Kamis, 07 Oktober 2021

 

Mural, Socrates, dan Suara Hati bagi Kebenaran

Eko Wijayanto  ;  Dosen Filsafat Universitas Indonesia

KOMPAS, 15 September 2021

 

 

                                                           

Hidup yang tak dipikirkan adalah hidup yang tak layak untuk dijalani. (Socrates)

 

Beberapa pakar sosiologi politik dan pengamat kebebasan berekspresi menyebut penghapusan terhadap sejumlah mural berisi kritik sebagai bagian karakter pemerintah yang “paranoid terhadap kritik”.

 

Karya seni itu disebut sebagai protes yang tidak membahayakan, dan menurut para pakar tersebut, ekspresi melalui mural itu menunjukkan kebuntuan atau sumbatan pada saluran aspirasi di ruang lain.

 

Alih-alih mendengarkan dan mengoreksi kebijakan, respons yang kini diambil pemerintah dianggap tidak tepat, kata mereka.

 

Namun Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara Bidang Komunikasi, Faldo Maldini mengatakan, pemerintah bukannya anti kritik, tapi ia beralasan kebebasan berekspresi yang disampaikan juga harus berdasarkan koridor hukum.

 

Pengamat politik, Ujang Komarudin membandingkan kasus penghapusan mural mirip Presiden Joko Widodo yang bertuliskan "404: Not Found" dengan kasus yang terjadi di zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Menurut Ujang, di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ada kasus di mana nama SBY ditulis di atas badan kerbau. Namun, ia mengatakan, tidak ada aparat penegak hukum yang mencari penulis nama SBY di kerbau itu.

 

“Namanya (SBY) disebut di sebuah kerbau, itu juga tidak pernah itu dilaporkan, tidak pernah penegak okum mencari-cari kesalahan para pendemonya, para penulis nama presiden yang di kerbau,” kata Ujang (Kompas.com, Selasa (18/8/2021).

 

Terkait mural mirip Jokowi ini, polisi berupaya mencari pembuat mural dan menghapus mural tersebut dengan cat hitam. Menurut Ujang, aparat kepolisian saat ini terlalu paranoid. Padahal, ia menilai, mural tersebut belum tentu bermaksud untuk mengkritik Jokowi.

 

Pemikiran kritis

 

Apakah terdapat kemungkinan intervensi pikiran kritis di dalam kehidupan sehari-hari? Perspektif pemikiran kritis bisa digunakan untuk mendiagnosa tanda-tanda dari segala aspek kehidupan, seperti coretan mural di dinding kota, dan tanda-tanda itu dilawangunakan untuk menciptakan sudut pandang baru dalam melihat problem. Coretan di dinding, mural, bukan sebagai lawan, tapi sejumlah seniman yang mengekspresikan diri, atau pun mewakili suara hati rakyat kecil.

 

Pertanyaan yang diangkat dalam problem akan membawa kondisi apakah kita akan menemukan masalah baru dan juga pikiran baru.

 

Contoh pertama ada di dalam karya Plato yang berjudul Gorgias. Karya yang berisi dialog antara Socrates dan Callicles tersebut menggambarkan perbedaan dalam pemikiran. Callicles berargumen bahwa kekuasaan adalah hak, manusia yang berbahagia adalah tirani yang berkuasa dengan kelicikan dan kekerasan terhadap orang lain. Sedangkan Socrates berpendapat bahwa manusia sejati yang sama dengan manusia bahagia adalah adil.

 

Di antara keadilan sebagai kekerasan dan keadilan sebagai pemikiran, tidak ada oposisi yang sederhana. Ada kekurangan dari relasi yang sebenarnya. Sehingga diskusi dalam problem ini bukanlah diskusi, melainkan sebuah konfrontasi. Akan ada yang menjadi pemenang dan yang kalah dari hal ini.

 

Pada akhirnya Callicles yang kalah dalam adu argumentasi tersebut. Situasi tersebut memperlihatkan bahwa tugas filsafat adalah untuk menunjukkan kepada kita bahwa kita harus memilih. Kita harus memutuskan apakah kita akan berada di sisi Socrates atau Callicles.

 

Di dalam contoh ini, filsafat mengkonfrontasi pikiran untuk menjatuhkan keputusan dan menjelaskan pilihan tersebut. Jadi, kita bisa mengatakan bahwa sebuah situasi filosofis mengandung momen ketika sebuah pilihan dijelaskan.

 

Contoh ke dua adalah kematian seorang ahli matematika terkenal, bernama Archimedes. Kematian Archimedes terjadi ketika beliau disuruh menghadap Jendral Romawi yang berkuasa saat itu, yaitu Jendral Marcellus. Archimedes masih tetap ingin melanjutkan kegiatan kalkulasinya dan memilih menunda bertemu  Jendral Romawi tersebut. Akibatnya, sang utusan Jendral tidak tahan melihat kelakuan Archimedes kemudian mengambil pedangnya dan menusukkannya kepada tubuh Archimedes sehingga Archimedes tewas.

 

Situasi tersebut masuk dalam kategori filosofis karena menunjukkan bahwa di antara hak negara dan pemikiran kreatif, khususnya pemikiran ontologis murni seperti matematika, tidak ada tolak ukur yang sama. Pada akhirnya, ukuran kekuatan adalah kekuasaan, sementara kendala-kendala pemikiran kreatif adalah peraturan-peraturan imanen.

 

Ketika sampai di hukum pemikirannya, Archimedes tetap di luar aksi kekuatannya. Seperti demonstrasi tidak bisa mengintegrasikan tuntutan rakyat kepada penguasa militer. Seperti itu alasan mengapa kekerasan akhirnya ditempa, tidak ada tolak ukur yang sama dan tidak ada kronologis yang sama di antara kekuatan satu pihak dan kebenaran dari yang lainnya. Kebenaran sebagai kreasi penciptanya semata.

 

Kita bisa mengatakan bahwa di antara kekuatan dan kebenaran ada jarak: jarak di antara Marcellus dan Archimedes. Sebuah jarak sang utusan tidak bisa mengatur mereka berdua. Tugas filsafat di sini adalah untuk menjelaskan jarak tersebut. Upaya tersebut membutuhkan perenungan dan pemikiran mengenai sebuah jarak tanpa mengukur terlebih dahulu, atau sebuah jarak yang harusnya filsafat temukan sendiri.

 

Contoh ketiga adalah sebuah film karya seorang sutradara Jepang bernama Mizoguchi yang berjudul The Crucified Lovers. Film dengan penggambaran masa klasik Jepang berisi kisah mengenai seorang perempuan muda yang terpaksa menikah dengan pemilik toko kecil, seorang lelaki jujur, tetapi tidak dicintainya. Gadis tersebut telah menjalin cinta dengan lelaki lain yang tidak lain adalah karyawan di toko suaminya. Cinta yang dianggap sebagai perzinahan tersebut harus dibayar dengan kematian menurut masyarakat. Kedua kekasih itu akhirnya lari ke sisi kota.

 

Sementara itu, suami yang jujur mencoba menutupi pelarian istrinya dengan menganggap bahwa sang istri sedang pergi meninggalkan tempat mereka untuk mengunjungi kerabat di luar sana. Akan tetapi, pasangan kekasih itu tertangkap dan dibawa ke tempat penyiksaan. Mereka diikat dalam perjalanannya menuju kematian yang mengerikan. Ada senyum di wajah mereka yang mengungkapkan bahwa lelaki dan perempuan itu masih ada di dalam cinta mereka. Adegan itu menyatakan cinta adalah apa yang menolak kematian.

 

Seorang filsuf terkemuka bernama Gilles Deleuze pernah mengatakan bahwa seni adalah yang menolak kematian. Di dalam film ini, seni Mizoguchi tidak hanya menolak kematian, tetapi juga membuat kita berpikir bahwa cinta juga menolak kematian. Hal ini membuat sebuah kompleksitas antara cinta dan seni.

 

Di antara peristiwa cinta dan aturan-aturan umum kehidupan sebenarnya tidak dapat dibandingkan. Filsafat mengajarkan kita untuk memikirkan peristiwa dan membuat pengecualian. Kita harus tahu apa yang harus kita katakan tentang apa yang tidak biasa.

 

Sekarang kita bisa merangkum pikiran di atas ini. Pertama, pilihan adalah selalu di antara yang membuat kita tertarik dan yang tidak membuat kita tertarik. Kedua, untuk selalu melihat jarak antara pikiran dan kekuatan, di antara kebenaran dan keadaan. Mengukur jarak penting untuk mengetahui apakah itu bisa dilampaui atau tidak. Ketiga, untuk mengetahui nilai pengecualian dalam suatu peristiwa untuk melawan konservatisme sosial.

 

Itu semua adalah tiga besar tugas dari upaya berpikir kritis: untuk berurusan dengan pilihan, dengan jarak dan dengan pengecualian. Badiou berpendapat bahwa sebuah konsep filosofis adalah sebuah kreasi hasil kesimpulan sebuah masalah dari pilihan, sebuah masalah dari jarak, dan sebuah masalah dari pengecualian peristiwa. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/15/mural-socrates-dan-suara-hati-bagi-kebenaran/

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar