Kamis, 07 Oktober 2021

 

Urgensi Reformasi Sistem Penjara Ramah HAM

Usman Hamid  ;  Direktur Amnesty International Indonesia dan Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera; Dewan Pakar Peradi RBA

KOMPAS, 21 September 2021

 

 

                                                           

Tragedi kebakaran penjara yang menewaskan puluhan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang, Banten, baru-baru ini menjadi momentum yang tepat bagi pemerintah untuk mereformasi sistem pemasyarakatan menjadi lebih ramah hak asasi manusia.

 

Di penjara-penjara di seluruh dunia, Amnesty International mencatat, narapidana dan tahanan ditempatkan dalam kondisi yang mengancam kesehatan dan hidup mereka. Tak sedikit yang mengalami perlakuan atau hukuman yang tak manusiawi, kejam, atau merendahkan martabat.

 

Mereka sering kali ditempatkan di ruang yang tidak memiliki ventilasi, cahaya, atau pemanas yang cukup. Ruang yang sesak membuat mereka harus bergiliran berbaring untuk tidur. Buruknya kondisi sanitasi, kekurangan nutrisi, dan perawatan medis yang tidak memadai jelas berbahaya bagi kesehatan dan telah berakibat kematian serta penyakit serius pada populasi penjara yang sesak, termasuk di masa pandemi.

 

Gambaran kondisi penjara-penjara di Indonesia juga tidak berbeda. Masalah-masalah seperti sesaknya penjara, ventilasi, instalasi air/listrik, pungutan liar, gizi makanan, hingga perlakuan buruk petugas dan sesama narapidana yang ”menguasai” penjara merupakan rahasia umum.

 

Penjara-penjara di Indonesia memang kelebihan warga binaan (overcrowding). Lapas Kelas I Tangerang, misalnya, menampung 2.072 orang dari yang seharusnya hanya 600 orang (Ditjen Lapas, 7 September 2021). Contoh lain, Lapas Kelas I Cipinang, Jakarta, yang berkapasitas hanya 880 orang ternyata menampung 3.358 warga binaan. Bahkan, Lapas Kelas IIA Kerobokan, Bali, memiliki 1.572 warga binaan dengan kapasitas hanya untuk 323 orang.

 

Saya setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa besarnya jumlah warga binaan yang melebihi kapasitas menyebabkan masalah overcrowding. Masalah ini turut mengakibatkan banyaknya warga binaan yang tewas saat kebakaran Lapas Kelas I Tangerang. Setidaknya 44 narapidana tewas dan 70-an orang luka-luka.

 

Selain overcrowding, faktor lain adalah lemahnya sistem deteksi api, tak sebandingnya jumlah petugas dengan jumlah narapidana, kondisi bangunan yang tua, serta jalur evakuasi yang terbatas. Pemerintah, khususnya Kementerian Hukum dan HAM, harus bertanggung jawab. Dari aspek manajemen lapas, Menteri Hukum dan HAM beserta Ditjen Lapas bertanggung jawab tidak sekadar membuat peraturan, tetapi memastikan aturan itu dilaksanakan di lapangan.

 

Sebagai contoh, meski telah menerbitkan peraturan dirjen soal mitigasi bencana, mereka juga bertanggung jawab untuk melakukan sosialisasi, pengadaan anggaran dan sumber daya lainnya, hingga pelatihan dan pengawasan guna memastikan berjalannya sistem perlindungan. Tugas besar ini memerlukan pejabat yang ahli di bidangnya dan memiliki kepedulian tinggi. Kegagalan melakukan itu semua menjelaskan kematian yang tinggi dalam kejadian kebakaran tersebut.

 

Wajar jika ada desakan agar Menkumham dan Dirjen Lapas mengundurkan diri. Tap MPR VI/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa jelas menyatakan, ”Etika pemerintahan mengamanatkan agar penyelenggara negara memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara”. Terlebih, kasus ini mengakibatkan hilangnya banyak nyawa.

 

Mundurnya pejabat tentu tidak menyelesaikan masalah. Memang bukan untuk itu, melainkan bentuk pembelajaran dan pertanggungjawaban etik atas ketidakmampuan melindungi warga binaan yang tengah menjalani hukuman negara.

 

Menyalahkan dirjen lapas atas overcrowding juga keliru. Sebab, ia tidak berwenang menolak masuknya warga binaan baru. Overcrowding akan ada selama pemerintah hanya mengandalkan hukum dan kebijakan pengendalian kejahatan berbasis kriminalisasi. Overcrowding juga tidak akan hilang jika praktiknya, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan terus melaksanakan hukum tanpa melihat implikasinya pada populasi penjara.

 

Pemerintah bukan tak pernah melakukan sesuatu. Ketika virus korona mendorong kelebihan penghuni pada penjara di negara-negara Asia Tenggara, Indonesia sempat mengikuti seruan PBB untuk mengurangi populasi penjara guna mencegah risiko-risiko penyebaran virus dengan memberi pembebasan bersyarat kepada 90.000 narapidana yang mendekati akhir masa hukuman, berusia lanjut, dan melakukan kejahatan ringan.

 

Akan tetapi, negara belum berbuat cukup. Amnesty International sempat mendesak pembebasan semua tahanan politik, seperti 18 orang Maluku dan Papua yang dipenjara di bawah pasal makar hanya karena mengekspresikan pendapat secara damai. Bersama organisasi HAM lain, Amnesty International berulang kali mendesak pembebasan mereka yang dipenjara karena pasal-pasal karet UU ITE.

 

Namun, seruan itu diabaikan. Bahkan, awal bulan ini, dosen universitas di Aceh, Saiful Mahdi, telah dikirim ke penjara, memulai hukuman tiga bulannya terkait pencemaran nama baik berdasarkan UU ITE karena mengkritik proses rekrutmen universitas di grup Whatsapp.

 

Artinya, kepadatan penjara tak akan pernah bisa diselesaikan jika bahkan perbedaan pendapat yang damai—seperti di Papua atau dalam kehidupan akademik—pun dilarang dan berujung pemenjaraan. Penjara akan terus mengalami overcrowding.

 

Pada masa pandemi, angka kejahatan melonjak secara drastis. Akan tetapi, apakah pengendalian berbasis pemenjaraan akan mengatasi masalah? Bagaimana dengan faktor kesulitan ekonomi akibat pandemi? Negara perlu memperbaiki jaminan sosial dan bantuan sosial bagi masyarakat yang kesusahan dan terjebak kejahatan, bukan mengirim mereka ke penjara atas nama pengendalian kejahatan.

 

Menko Polhukam Mahfud MD berjanji menyediakan lahan guna menambah sarana-prasarana penjara. Namun, solusi ini pun terancam gagal jika tidak diikuti oleh solusi lain.

 

Solusi

 

Lalu bagaimana solusinya? Dalam jangka pendek, pemerintah wajib memastikan bahwa hukum beserta praktik pemenjaraan dalam lembaga pemasyarakatan sesuai dengan standar HAM internasional, khususnya Peraturan Standar Minimum PBB untuk Perlakuan terhadap Tahanan dan Prinsip PBB untuk Perlindungan Semua Orang di Bawah Segala Bentuk Penahanan atau Pemenjaraan.

 

Salah satunya adalah memperbaiki kondisi fisik dan sistem layanan penjara. Pemenuhan hak-hak para narapidana dan tahanan akan akses pengacara, dokter, dan anggota keluarga ke tahanan, hingga adanya inspeksi yang independen terhadap penjara dan fasilitas penahanan lainnya, dapat membantu pemerintah dalam memastikan kondisi penjara memenuhi standar internasional.

 

Dalam jangka panjang, pemerintah harus mengubah orientasi kebijakan yang berfokus pada pelarangan dan pemidanaan (kriminalisasi) berbasis penghukuman melalui pemenjaraan. Baik sebelum maupun setelah pandemi, salah satu penyumbang terbesar dari populasi penjara adalah kasus penyalahgunaan narkotika dan zat adiktif (Sudaryono 2021).

 

Dalam kasus narkoba, pendekatan larangan dan kriminalisasi terbukti tak efektif, bahkan telah menghancurkan kehidupan orang-orang yang memakai, memproduksi, dan memasok, termasuk keluarga mereka yang terkena dampak kebijakan berbasis penghukuman tersebut.

Mereka yang dipenjara karena tuduhan ”pengedar narkoba” pun kebanyakan orang-orang kecil yang tergoda iming-iming uang besar. Jadi, ada strategi kebijakan yang disalahpahami oleh para penegak hukum dan pemerintah dalam mencegah penggunaan dan peredaran narkoba.

 

Secara keseluruhan, negara perlu mengambil lima tambahan. Pertama, mengarahkan kebijakan pengendalian napza menuju perwujudan hak asasi manusia. Ini termasuk menjamin standar kesehatan tertinggi bagi pengguna napza dan hak kelompok lain yang terdampak kebijakan pengendalian napza yang bersifat menghukum. Rehabilitasi lebih diutamakan daripada kriminalisasi.

 

Kedua, mengatasi ketidaksetaraan sosial di masyarakat yang meningkatkan risiko penggunaan narkoba dan membuat orang bisa terlibat dalam peredaran narkoba dengan mempromosikan perspektif keadilan sosial dan memajukan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.

 

Ketiga, mengatasi ketidakadilan yang mengakar dalam sistem peradilan pidana. Keempat, mengurangi kekerasan terkait operasi penegakan hukum atas narkoba. Kelima, bekerja sama dengan negara-negara lain mendorong reformasi rezim pengendalian kejahatan.

 

Singkatnya, negara harus memajukan hukum dan kebijakan pengendalian kejahatan yang lebih manusiawi, efektif, dan berbasis bukti yang melindungi keselamatan masyarakat. Dengan begitu, sistem pemasyarakatan kita akan lebih ramah HAM. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/21/urgensi-reformasi-sistem-penjara-ramah-ham/

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar