatan ringkas berbunyi: A Brief history of humankind, yakni homo sapiens menelusuri deskriptif sejarah umat manusia, mencapai tingkatan spesies tinggi semesta sebagai homo sapiens.

 

Buku kedua diberi pula kilas sejarah pendek dari masa depan umat manusia sebagai Homo Deus: A Brief History of Tomorrow. Memberi contoh bahwa membaca ialah menafsir dan menafsir itu memaknai sehingga membaca merupakan kerja memaknai dari manusia sebagai homo significans, sang pemberi makna hidupnya dan realitasnya dari homo sapiens menjadi homo dues, yaitu manusia Tuhan.

 

Homo Deus mendeskripsi situasi aktual kini dengan tantangan-tantangan yang dihadapi manusia. Terutama, setelah menjadi homo sapiens dengan masalah pokok, yaitu krisis ekologi akibat penguasaan, dan pemercayaan pada fiksi kemajuan dan modernitas, yang ternyata, menghancurkan semesta dan membuahkan distrupsi teknologi, justru karena manusia menghayati diri dan memercayai narasi fiksionalnya sebagai ‘Tuhan’, ya manusia-Tuhan.  

 

Tantangan semesta

 

Fiksi besar tantangan semesta, yang selalu dicipta sebagai kebutuhan menjalani hidup di bumi, ciri khas watak dasar ‘sapiens’ untuk dipercayai ternyata krisis dengan rusaknya alam, dan distrupsi teknologi. Lalu bagaimana manusia sebagai the signifying actor atau homo significans melanjutkan hidup setelah menjadi Tuhan: Homo Deus? Yuwal Noah Harari memberi panduan jawab dalam krisis narasi ini, dalam bentuk pelajaran dan pertanyaan-pertanyaan mendasar berjumlah 21, untuk abad ke-21 dalam buku berjudul 21 Lessons for the 21st Century (2018).

 

Intinya setelah narasi fiksi global dunia dalam ideologi fasisme, komunisme dan liberalisme, yakni Perang Dunia II meruntuhkan fasisme, maka hanya tinggal komunisme dan liberalisme sebagai narasi fiksional global. Itulah fase sejarah perang dingin 1940-an sampai 1980 akhir, antara komunisme dan liberalisme. Lalu, seperti lagu Wind of Change (Scorpion) dengan diruntuhkannya simbol tembok Berlin, maka hanya tinggal liberalisme yang mendominasi dunia sebagai pemenang.

 

Ironinya, menurut Yuwal, liberalisme membuahkan anomali dengan problem yang bertentangan dengan semangat liberalisme sendiri, yaitu kembalinya fasisme dan konservatisme. Persoalannya, ini tidak bisa diselesaikan dengan narasi fiksional lokal seperti fundamentalisme agama, atau cita-cita ultra nasionalis, yang menutup diri dari luar, semisal membuat lagi Amerika berjaya saat Trump yang nostalgia dengan kejayaan Amerika 1950 dan 1980-an.

 

Fundamentalisme agama lokal dengan fiksi kebangkitan kembali sistem khilafah Islam, hingga kekhalifahan dipercayai sebagai solusi untuk krisis demokrasi liberal. Harus ditemukan bersama lagi narasi fiksi global (pandangan dunia global), sebagai solusi untuk yang masalah global kini, yaitu krisis ekologi, ya krisis kemanusiaan dan distrupsi teknologi, yang berdampak dahsyat pada ‘kesombongan Homo Deus’ sebagai konsekuensi pengembangan iptek penguasaan alam dan bukan penyejahteraan semesta dan manusia.

 

Dari membaca sekilas buku-buku Yuwal Noah Harari, terbaca jelas kaitan erat membaca dan menafsir yang sejak awal tulisan ini sudah disorot. Richard J Bernstein (Hermeneutics and Its Anxieties dalam Dahlstrom (ed), Hermeneutics and the Tradition, Washington DC, 1988, hlm58), menegaskan bahwa waktu kita ini ialah abad intrepretasi, sebab pertanyaan mendasar tiap kebudayaan adalah mengenai hakikat, strategi, dan konsekuensi-konsekuensi interpretasi.

 

Makna hermeneutika menarik saat abad ke-19 muncul soal watak dan hubungan antara ilmu-ilmu kealaman dan ilmu-ilmu kehidupan. Wilhelm Dilthey-lah yang mampu menunjukkan ilmu-ilmu kehidupan/humaniora (Geisteswissenschaften) mempunyai metode dan fungsi interpretasi yang kemudian bernama hermeneutika untuk fungsi memberi pemahaman. Jadi, penelitian suku Baduy misalnya ialah ilmu humaniora, yang membawa kita lebih memahami ada Baduy dalam dan Baduy Luar. 

 

Sebaliknya, ilmu-ilmu kealaman (Naturwissenschaftler) berfungsi memberi penjelasan, penerangan, misal: air yang dimasak sampai 100°C akan mendidih. Dalam tradisi Yunani kuno, istilah hermeneuein digunakan dalam 3 makna, yaitu: a) mengatakan; b) menjelaskan; dan c) menterjemahkan. Ini oleh Richard E Palmer, Hermeneutics, Northwestern University Press, Evanston, USA, 1969, hal.13-14. Ditunjukkanlah tugas tafsir atau interpretasi dalam 3 hal penting, yaitu oral reaction = resitasi lisan; a reasonable explanation = penjelasan yang masuk akal; dan a translation from another language = terjemahan dari bahasa lain.  

 

Kebenaran koherensi

 

Jadi, Dilthey merumuskan hermeunetika, sebagai metodologi humanistik bagi ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora). Metode pemahaman ini atau Verstehen dipandang sebagai metode yang cocok untuk mengungkap kembali pengalaman dan pemikiran pengarang secara autentik. (Bleicher, Contemporary Hermeneutics, London, 1980).

 

Ketika ‘kebenaran pengetahuan’ (mengenai informasi, realitas, harap pengetahuan dibaca sebagai hasil proses mengetahui sesuatu) sebagai bermakna, maka dikenallah teori (baca+ abstraksi atas pengalaman ‘benar’ dalam rumusan sistematis logis) kebenaran tradisional korespondensi, sebagai kesesuaian antara makna yang diungkap sebuah pernyataan dengan faktanya, antara halnya (Kattsoff, Element of Philosophy, 1954, diterjemahkan Soejono Soemargo, 1986, Pengantar Filsafat, Yogya, Tiara Wacana).

 

Terus ada teori kebenaran koherensi, yaitu sebuah pernyataan atau proposisi itu benar, bila ia berada dalam kondisi berhubungan dengan proposisi lain, misal fakta 17 Agustus 1945 ialah hari Jumat, maka kebenaran ini harus dicari dalam peristiwa, sumber orang atau teks yang koheren (berkait dengan) fakta itu.

 

Teori kebenaran pragmatis mengukur nilai/makna kebenaran pada manfaat praktis, sedang benar sintaksis kalau pernyataan itu mematuhi aturan bahasa sintaksis yang baku (di antara para filsuf bahasa) kebenaran fungsional bila memenuhi fungsinya. Kebenaran logis bila pernyataan itu masuk akal sehat dan dapat dibaca jalan nalar bernilai benar dan bisa diadu argumentasi dengan rasionalitas.

 

Dari membaca buku Homo Sapiens, Homo Deus, dan 21 Lesson for 21st Century – nya Yuwal Noah Harari, plus deskripsi makna dan nilai (teori) kebenaran, maka masih ada satu kebenaran yang dipandang mutlak karena bersumber pada Kitab Suci yang diimani atau diyakini sebagai sabda Allah, wahyu-Nya, yang hanya bisa diiyakan dalam iman. Lalu, persoalan mendasar dan konklusi terbuka tulisan ini berupa pertanyaan: siapa penentu makna benar yang paling tinggi hierarkinya?

 

Bila pemahaman manusia kebenaran itu berjenjang, bertingkat-tingkat, berlapis-lapis seperti simbolik piramida? Siapa penentu ini benar dan itu tidak benar di relasi horizontal lawan dari vertikal piramida? Sudah kita baca sebagai homo significan, kita manusia sebagai pemberi nilai makna (benar)nya, pada buku-buku Noah Harari, jelas penulisnyalah yang punya power legitimasi penelitian sejarahnya, mau menyatakan buku-bukunya itu bermakna dan bernilai benar. Bila ada sanggahan, maka silakan otoritas subjek Anda sebagai pembaca atau penanggap menuliskan bahkan membuat buku tanggapan, hingga, tesis Noah Harari berhadapan dengan antitesis Anda akan membuahkan ‘sintesis’ yang makin mencerahkan.

 

Dalam kesadaran tahu bahwa power atau kuasa, untuk mengatakan ini benar, di situ masih harus dikritisi dengan pertanyaan untuk kepentingan apa atau siapa buku-buku itu ditulis? Demi pencerahan dan penyejahteraan masyarakat manusia atau demi kepentingan ‘penguasaan’ dan pemilikan? Dengan demikia,n dalam membaca sebagai menafsir sebagai laku budaya (baca: memaknai demi peradaban) tantangan nyata di depan kita adalah: pertama, konflik/benturan antara kepentingan versus ‘value’ atau nilai? Antara kepentingan dominasi penguasaan semesta, melalui iptek yang bersekongkol dengan kapital pasar, untuk menguasai hajat hidup semesta manusia versus peradaban nilai pemanusiawian hidup bersama, lewat pengembangan iptek demi peradaban.

 

Tantangan kedua, ketika kuasa penentuan kebenaran sudah menyebar (sejak diteliti Michel Foucault dalam geneloginya), dan kini revolusi-revolusi digital komunikasi penentu kebenaran ada di penguasaan-penguasaan medsos, yang tega menternakan kebohongan atas nama pasca kebenaran (post truth), yakni bila homo significans tak mendasarkan diri lagi pada kewarasan akal sehat rasionalitas, tetapi pada kemutlakan keyakinanku dan yang saya percayai sebagai benar, tanpa peduli yang lain, maka di sini persoalan membaca dan menafsir dunia virtual dan dunia maya digital menjadi PR kita semua, yang jalan keluar satu-satunya ialah melalui pendidikan. Bukankah omo ialah cita-cita pendiri bangsa untuk proses mencerdaskan kehidupan bangsa, yang dalam segitiga ‘instansi’ antara masyarakat, pasar dan negara-lah diletakkan diskresi kebijakan yang humankind matters demi kesejahteraan bersama.

 

Sumber :  https://mediaindonesia.com/opini/436425/membaca-adalah-memaknai-dengan-menafsir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar