Kamis, 07 Oktober 2021

 

Kebenaran Konsensus Agama

Lukas Luwarso ;  Jurnalis Senior, Kolumnis

WATYUTINK, 17 September 2021

 

 

                                                           

Fanatisme berlebihan terhadap agama harus dihindari, sebab semua agama  benar di mata Tuhan. Pernyataan ini bukan dilontarkan agamawan, tapi dikemukakan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad), Letjen TNI Dudung Abdurrachman.

Lontaran yang ditujukan pada jajarannya, di acara internal TNI AD. Pesan ditujukan kepada prajurit TNI AD agar lebih bijak bermedia sosial, khususnya menyangkut ekspresi keyakinan agama. Namun pernyataan yang terekspose media itu segera mengundang pro-kontra. Yang kontra menganggap petinggi militer tidak perlu berbicara urusan agama, karena bukan wilayahnya. Tentara sebaiknya bicara soal teknis militer dan isu pertahanan.

Yang setuju, tentu mendukung pernyataan jenderal yang mengajak sikap toleransi beragama. Fanatisme berlebihan, dalam hal apapun tidak akan baik, tak terkecuali dalam urusan beragama. Apalagi jika ekspresi fanatisme itu diumbar ke ruang publik, atau untuk menilai dan menghakimi kepercayaan agama lain.

Lazimnya, agama mengajarkan kedamaian, harmoni, sikap menahan diri, dan toleransi. Dalam konteks itu pernyataan normatif Pangkostrad valid dan patut didukung. Khususnya ketika beberapa tahun terakhir semakin marak ekspresi fanatisme agama yang cenderung merusak harmoni sosial, baik secara verbal maupun aksi kekerasan.

Aspek lain pernyataan Pangkostrad yang dipersoalkan adalah  menyangkut poin “semua agama benar, sama di mata Tuhan.”  Pernyataan tautologis ini juga benar. Bagi penganutnya, masing-masing agama adalah benar. Setidaknya benar secara kontekstual, sebagai konsensus internal pemeluk agama tertentu. Kebenaran ajaran satu agama tidak bisa dipersoalkan oleh penganut agama lain. Kebenaran keyakinan hanya berlaku mengikat secara internal.

Dengan demikian, apakah kebenaran agama bersifat parsial, bukan universal? Ada sejumlah aspek kebenaran universal agama, terkait prinsip-prinsip nilainya, seperti sikap toleransi, harmoni, menahan diri, rendah hati, penghormatan pada martabat manusia, dedikasi, dan pemujaan pada keagungan dunia spiritual. Ini aspek inklusif agama.

Perbedaan dalam beragama seringkali bersifat superficial, simbolik atau ritual. Ini aspek kebenaran parsial dan kontekstual agama yang erat kaitannya dengan pengaruh budaya dan proses sejarah munculnya agama tertentu. Ini aspek eksklusif agama.

Dalam kajian filsafat, kebenaran sedikitnya dapat dipilah menjadi beberapa kategori. Kebenaran bisa berbasis korespondensi, koherensi, performatif, konsensus, atau pragmatis. Berbasis lima kategori kebenaran (filosofis) itu, Kebenaran agama tergolong dalam kebenaran konsensus. Artinya benar sejauh konsensus pemeluknya. Dalam konteks konsensus inilah agama menjadi beragam, memunculkan berbagai mazhab dan aliran bahkan dalam satu agama.

David Hume, filsuf empiris Inggris, dalam “The Natural History of Religion” (1757) menyatakan bahwa keyakinan agama yang beragam sebenarnya tidak masalah. Menjadi masalah saat fanatisme pada agama, yang ia istilahkan sebagai “teror takhayul”, berlebihan manifestasinya. Fanatisme membuat pikiran manusia terjerembab pada keyakinan buta, irasionalitas, dan degradasi hakekat kemanusiaan.

Keyakinan agama yang dipenuhi klaim merasa paling benar, bagi Hume, akan mendegradasi moral dan nilai-nilai kemanusiaan. Jika itu diekspresikan melalui kekerasan verbal, apalagi fisikal. Sikap ini menegasikan “kebajikan kaum beriman” (monkish virtue). Kebajikan yang mengutamakan norma kepasrahan, penebusan kesalahan, rendah-hati dan pasif-suffering pada Tuhan.

Menurut Hume norma tersebut, jika berlebihan, bisa tidak kondusif bagi moralitas individu yang fanatik, juga bagi harmoni publik. Di balik sikap submisif dan ketaatan pada agama, ada dorongan sikap beriman yang intoleran dan merasa selalu dalam ancaman (agama lain). Hal ini terbukti dari sejarah intoleransi dan kekerasan agama.

Pernyataan Pangkostrad soal agama jelas lebih ditujukan pada praktik beragama. Spesifik pada prajuritnya, yang pasti memiliki beragam latar belakang agama. Ia ingin prajurit tetap kompak dan bersatu, menanggalkan agama sebagai wilayah privat. Tidak mengumbar ekspresi keyakinannya di media sosial.

Namun, pesan tersurat Pangkostrad juga ingin menegaskan adanya masalah intoleransi beragama, yang sering muncul belakangan ini di Indonesia. Keyakinan kebenaran parsial -- kontekstual agama tidak akan menjadi soal jika tidak digunakan untuk ekspresi verbal, pemaksaan, kekerasan, atau apalagi aspirasi politik praktis.

Karena, di tangan manusia, apapun bisa menjadi persoalan, tak terkecuali pemahaman agama. Agama bisa memiliki dua karakter: (1) sikap muram, geram, dan dogmatisme yang menindas kreativitas dan kebebasan; (2) sikap jernih, tenang dan terbuka yang mendorong pengabdian, introspeksi, dan kreativitas.

Kaum agamawan yang berpikiran tenang, terang, dan terbuka pasti sepakat dengan ajakan bersikap toleran. Juga mempersoalkan dan berupaya membuang karakter muram dan dogmatisme agama. Dan tidak akan mempersoalkan kebenaran pernyataan normatif Pangkostrad. ●

 

Sumber :  https://www.watyutink.com/topik/berpikir-merdeka/Kebenaran-Konsensus-Agama

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar