Kamis, 07 Oktober 2021

 

Tanggung Jawab Pendidikan

Doni Koesoema A  ;  Pemerhati Pendidikan dan Pengajar di Universitas Multimedia Nusantara, Serpong.

KOMPAS, 17 September 2021

 

 

                                                           

Bila ada sekolah rusak, gaji guru honorer tidak layak, hasil belajar buruk, dan akses pendidikan kian sulit di masa pandemi Covid-19, kepada siapa rakyat menuntut tanggung jawab?

 

Memperjelas siapa yang harus bertanggung jawab di bidang pendidikan saat ini merupakan kemendesakan agar sistem pendidikan nasional kita utuh, berkelanjutan, demokratis, dan jauh dari konflik kepentingan.

 

Sejak diterbitkannya UU No 23/2014 tentang Pemerintah Daerah (Pemda) yang membagi kewenangan pengelolaan urusan pemerintahan bidang pendidikan antara pusat dan daerah, sikap ambigu dalam mengemban tanggung jawab pendidikan semakin kuat.

 

Ambiguitas bisa melahirkan eskapisme, yaitu menghindari tanggung jawab atau jika parah, bisa sampai pada level pengambinghitaman, yaitu menimpakan kesalahan kepada pihak lain. Baik dalam eskapisme ataupun pengambinghitaman, korbannya adalah rakyat yang memiliki hak konstitusional pendidikan.

 

Ambiguitas juga dapat melahirkan dua sikap. Di satu sisi, Kemendikbudristek merasa berjarak dengan pemda. Alasannya, tugas utama menteri adalah membuat norma, standar, prosedur, dan kriteri serta menjadi pembina dan pengawas bagi penyelenggaraan layanan pendidikan di daerah.

 

Di sisi lain, otonomi yang dipahami keliru dapat melahirkan raja-raja kecil pengelola pendidikan. Kepala daerah merasa sebagai pemegang otonomi penyelenggara pendidikan di daerah. Akibatnya, bisa muncul arogansi dalam mendesain peraturan daerah tentang pendidikan atau kepala daerah mengabaikan kebijakan Kemendikbudristek.

 

Kasus-kasus yang muncul terkait proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang tidak selaras dengan pengaturan menteri atau fenomena pungli melalui mekanisme kewenangan kepala sekolah adalah sedikit contoh.

 

Ambiguitas tanggung jawab layanan pendidikan bagi warga negara tak akan muncul jika sistem pendidikan didesain terintegrasi sehingga ada sinergi di antara berbagai pemangku kepentingan pendidikan, baik di tingkat pusat maupun daerah, antar-kementerian dan lembaga, serta memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat dalam mengelola, mengawasi, dan menyelenggarakan pendidikan.

 

Satu sistem

 

UUD 1945 pada Pasal 31 Ayat 3 mengamanatkan agar pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan UU. Amanat ini direalisasikan melalui UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) melalui sebuah paradigma pendidikan berbasis standar.

 

UU Sisdiknas mendefinisikan standar nasional pendidikan sebagai ”kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Juga ditegaskan, standar nasional pendidikan terdiri dari standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana-prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.

 

Disparitas pendidikan yang tinggi antardaerah menjadikan standar nasional pendidikan sebagai acuan utama untuk melindungi hak-hak warga negara atas pendidikan yang diselenggarakan pemerintah. Pemenuhan standar ini tugas pemerintah dalam rangka menjamin hak pendidikan setiap warga negara.

 

Dalam konteks paradigma pendidikan berbasis standar, sangat penting keberadaan badan yang mengembangkan standar nasional pendidikan. Karena yang bertanggung jawab untuk memenuhi standar nasional pendidikan adalah pemerintah, maka dalam UU Sisdiknas ditegaskan pentingnya pengembangan, pemantauan, dan pelaporan pencapaian standar nasional pendidikan secara nasional yang dilaksanakan oleh suatu badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan.

 

Badan ini bersifat mandiri pada tingkat nasional dan provinsi. Kemandirian badan ini menjadi sangat penting agar terjadi mekanisme kontrol demokratis antara penanggung jawab pendidikan dan masyarakat sebagai penerima hak layanan pendidikan. Hal ini juga untuk menghindari munculnya konflik kepentingan yang merugikan hak warga negara dalam pendidikan.

 

Keberadaan badan ini sebagai amanat UU Sisdiknas harus diatur dalam peraturan pemerintah (PP). Karena itu, dalam PP No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan ditegaskan secara rinci keberadaan badan yang disebut Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).

 

Tugas BSNP mengembangkan standar nasional pendidikan sebagai lembaga mandiri dan profesional, berkedudukan di Jakarta, dan standar nasional pendidikan yang ditetapkan mengikat penyelenggara pendidikan di seluruh wilayah hukum NKRI. Dengan penegasan ini, terbentuklah satu sistem pendidikan nasional.

 

Ancaman kesatuan

 

Satu sistem pendidikan yang ditata melalui UU Sisdiknas 2003 dan PP No 19/2005 serta dua PP perubahan atasnya, kini terancam disintegrasi karena PP No 57/21 tentang SNP yang mengganti PP No 19/2005 dan dua PP perubahan atasnya, justru melanggar UU Sisdiknas dengan cara tak memberikan pengaturan tentang keberadaan badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan.

 

Alih-alih mengatur badan ini sesuai amanat UU Sisdiknas Pasal 35 Ayat 4, keberadaan badan ini diserahkan pengaturannya langsung ke menteri.

 

Pembubaran BSNP melalui Pasal 334 Permendikbudristek No 28/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, yang mendasarkan diri pada Peraturan Presiden (Perpres) No 62/2021 tentang Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, membuat kita bertanya, bagaimana mungkin perpres justru memberikan jalan bagi menteri untuk tidak melaksanakan amanat UU Sisdiknas?

 

Siapa yang memberikan wewenang pembentukan badan standar yang diamanatkan dalam UU Sisdiknas sebagai badan yang mandiri pada menteri?

 

Hal paling fatal adalah sistem pendidikan menjadi terpecah. Standar nasional pendidikan yang dalam PP sebelumnya mengikat seluruh penyelenggaraan pendidikan di wilayah hukum NKRI saat ini tidak ada lagi. Akibatnya, sekolah-sekolah yang dikelola Kementerian Agama tidak wajib mengikuti standar nasional pendidikan yang ditetapkan oleh menteri.

 

Konflik kepentingan

 

Memberikan kewenangan menteri untuk membentuk badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan yang tidak mandiri dan profesional, melainkan mengintegrasikannya pada unit kerja di Kemendikbudristek, berpotensi penyalahgunaan kekuasaan dan konflik kepentingan.

 

Siapa yang menjamin bahwa standar nasional pendidikan yang didesain adalah sungguh-sungguh untuk menjamin hak pendidikan warga negara dan bukan untuk kepentingan sesaat proyek menteri atau kepentingan direktorat terkait?

 

Lebih dari itu, adalah sebuah kekeliruan jika Kemendikbudristek, atas nama UU Pemda, menyatakan bahwa tugas menteri adalah sekadar mendesain norma, standar, prosedur, dan kriteria serta menjadi pengawas dan pembina pemda. Bidang pendidikan dalam UU Pemda merupakan urusan konkuren yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan pemda.

 

Pembagian kewenangan hanya menegaskan pembedaan tugas dan fungsi, tetapi  bukan membedakan tanggung jawab atas terjaminnya layanan pendidikan bagi warga negara.

 

Paradigma dalam PP No 57/2021 rupanya ingin memosisikan Kemendikbudristek sebagai regulator saja. Konsep asesmen nasional sebagai rapor pendidikan daerah dan satuan pendidikan menunjukkan Kemendikbudristek tidak merasa sebagai bagian yang bertanggung jawab atas kegagalan layanan pendidikan di daerah.

 

Kontrol publik

 

Pengaturan standar nasional pendidikan dalam PP No 57/2021 menghilangkan berbagai macam peranan publik dalam mengembangkan, meningkatkan, mengawasi kualitas pendidikan. Padahal, keberadaan BSNP dalam PP No 19/2021 sebagai badan mandiri, independen, dan profesional, adalah untuk mewujudkan mekanisme demokratis untuk menjamin hak pendidikan warga negara yang harus dilakukan pemerintah.

 

Apabila standar nasional pendidikan dibuat oleh menteri, ambiguitas tanggung jawab akan terjadi. Dalam UU Pemda, ditegaskan bahwa pemerintah, dalam hal ini menteri, berwenang menetapkan standar nasional pendidikan.

 

Tugas menteri adalah menetapkan. Namun, pengembangan standar nasional pendidikan harus dilakukan oleh badan mandiri, yang diatur dalam PP, seperti amanat dalam UU Sisdiknas 2003, tidak bisa diserahkan pada unit kerja di Kemendikbudristek.

 

Selain itu, mekanisme kontrol publik, seperti keberadaan Dewan Pendidikan, yang merupakan lembaga mandiri nonhierarkis dengan kementerian juga dihapuskan. Hilangnya mekanisme kontrol publik dalam pengembangan, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan melalui badan independen, mandiri, dan profesional, seperti BSNP dan Dewan Pendidikan, kian menegaskan bahwa pendidikan kita saat ini hanya dikelola oleh segelintir elite di pemerintahan yang dengan mudah melanggar tatanan hukum.

 

Revisi PP No 57/2021 menjadi hal fundamental yang mendesak dilakukan untuk menghindari adanya disintegrasi sistem pendidikan, munculnya berbagai macam konflik kepentingan, dan hilangnya mekanisme demokratis dalam pengelolaan pendidikan.

 

Apabila ada sekolah rusak, gaji guru honorer tak layak, terjadi politisasi jabatan kepala sekolah, hasil belajar buruk, dan akses pendidikan sulit, tanggung jawab ini harus dipikul dan ditanggung pemerintah pusat dan pemda. Kegagalan pemda memberikan standar pelayanan minimal kepada warga negara di bidang pendidikan juga kegagalan dari pemerintah, yang berarti, kegagalan menteri! ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/17/tanggung-jawab-pendidikan/

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar