Kamis, 07 Oktober 2021

 

Politik-Ekonomi Merger Pelindo

Fachry Ali  ;  Salah satu pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU Indonesia)

KOMPAS, 16 September 2021

 

 

                                                           

Kementerian BUMN mengumumkan merger PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) 1 hingga 4 akan dilaksanakan pada 1 Oktober 2021.

 

Ketika Kementerian BUMN mengumumkan merger ini, pikiran saya melayang kepada makalah J Á Campo yang, bersama dengan makalah saya, disampaikan dalam Seminar “The Late Colonial State” di Leiden University pada 1989. Melalui penyuntingan sejarawan Robert Cribb dengan judul "The Late Colonial State: Political and Economic Foundations of the Netherlands Indies 1880-1942" (1994), makalah Compo, bersama lainnya, terkonservasikan.

 

Sesuai judulnya, “Steam Navigation and State Formation”, makalah Campo berbicara soal sumbangan dunia pelayaran dan pelabuhan sebagai elemen penting pembentukan negara. ”Berhadapan dengan penggerogotan negara-negara kelautan (naval states) yang lebih kuat,” tulis Campo, “perusahaan-perusahaan transportasi laut memperkuat kedaulatan eksternal negara kolonial.”

 

Yang menarik, terutama dilihat dalam perspektif dewasa ini, para pengusaha pelayaran Belanda menggunakan “politik nasionalisme” dalam menghadapi pesaing dari Inggris. Untuk menahan ekspansi pengusaha Inggris HO Robinson, ─wakil kelompok pemilik kapal Inggris yang kuat yang kontrolnya melingkupi British India Association, the Queensland Royal Mail dan the British India Steam Navigation Company, pada 1863, pemerintah Belanda mengharuskan tiap peserta kontrak di dunia pelayaran kolonial berbadan hukum Belanda.

 

Dengan cekatan, pengusaha Inggris ini membangun Netherlandsche-Indische Stoomvaart Maatchappij (NISM) yang, karena tetap lebih efisien, bisa mengalahkan perusahaan pelayaran Belanda: Stoomvaart Maatchappij Nederland (SMN) dan Rotterdamsche Llyod.

 

Dalam konteks inilah, dengan memobilisasi dukungan pengusaha Amsterdam dan Rotterdam, mereka memasang slogan politik yang yang disebut Compo sebagai national interests. Sebuah tindakan “non-pasar” karena tak mampu bersaing dalam efisiensi korporasi.

 

Intervensi “non-pasar” ini lebih jauh dilakukan Pangeran Henry (1820-79). Seperti digambarkan penulis Inggris JS Furnivall dalam Netherlands India: A Study of Plural Economy (1944 [1938]), pembukaan Terusan Suez (1869) dan Perang Aceh (dimulai 1873) telah menyebabkan perairan Hindia Belanda kian dipenuhi oleh kapal-kapal Inggris.

 

Ini menimbulkan keprihatinan Pangeran Henry. Fakta bahwa Henry adalah keturunan William I (1772-1843), membuat keprihatinannya dengan mudah terterjemahkan ke dalam kebijakan politik-ekonomi kolonial. Melalui desakannyalah Koninklijk Paketvaart Mij (PKM) didirikan pada 1888.

 

Dalam konteks politik, hasrat Pangeran Henry ini berada dalam kecenderungan apa yang disebut Furnivall subordinated Indian interests to home politics (menomorduakan kepentingan Hindia Belanda demi politik dalam negeri induk).

 

Usaha mengalahkan saingannya, Inggris, dalam bisnis pelayaran dan keuntungan ekonomi yang kian tinggi dalam periode kebijakan “liberal” pasca-pembubaran Sistem Tanam Paksa pada 1870, dengan demikian, dilihat sebagai bagian dari kepentingan domestik Belanda atas kerugian Hindia Belanda.

 

Inilah, antara lain, yang menjadi dorongan pembangunan infrastruktur penopang penciptaan kekayaan melalui eksploitasinya atas sumber daya Hindia Belanda. Maka, tak mengherankan, jika Pangeran Henry melanjutkan aksi ekonominya dengan memerintahkan pembangunan pelabuhan Tanjung Priok pada 1872, yang diselesaikan dengan biaya 26,5 juta gulden, pada 1893.

 

Di samping pembangunan rel kereta api Tanjung Priok-Cilacap (1886) dan dari Emmahaven (kini Teluk Bayur)-Padang pada 1893, Henry juga memerintahkan pembangunan pelabuhan Belawan pada 1890 untuk kepentingan kaum kapitalis perkebunan Deli, Sumatera Utara. Di sini kita melihat penguatan modal yang berlangsung di Hindia Belanda (kini Indonesia) melalui pembangunan infrastruktur pelabuhan dan perkapalan adalah proyeksi kepentingan politik-ekonomi domestik negara induk alias Belanda.

 

Maka tak heran jika kita melihat, seperti diuraikan GJ Missen dalam View Point of Indonesia: A Geographical Study (1972), selama tiga abad hingga 1942 penjajahan Belanda, tak ada industrialisasi signifikan di Hindia Belanda.

 

Konsolidasi kekayaan negara dan aksi korporasi

 

Dalam perspektif sejarah politik-ekonomi di atas kita melihat signifikansi merger atau penggabungan Pelindo 1-4. Secara umum, langkah ini kelanjutan penciptaan holding (induk) BUMN pertambangan pada 2018 di bawah Menteri BUMN Rini Soemarno (2014-2019).

 

Kita ketahui, pembentukan induk BUMN pertambangan ini bahkan melebar ke pembelian 55 persen saham PT Freeport Indonesia. Ini berarti konsolidasi kekayaan negara di pertambangan di masa kepresidenan Jokowi bukan saja diperkokoh, melainkan, dengan reputasi global PT Freeport, “merentang” secara internasional.

 

Perkembangan ini, tentu saja, tegak pada fondasi yang diletakkan melalui pembentukan Kementerian BUMN pada 1998 di bawah Menteri Tanri Abeng (1998-1999). Aksi ini decisive secara politik-ekonomi. Sebab, bukan saja melalui itu kekayaan negara yang sebelumnya terpencar-pencar di bawah koordinasi masing-masing kementerian teknis, dapat disatukan.

 

Melalui aksi korporasi dalam bentuk privatisasi BUMN secara terbatas, sepanjang krisis moneter akut 1997-98, Kementerian BUMN juga berhasil mengundang kembali dana asing ke Indonesia ─ketika sektor swasta mengalami kelumpuhan total. Sejalan dengan itu, merger PT Pelindo 1-4 di bawah Menteri Erick Thohir (2019-24), harus kita lihat sebagai langkah strategis menajamkan konsolidasi kekayaan negara untuk meciptakan efek lebih produktif.

 

Mengapa? Karena selama ini Pelindo 1-4 merupakan entitas usaha negara yang terpencar-pencar dengan pengaruh ekonomi bersifat segmented. Dengan dasar regional-based port corporate, pengaruh ekonomi langsung yang diciptakan terbatas pada wilayah-wilayah di mana Pelindo berada (Jakarta, Surabaya, Belawan dan Makassar).

 

Sifat usaha yang merangkum semua unit jasa seperti peti kemas dan logistik serta jasa pelabuhan lain di satu atap telah menimbulkan stagnasi di masing-masing unit usaha. Dalam arti kata lain, dengan struktur korporasi “konvensional” dan regional-based, bisnis Pelindo mengalami “involusi” atau “berjalan di tempat”.

 

Oleh karena itu, merger Pelindo yang kini dirancang adalah aksi korporasi yang “membebaskan”. Ini bukan saja penghilangan sekat-sekat regional yang selama ini “membelenggu”, melainkan juga memberikan penyaluran masing-masing unit usaha jasa pelabuhan berkembang secara maksimal.

 

Pada tingkat “top eksekutif”, dibuka ruang “kepemimpinan umum” yang disebut induk atau holding. Di samping akan bertindak sebagai pemilik seluruh aset empat Pelindo, induk ini akan menjadi “tim pengarah” kinerja seluruh elemen di bawahnya dalam hal penambahan dan alokasi modal serta investasi, lazim disebut investment holding.

 

Di jajaran bawah adalah korporasi-korporasi baru yang sebelumnya “hanya” merupakan unit usaha Pelindo. Yaitu, apa yang disebut kluster bisnis dan portofolio bisnis yang sebelumnya tak ada.

 

Kluster bisnis itu terdiri dari usaha peti kemas, non-peti kemas, logistik dan hinterland development dan marine, equipment dan pelayanan pelabuhan. Di sinilah kita melihat unsur “pembebasan” dari aksi korporasi ini. Sebab, kendati kantor-kantor pusat masih tersebar di Jakarta, Surabaya, Medan dan Makassar, rentang operasional bisnis masing-masing kluster ini bersifat nasional, yakni dari Sabang hingga Merauke.

 

Unsur “pembebasan” di sini dapat dilihat dari sifat breakthrough (terobosan) dalam dunia bisnis pelabuhan yang sebelumnya bersekat regional menjadi merentang dalam sekala nasional. Bukankah ini berarti bahwa merger ini, di samping induk sebagai entitas tersendiri, justru melahirkan empat korporasi setaraf BUMN berskala nasional, tetapi dengan aksi bisnis yang jauh lebih terfokus? Dalam perspektif ini pula kita patut memberikan catatan bahwa masing-masing kluster tersebut bukanlah sesuatu yang statis.

 

Sebagai contoh, kita bisa melihat kluster logistik dan hinterland development. Konteks hinterland development di sini memberi arti kluster tersebut mendapat mandat “merambah” ke wilayah bisnis baru: pengembangan wilayah akomodasi yang terkonsentrasi bagi kemudahan proses distribusi produk-produk industrial, pertanian dan pertambangan ke seluruh wilayah Indonesia. Bukankah ini pada dasarnya membuka kemungkinan bisnis lanjutan seperti perumahan dan hal-hal yang berkaitan dengannya?

 

Uraian di atas tentu masih berupa kalkulasi-prospektif.  Apa yang sudah jelas adalah bahwa aksi korporasi dalam bentuk merger ini telah membuat nilai aset Pelindo meningkat menjadi Rp 112 triliun dengan pendapatan Rp 28,1 triliun pada 2021. Angka ini akan melonjak tiap tahun. Diperkirakan pada 2025, pendapatannya akan mencapai Rp 36,5 triliun.

 

Maka, dengan sendirinya, posisi Pelindo sebagai pengelola pelabuhan dengan empat kluster yang dimiliki menjadi terdongkrak ke nomor delapan dunia setelah, antara lain, Port of Singapore Authority (PSA), COSCO (Hong Kong), Dubai Port (DP) dan APM Terminal yang berpusat di Den Haag, Belanda.

 

Sampai di sini, melalui merger Pelindo, kita bukan hanya menyaksikan pendalaman konsolidasi kekayaan negara, melainkan membuatnya lebih produktif, dengan memberikan saluran atau wadah masing-masing elemen di dalamnya berkembang secara maksimal.

 

Arti politik-ekonomi

 

Jika dibandingkan dengan proses penciptaan kekayaan di masa kolonial, kita menemukan sebuah kontras yang pekat. Aksi politik-ekonomi elite kapitalis Belanda di bawah Pangeran Henry abad ke-19 atas bisnis kelautan dan pelabuhan lebih merefleksikan kepentingan elite kapitalis Belanda atas kerugian rakyat Hindia Belanda.

 

Frasa subordinated Indian interests to home politics yang diciptakan Furnivall dengan tepat menggambarkan kenyataan ini. Maka tak mengherankan jika Augustus J Veenendaal Jr menyebut Jawa segera menjadi cork (pelampung) di atas mana, seperti ia tulis dalam Building the Network of Railways and Tremlines (2008), perekonomian Belanda, yang hampir tenggelam itu, mengapung kembali.

 

Aksi korporasi merger Pelindo, seperti juga aksi-aksi BUMN lainnya, jelas bermaksud sebaliknya. Penciptaan empat kluster bisnis bertaraf nasional melalui aksi korporasi tersebut secara langsung atau tidak berfungsi sebagai pemicu perkembangan ekonomi nasional. Distribusi kantor pusat masing-masing kluster di Makassar, Surabaya dan Medan memungkinkan kluster-kluster tersebut menjadi salah satu aktor yang memicu pertumbuhan ekonomi daerah.

 

Secara keseluruhan, dampak aksi korporasi Kementerian BUMN ini akan kian memperkaya sumber daya material di bawah kontrol negara. Terutama dengan peningkatan kualitas profesional penyelenggaraan BUMN dan pelaksanaan corporate governance yang ketat, konsolidasi dan usaha meningkatkan produktivitas kekayaan negara menciptakan potensi di mana otoritas politik relatif bisa terhindar dari intimidasi kaum oligark ─seperti marak dewasa ini. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/16/politik-ekonomi-merger-pelindo/

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar