Kamis, 07 Oktober 2021

 

Hilirisasi Nikel dan Kisah SDA Kita

Kwik Kian Gie  ;  Menteri Koordinator Ekonomi 1999-2000 dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas 2001-2004

KOMPAS, 22 September 2021

 

 

                                                           

Pemerintah menyatakan bahan baku nikel di perut bumi Indonesia tak boleh lagi dikeduk para korporat asing dan langsung diangkut ke negara mereka masing-masing.

 

Pemerintah melalui Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Panjaitan mengatakan, nikel harus digarap di dalam negeri sampai menjadi bahan mentah buat pembuatan bahan baku siap pakai untuk, antara lain baterai. Sayang kesadaran soal ini baru muncul sekarang. Harapannya, bukan hanya nikel yang diperlakukan demikian, tetapi semua mineral di dalam perut bumi Indonesia.

 

Sejak 1967, sumber daya mineral kita sudah ”dihabisi” korporat-korporat raksasa asing dan perorangan Indonesia swasta (istilah Bung Hatta, orang partikelir). Selama Bung Karno presiden RI, Istana dibanjiri pimpinan perusahaan raksasa asing yang minta konsesi untuk eksplorasi dan eksploitasi SDA kita, terutama mineral yang sangat mahal harganya.

 

Bung Karno menolak semuanya sambil memerintahkan Wakil Perdana Menteri Chairul Saleh yang ketika itu membidangi ESDM, agar sedikit saja izin diberikan pada korporat asing untuk memperoleh devisa yang sangat kita butuhkan. Ketika ditanya oleh Megawati, Bung Karno menjawab: “Nanti akan dieksploitasi oleh insinyur-insinyur kita sendiri.” Ceritera ini saya peroleh langsung dari Megawati.

 

Bung Karno lantas “mengemis” beasiswa dari negara manapun di dunia buat para siswa Indonesia agar bisa belajar di universitas-universitas di negara mereka. Di 1967, sudah sangat banyak insinyur di segala bidang, termasuk geologi lulusan universitas terbaik di seluruh dunia, ditambah ITB yang sejak era penjajahan sudah ada. Namun apa yang terjadi?

 

Mereka bekerja pada perusahaan-perusahaan asing sebagai tenaga gajian yang melakukan eksploitasi besar-besaran SDA mineral kita. Yang ditakutkan Bung Karno terjadi, yaitu walaupun sudah merdeka, Indonesia menjadi ”Een natie van koelies en een Koelie onder de naties.” (Bangsa yang terdiri dari kuli-kuli dan bangsa kuli di antara bangsa-bangsa lain.”

 

Peran "Mafia Berkeley"

 

Buku Economists With Guns, Authoritarian Development and US-Indonesian Relations, 1960-1968 yang ditulis Bradley Simpson dan diterbitkan Stanford University Press (2008) membeberkan cerita itu. Saya yakin semua yang ditulisnya benar dan otentik. Simpson meraih gelar PhD dari North Western University dengan disertasi yang mempelajari dokumen-dokumen otentik hubungan RI-AS. Hampir semua dokumen yang dipelajarinya dokumen yang classified.

 

Setelah disertasinya terbit, dia diangkat jadi direktur Arsip Nasional oleh Pemerintah AS, sehingga punya akses lebih besar dan langsung ke dokumen-dokumen otentik. Hampir tak ada kalimat yang tak didukung dokumen otentik. Di bab “Reference Matter”, dokumen pendukung 73 halaman, dengan isi buku 259 halaman.

 

Saya akan mengutip yang relevan dalam aspek penguasaan Indonesia oleh negara-negara maju/kuat, terutama AS, secara kronologis. Halaman 19 mengungkapkan, Ford Foundation (FF) mendanai pendidikan para ilmuwan sosial Indonesia, yang secara langsung membentuk jalan pikiran tentang pembangunan.

 

Antara 1952 dan 1962, FF – di samping AID – memberikan program pendidikan dan pelatihan kepada seluruh generasi ahli ekonomi Indonesia melalui pembentukan kemitraan antara UI dengan University of California at Berkeley, dan pendanaan studi S2 bidang ekonomi pada MIT, Cornell University dan institusi lainnya.

 

Dua tahun kemudian FF melaporkan bahwa program pendidikan dan pelatihan ekonominya berpengaruh besar pada pembangunan Indonesia.”

 

Halaman 20 mengungkapkan, para guru besar ekonomi UI yaitu Widjojo Nitisastro, Mohammed Sadli, Subroto, Ali Wardhana dan Emil Salim memainkan peran krusial setelah jatuhnya Soekarno 1966, dengan menata ulang kebijakan ekonomi Indonesia dengan memusnahkan ekonomi terpimpin Soekarno, yang membuat mereka terkenal dengan sebutan “The Berkeley Mafia”.

 

Pada 16 Desember beberapa pejabat tinggi Indonesia berkumpul membicarakan usulan Chaerul Saleh tentang pengambilalihan Caltex dan Stanvac. Di tengah pertemuan, Soeharto datang dengan helikopter secara dramatis, masuk ke kamar perundingan dengan pemberitahuan sangat jelas: TNI tak akan melakukan pengambilalihan perusahaan minyak. Ia hanya mengatakan itu dan langsung meninggalkan ruangan.

 

Di halaman 219 diungkapkan, Soeharto memahami, dia butuh para teknokrat jika ingin menyelamatkan ekonomi. Maka segera ia pekerjakan mereka. Widjojo, Salim dan Wardhana memberitahu Edward Master, selama musim gugur 1966 mereka melakukan berbagai pertemuan dengan KOGAM, BI dan Sultan HB IX dengan pesan perekonomian dalam kondisi sangat buruk dan butuh penyelamatan.

 

Halaman 227, FF membiayai satu generasi ekonom UI untuk belajar di AS. “You cannot have a modernizing country without a modernizing elite”, demikian Frank Sutton, deputy vice president bagian internasional FF. Pada awal 1960 UI menyelenggarakan Executive Development Program model AS untuk melatih pimpinan tentara dan sipil. Tahun 1966 Robert McNamara mengatakan program itu terbukti punya nilai tinggi.

 

Halaman 231, sangat ilustratif soal kasus Freeport Sulphur. Di 1959 Freeport memperoleh laporan dari ahli geologi Belanda tentang deposito tembaga di Irian Barat. April 1965 Freeport memperoleh persetujuan prinsip (preliminary) dari Kementerian ESDM untuk eksplorasi tembaga dan nikel.

 

Soekarno menutup pintu Indonesia dari investor asing. Awal September, James Moyer, direktur Informasi Freeport jadi staf Gedung Putih, di mana saudaranya, Bill Moyer bekerja. Dua bulan kemudian, ketika tentara melakukan pembunuhan terhadap pendukung PKI, Freeport membuka perundingan dengan para jenderal untuk masuk kembali ke Indonesia.

 

Beberapa hari setelah Supersemar, teknisi Freeport berbondong-bondong masuk ke hutan-hutan Irian Barat, berlomba dengan Mitsui dari Jepang. Yang ditemukan Freeport gunung setinggi 600 kaki menjulang, penuh biji tembaga berkualitas tinggi. Penemuan Ertsberg, gunung dengan kandungan tembaga terbesar dunia, meyakinkan mereka untuk gerak cepat memperoleh konsesi.

 

Halaman 244, misi perdagangan pertama tiba di Jakarta dari Oregon dan San Francisco April 1967, mewakili perusahaan-perusahaan skala menengah yang melakukan penjajakan di bidang kayu, plywood, kimia, pertambangan, dan minyak. Misi perdagangan dari Belgia, Belanda, Australia, Perancis dan Korea Utara menyusul. Dilaporkan harian Belanda De Volkskrant, terjadi kompetisi sengit untuk dapatkan pasar yang menguntungkan di Indonesia.

 

Penguasa baru dunia

 

Kedubes AS memuji Soeharto yang menerima investasi asing sebagai sumber utama membangun luar Jawa. Tetapi para teknokrat prihatin karena perusahaan-perusahaan multinasional raksasa yang dianggap engine of development belum ambil inisiatif. Yang datang hanya perusahaan kecil seperti Freeport dan IAPCO. Halaman 245, dua bulan kemudian pertemuan yang jauh lebih penting berlangsung di Geneva.

 

Sebelum Simpson menerbitkan Economists With Guns, ia bersama Jeffrey Winters memberikan wawancara kepada wartawan senior John Pilger, yang ditulisnya di bukunya The New Rulers Of The World. Halaman 37 mengungkapkan: “Pada November 1967, menyusul tertangkapnya ‘hadiah terbesar’ (baca: jatuhnya Bung Karno), hasil tangkapannya dibagi. The Time-Life Corporation mensponsori konferensi istimewa di Geneva yang dalam waktu tiga hari merancang pengambilalihan Indonesia". Para pesertanya para kapitalis paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti David Rockefeller.

 

Semua raksasa korporasi Barat diwakili: perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, International Paper Corporation, US Steel. Di seberang meja, orang- orang Soeharto yang disebut Rockefeller “ekonom-ekonom Indonesia yang top”.

 

“Di Geneva, tim Sultan terkenal dengan sebutan the Berkeley Mafia, karena beberapa pernah menikmati beasiswa dari Pemerintah AS untuk belajar di Universitas California di Berkeley. Mereka datang sebagai peminta-minta yang menyuarakan hal-hal yang diinginkan para majikan yang hadir. Menyodorkan butir-butir yang dijual dari negara dan bangsanya, Sultan menawarkan: ... buruh murah yang melimpah, ... cadangan besar dari SDA, ... pasar yang besar.”

 

Halaman 39: “Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi, sektor demi sektor". "Ini dilakukan dengan cara yang spektakuler", kata Winters. Simpson telah pelajari dokumen-dokumen konferensi.

 

"Mereka membaginya ke dalam lima seksi: pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di kamar lain, perbankan dan keuangan di kamar lain lagi; yang dilakukan oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para investor lainnya. Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling dari satu meja ke meja yang lain, mengatakan: “ini yang kami inginkan : ini, ini dan ini”, dan mereka pada dasarnya merancang infrastruktur hukum untuk berinvestasi di Indonesia. Saya tidak pernah mendengar situasi seperti itu sebelumnya, di mana modal global duduk dengan para wakil dari negara yang diasumsikan sebagai negara berdaulat dan merancang persyaratan buat masuknya investasi mereka ke dalam negaranya sendiri".

 

Freeport dapat bukit dengan tembaga di Papua Barat. Sebuah konsorsium Eropa dapat nikel Papua Barat. Raksasa Alcoa dapat bagian terbesar bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan AS, Jepang dan Perancis dapat hutan-hutan tropis di Sumatera, Papua Barat dan Kalimantan.

 

Sebuah UU tentang penanaman modal asing yang dengan buru-buru disodorkan ke Soekarno membuat “perampokan” (plunder) ini bebas pajak untuk lima tahun lamanya. Nyata dan secara rahasia, kendali ekonomi Indonesia pindah ke IGGI, yang anggota intinya adalah AS, Kanada, Eropa, Australia dan, yang terpenting, IMF dan Bank Dunia."

 

Jadi, sejak 1967 Indonesia sudah dikapling-kapling, dengan tuntunan elite bangsa sendiri yang saat itu berkuasa.

 

Kemudian ada beberapa catatan John Perkins dalam bukunya, Confessions of An Economic Hitman yang kontroversial. Ia bekerja untuk MAIN, perusahaan konsultan AS. Penugasan pertamanya di Indonesia. Ia bagian dari tim terdiri dari 11 orang yang dikirim untuk membuat cetak biru rencana pembangunan pembangkit listrik di Jawa. Ia harus membuat model ekonometrik untuk Indonesia dan Jawa.

 

Halaman 13: “Saya tahu statistik bisa dimanipulasi untuk menghasilkan banyak kesimpulan, termasuk apa yang dikehendaki analis atas dasar statistik yang dibuatnya.” Halaman 15: “Pertama saya harus memberikan pembenaran (justification) untuk memberikan utang yang sangat besar jumlahnya, yang akan disalurkan kembali ke MAIN dan perusahaan AS lain (seperti Bechtel, Halliburton, Stone & Webster, dan Brown & Root) melalui penjualan proyek-proyek raksasa di bidang rekayasa dan konstruksi".

 

"Kedua, saya harus membangkrutkan negara yang menerima pinjaman itu (tentunya setelah MAIN dan kontraktor AS lain dibayar), agar negara target itu selamanya tercengkeram oleh kreditornya, sehingga negara pengutang (baca: Indonesia) jadi target empuk kalau kami membutuhkan favours, termasuk basis-basis militer, suara di PBB, atau akses pada minyak dan SDA lainnya.”

 

Halaman 15-16: “Aspek yang harus disembunyikan dari semua proyek itu ialah membuat laba sangat besar buat para kontraktor, dan membuat bahagia beberapa gelintir keluarga dari negara penerima utang yang sudah kaya dan berpengaruh di negara masing-masing. Dengan demikian, ketergantungan keuangan negara penerima utang menjadi permanen sebagai instrumen untuk memperoleh kesetiaan kepada pemerintah pemberi utang.

 

Maka semakin besar jumlah utang semakin baik. Kenyataan bahwa beban utang yang sangat besar menyengsarakan bagian termiskin dari bangsanya di bidang kesehatan, pendidikan dan jasa-jasa sosial lainnya selama berpuluh-puluh tahun tidak perlu masuk dalam pertimbangan.”

 

Halaman 15: “Faktor yang paling menentukan adalah PDB. Proyek yang memberi kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan PDB harus dimenangkan. Walaupun hanya satu proyek yang harus dimenangkan, saya harus menunjukkan bahwa membangun proyek yang bersangkutan akan membawa manfaat yang unggul pada pertumbuhan PDB.”

 

Halaman 16: "Claudia (Claudia Martin, pejabat CIA yang diberi tugas memberikan perintah ke Perkins) dan saya mendiskusikan karakteristik dari PDB yang menyesatkan. Misalnya pertumbuhan PDB bisa terjadi walau hanya menguntungkan satu orang saja, yaitu yang memiliki perusahaan jasa publik, dengan membebani utang yang sangat berat buat rakyatnya. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Statistik akan mencatatnya sebagai kemajuan ekonomi.”

 

Kekayaan suatu bangsa bisa dibagi ke dua kategori, kekayaan yang dibuat manusia, dan kekayaan yang sudah ada (God Given Wealth) seperti SDA di perut bumi Indonesia, flora dan fauna di lautan, iklim yang kondusif untuk sangat banyak jenis makanan dan obat-obatan, tanah yang luas, dsb.

 

Tuhan memberikannya kepada rakyat Indonesia, tetapi oleh para penguasa diberikan ke korporat asing dan beberapa partikelir. Semoga kali ini titik awal dari koreksi atas kesalahan yang sudah terjadi sejak 1967 hingga kini. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/22/hilirisasi-nikel-dan-kisah-sda-kita/

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar